Ferry Fansuri Penulis Lepas [email protected] Sore menjelang malam dalam ruangan mulai gelap tanpa cahaya, aku berpendar menerangi di dalamnya. Tiap malam seperti malam-malam yang lain aku selalu ada dan hadir, aku masih ingat dimana aku berada. Meja di sudut kamar itu dekat jendela yang terbuat dari jati, bersebelahan dengan tempat tidur. Aku selalu diletakkan di samping buku-buku, kertas serta tinta, aku bisa melihat sekitarku dengan jelas dan tanpa aku semua buta. Inilah pekerjaanku dan tidak pernah bosan. Aku tidak sendiri di kamar itu melainkan berteman dengan banyak wujud, ada Zigi seekor kecoa yang mempunyai sarang dibalik kayu yang lapuk di sisi ujung kamar atau dengan Bonti seekor tikur kecil tanpa mata yangs selalu merayap di pinggir-pinggir untuk menemukan jalan keluar. Tapi wujud yang paling aku sukai adalah seorang manusia yang selalu menempati kamar ini.
Manusia itu telah lama ada di sini, mulai dari ia remaja sampai dewasa. Aku mengikuti pertumbuhan dan tahu sejarahnya, manusia ini selalu memakai kebaya putih dan jarit bertekstur batik. Rambutnya terkadang terurai harum tercium olehku atau sesekali disanggul untuk memperlihatkan keanggunan. Kusuka wajahnya, begitu teduh dan menenangkan, kulitnya kuning langsat dan kencang membuat ingin menjamahnya. Gerak-geriknya begitu ningrat bak putri keraton, lemah lembut dalam bertutur dan tidak tergesa-gesa. Biarpun demikian, terkadang liar, berbicara lantang dan berani menolak tanpa ada batasnya. Semua ativitas ada di kamar ini, mulai pagi menyerobot dibalik jendela sampai matahari kembali ke peraduannya. Aku selalu di sini menemaninya dan tak pernah lepas dari mataku, manusia berkebaya tiap malam selalu duduk di meja itu. Di sebelahnya ada aku yang menerangi, ia suka sekali membuka buku dan memelototi satu persatu huruf di dalamnya. Tapi aku tak tahu apa yang ia baca, terlihat hanya sampul buku itu dalam bahasa Belanda seperti De Hollandshce Lelie dan Semarang De Locomotief . Ia membaca dengan seksama huruf demi huruf, kata ke kata dan ini membuat alisnya berkerut atau matanya berbinar saat menemukan cerita dalam lembaran-lembaran jurnal tersebut. Tidak hanya membaca tapi ia juga menulis, aku sedikit-sedikit melirik apa yang ia tulis. Ia menulis dengan tinta hitam, tulisan begitu indah dengan paragraf demi paragraf tersusun rapi, terkesan manusia satu ini terpelajar. Kadang tak sengaja lirikan itu membuat percikan api yang membakar ujung kertas yang ia tulis bahkan membuat lubang-lubang kecil bekas percikanku. Begitu juga saat percikan-percikan apiku mengenai tangan, ia mengaduh kesakitan, maaf tidak sengaja. Aku penasaran melihat yang kamu tulis karena sungguh aneh anak-anak seusiamu di zaman ini tidak diperbolehkan sekolah atau dipingit tidak boleh keluar rumah, hanya belajar adat istiadat, bertutur ngoko, merawat diri dengan ramuan tradisional untuk diambil seorang manusia lainnya pilihan keluarga kalian. Tapi kau berbeda, apa yang kau baca dan tulis tidak mencerminkan itu semua. Tak jarang kulihat engkau menitikkan airmata saat membaca Max Havellar atau De Stille Kraach karya Louis Coperus. Kulihat dari matamu ada sebuah pergolakan batin dan perlawanan akan ketidaksesuaian zamanmu. Malam begitu larut, kau pun menguap sepertinya matamu mengantuk. Kau beranjak dari meja itu dengan menggeser bangku dan mengarah ke tempat tidur. Tak lupa kau tiup aku seakan mengucapkan selamat tidur kepadaku dan semua jadi gelap dan aku pun terlelap menemanimu. ***** Suatu malam kau tambah terisak berlinang airmata, kau datang dari pintu itu dan menubruk bantal guling di tempat tidur. Terus menangis sesenggukan dan aku tak tahu apa yang kau tangisi. Malam itu memang aku selalu menemani tapi kau tidak menyentuh meja di dekatku atau beraktivitas seperti biasanya. Sepertinya kau enggan lagi untuk mendekati meja dan bangku yang jadi favoritmu tiap malam. Membaca dan menulis sesuatu kepada teman-temanmu di Holland sana. Aku rindu berada di dekatmu lagi tapi kau acuh tak acuh. Begitu juga malam berikutnya kau tak menyentuhku lagi, kau langsung menuju peraduanmu untuk terlelap. Aku merindukan kamu seperti dulu bisa memandangimu dan membikin diriku kasmaran. Ah, kemana kau yang dulu, aku tak temukan jawaban sedikitpun. “Hei kau, kenapa tertunduk lesu?” suara yang tak asing bagiku, Zigi si kecoa sekonyong-konyong muncul di hadapanku. “Oh kau, ada urusan apa kau di sini” jawabku tanpa memalingkan wajah. “Pasti kau menanyakan manusia satu itu, kenapa tak menyentuhmu kan” kekeh Zigi. “Kau seperti tahu segalanya” sindirku “Pastilah tahu, kau kan hanya di sini dan tidak bisa bergerak” “Aku bisa bergerak dan melihat mereka” Aku hanya diam akan perkataan Zigi si kecoa ini “Manusia itu berdebat dengan manusia yang lebih tua dan aku paham semua percakapan mereka” “Manusia yang kau sanjung itu punya keinginan besar” “Ia mau belajar di luar seberang laut sana tapi manusia satunya melarangnya” “Terjadi perdebatan hebat dari dua mulut manusia-manusia itu” Kecoa itu berlalu dari hadapanku dengan meninggalkan tanda tanya besar yang tidak aku mengerti. Mengapa dia ingin belajar di negeri seberang? Kenapa tidak di sini saja biar aku bisa terus menatap matanya? Ah, pikiranku kacau gara-gara kecoa satu ini. Malam sudah diujung, kerlip bintang berganti matahari. Di dalam pikiranku masih menunggumu tapi tak kunjung kau datang, ada apa denganmu? Hampir berhari-hari kau tidak menyentuh meja, buku atau tinta penamu. Aku sangat merindukanmu saat ini. “Hei kau melamun saja, apa yang kau pikirkan saat ini” lamunanku terhenyak saat Bonti si tikus melintas di depanku sambil mulutnya mengerat sisa makanan entah ia dapat darimana. “Oh kamu Bonti. Tidak ada apa-apa, aku hanya jenuh dengan aktivitasku saja” “Jangan bohong. Aku tahu dari matamu, kau mengharapkan kehadiran manusia itu kan? Tikus tengil ini seakan tahu akan kegalauan diriku tapi aku tak mengiyakan pertanyaannya hanya memandang jendela di depanku. “ Kau tahu manusia itu tidak akan tinggal di sini lagi, akan diboyong oleh manusia lain jenis dari kaumnya” Bonti tiba-tiba mencerocos kepadaku. “Maksudmu apa?” “Kau dengar tadi yang aku katakan kan, manusia pujaan itu akan dikawinkan untuk melahirkan seorang bayi” “Kemarin saat aku sedang mengorek-ngorek sampah di belakang dapur rumah ini, aku mendegarkan percakapan keluarga manusia itu. Manusia idolamu itu akan dinikahkan tapi sepertinya ia tidak setuju, yang kudengar itu tradisi negeri ini yang tidak bisa ditolak olehnya” “Menikah?” “Kawin?” “Dibawa pergi?” “Apa katamu benar dan tidak bohong?“ Bonti tidak menjawab malah ngeloyor meninggalkan pertanyaan yang belum ada jawaban bagiku. Hati ini terasa hancur mendengar berita itu, apakah aku cemburu? Ah tidak. Apalah aku buat dia. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan beranjak bulan berikutnya. Kau tak tampak dan kupikir kau tidak akan kembali ke tempat ini. Tapi pada suatu malam pintu kamar itu terbuka perlahan, kulihat engkau di ujung pintu tersebut. Kau tampak anggun dengan balutan kebaya putih itu, aku girang akhirnya kau datang juga. Kau melangkah pelan-pelan ciri khasmu, kau menyalakan aku malam ini. Kau geser bangku kecil itu dan membersihkan debu di meja yang lama kau tinggalkan. Sedikit demi sedikit kau buka lagi buku-buku milikmu, aku lihat bola matamu yang berbinar. Kertas di meja itu kau ambil dan pena tinta ada di tanganmu, dengan cekatan kau tuliskan kalimat seksama. Setelah selesai kau bubuhi tanda tangan, rutinitas malam mulai kau lakukan tiap hari. Ini yang membuatku gembira, kau menulis dan merangkai kata-kata. Setelahnya kau masukkan ke amplop surat dan mengirimkannya ke tukang pos. Tidak hanya satu dan puluhan surat yang telah aku hasilkan bahkan suatu saat pernah kulihat engkau dengan antusias sambil menulis surat, kau berkata “Aku Mau!” Semangat itu menggelora dan berapi-berapi dan aku bisa merasakan itu. Aku bergembira atas kamu. Kau menemukan tujuan hidup lagi setelah kemarin hilang redup. Kau menulis seperti ingin menunjukkan kepada dunia di luar sana akan keinginan, hasrat dan tujuanmu. Kau ingin mengubah tatanan lama menjadi baru, kau mau membuka pintu itu dari gelap menjadi terang. Itu bisa kulihat dari tulisanmu dan aku paham saat kulirik surat yang kau tulis di bait terakhir itu pada malam aku menerangimu. “… andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalan telah terbuka dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan wanita.” (Kartini kepada Abendanon 1902) Surabaya, Maret 2017 Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |