Nurul Aisyah 13 Maret 1998 Kepada Ytc. Anakku, Anakku, apa kabarmu? Sudah lama sekali sejak kau menelepon Ibu untuk terakhir kalinya… “Semur ikan kesukaanku, ya, Ibu?” Ibu cuma tertawa waktu itu, dan, “Ya, ya, ya… makanya, apa Ibu bilang, cepatlah pulang ke sini… Kamu, kan, sedang liburan?” Tiba-tiba kau terdiam, jarang sekali kau seperti itu, membiarkan pulsa telepon berjalan begitu saja tanpa mencandai Ibu, kemudian, “Seandainya aku tidak sibuk, Ibu. Tapi semester depan… aku akan libur panjang di sana, bersamamu…” Telepon terputus.
Lalu berdering kembali, “Maaf, Ibu, di sini hujan lebat… Entah kenapa telepon terputus, mungkin karena petir yang besar barusan… Oya, jangan lupa kirimi aku semur ikan, ya, Ibu?” Ibu cuma mengangguk-angguk waktu itu. Dan klik. Telepon ditutup. Sejak itu, sudah lebih dari tiga bulan tidak terdengar kabar darimu. Sebenarnya, Ibu tidak terlalu khawatir jika saja tidak membaca berita-berita buruk di koran. Bukankah selama ini pun kamu juga sering begini? Hanya menelepon Ibu sesekali, dan ketika menelepon kamu bisa bicara lama sekali, seakan-akan hendak mengganti waktu-waktu ketika kau tak sempat bicara pada ibu. Tetapi, ketika Bu Harjono, tetangga kita yang baik hati itu yang malahan terlihat khawatir dan selalu bertanya-tanya tentang kamu dengan selalu berkata, “Hati-hati, lho, Bu, sekarang banyak anak-anak yang hilang. Ibu baca sendiri, toh, di koran-koran?” Ibu jadi ikut gusar juga. Jangan-jangan, Bu Harjono benar… Anakku, teleponlah Ibu, beri kabar, jangan membuat Ibu jadi bingung begini. Katakan pada ibu, katakan kamu baik-baik saja. Katakan bahwa Bu Harjono salah, dan berita-berita di koran itu bohong belaka. Yang merindukanmu, Ibu *** 16 Mei 1998 Ytc. Anakku Anakku, ke mana dan di manakah sebenarnya engkau? Apakah kamu baik-baik saja? Hari-hari terakhir ini Ibu semakin gusar dan semakin gusar saja. Berita-berita di koran itu ternyata tidak berdusta. Bahwa memang banyak orang yang hilang akhir-akhir ini, seperti yang Bu Harjono bilang pada ibu. Ah, Anakku, sejak surat ibu yang pertama, masih belum juga terdengar kabar darimu. Sementara kau tahu, kerusuhan tiba-tiba saja terjadi di mana-mana. Apa gerangan yang sebenarnya sedang terjadi, Anakku? Kenapa kau diam saja? Ibu tidak tahu lagi mesti bagaimana, Ibu takut. Takut sekali. Ibu sudah lapor polisi, tapi katanya tunggu kabar, “Segala sesuatu sedang semrawut sekarang, jadi bersabarlah, Ibu. Mudah-mudahan anak Ibu baik-baik saja,” begitu kata petugas di kantor polisi yang coba menenangkan hati Ibu. Tapi, mana bisa Ibu tenang, mana bisa Ibu bersabar? Berita-berita di koran, makin hari makin mengerikan. Ibu kota terdengar seperti neraka, benarkah begitu, Anakku? Ya, sejak ketiadaan berita darimu, Ibu memang jadi sering membaca koran, kalau-kalau ada berita tentangmu. Mula-mula Bu Harjono yang membawakan untuk Ibu, tapi kemudian tidak hanya Bu Harjono yang datang membawa koran, Bu Dewi, Bu Prapto, juga sering datang kepada Ibu dan membawakan koran untuk dibaca, Dan, apabila Ibu tak kuasa menahan tangis, mereka pun menghibur Ibu dan mendoakan keselamatanmu. Tapi kemudian, Ibu akan segera menangis lagi setiap memikirkan dirimu… Anakku, menurut berita-berita yang Ibu baca, mereka yang hilang-hilang itu masih muda-muda, seperti dirimu. Dan katanya pula, mereka itu pemuda-pemuda yang giat berpolitik. Ibu tidak mengerti sama sekali tentang kegiatan mereka, tapi Ibu selalu berharap, kau tidak terlibat dalam hal-hal semacam itu. Anakku, yang Ibu tahu tentang dirimu adalah bahwa kau anak yang baik. Sejak kecil kau tidak pernah nakal, tak pernah menyusahkan Ibu. Seolah-olah kau tahu bahwa Ibulah satu-satunya kesayanganmu. Ah, Anakku, di surat ini Ibu sama sekali tak hendak membicarakan ayahmu. Kau tahu, setiap kau bertanya tentang Ayah, Ibu selalu menghindar, menghindar, sampai akhirnya kau mengerti bahwa Ibu tak ingin mendengar dan menjawab pertanyaanmu itu. Maafkan Ibu, Anakku. “Benarkan ayahku seorang pemburu yang hebat, Ibu? Binatang apa saja yang pernah Ayah bawa pulang?” Lalu, kau terkekeh-kekeh membayangkan ayahmu pulang dengan hasil buruannya. Umurmu lima tahun ketika itu. Kemudian, ketika kau bertambah besar, akhirnya kau (tampak) mengerti. Walaupun begitu, Ibu tahu kau masih menyimpan pertanyaanmu itu, seandainya ibu sendiri punya jawabannya. Tetapi, Anakku, kau tahu… bahwa sudah sejak lama sekali hanya engkau satu-satunya milik Ibu, kesayangan Ibu. Bahkan pada saat-saat seperti ini pun, Ibu tidak tahu mesti bicara apa tentang ayahmu. Anakku, cintaku… Jangan biarkan Ibu terlalu lama dalam kesedihan ini… Jangan biarkan Ibu sendirian di dunia ini… Memiliki dirimu adalah kebahagiaan terbesar yang pernah Ibu rasakan selama hidup Ibu, dan Ibu mengatakan apa yang sebenarnya… Anakku, telepon Ibu, Nak… Tak baik bersembunyi terlalu lama dari Ibumu… Yang selalu berdoa untukmu, Ibu *** 30 September 1998 Kepada Ytc. Anakku di mana pun kau berada… Anakku, entah sudah berapa banyak air mata Ibu tumpah, tetapi nasibmu belum jelas jua… Dan kabar paling buruk yang pernah Ibu dengar adalah bahwa sangat bisa jadi kau salah satu dari sekian banyak yang hilang itu… Anakku, Ibu benar-benar sudah tidak tahu mesti bagaimana lagi. Ibu sudah ke Jakarta, bertemu teman-temanmu, bertemu ibu kosmu, bertemu dosen-dosen, entahlah siapa lagi yang sudah Ibu temui untuk bisa mengetahui segala sesuatu tentangmu. Di Jakarta, mereka bicara tentang kegiatan-kegiatanmu di organisasi. Ada yang bilang kamu terlibat ini dan itu. Sulit sekali mempercayai semua hal yang mereka katakan. Sulit sekali menerima sebuah kenyataan bahwa anakku yang dahulu cuma seorang bocah kecil yang lucu, kemudian harus terlibat ini itu tanpa pernah bilang apa-apa pada Ibu. Kenapa kau lakukan semua ini pada Ibu, Nak? Benarkan semua apa yang Ibu baca dan dengar dari berita-berita itu? Satu dua berita, ada yang sedikit memberi rasa lega. Teman-temanmu bilang kau sebenarnya tak terlibat kegiatan-kegiatan seperti yang dibicarakan oleh koran-koran itu. Kata mereka lagi, bahwa kebetulan saja ada seseorang yang bernama sama denganmu, dan dialah sebenarnya yang terlibat kegiatan politik yang berbahaya tersebut. Tapi, jika teman-temanmu yang berkata benar, lantas di mana kau bersembunyi, Anakku? Tolong, jangan buat Ibu pusing dengan segala kesimpangsiuran berita tentangmu, Sayangku! Beri tahu Ibu apa yang sesungguhnya terjadi dengan dirimu! Katakan sesuatu! Agar Ibumu tidak menderita lebih lama dalam menanti berita darimu! Anakku, katakanlah pada Ibu, bahwa semua yang mereka beritakan itu dusta belaka, katakan pada Ibu bahwa kau baik-baik saja, katakan kau telah berhenti kuliah atau apa. Katakan kau tiba-tiba merasa malas karena merasa lebih baik jadi seniman jalanan ketimbang jadi sarjana pengangguran seperti yang sering kau katakan. Atau katakan pada Ibu bahwa kau takut pulang dan mengabari Ibu bahwa kau kini sudah kawin karena pacarmu hamil atau apa pun. Bahkan, semua hal itu selalu akan lebih baik daripada kediamanmu! Kebungkaman semacam ini menyiksa Ibu. Katakan pada Ibu sesuatu, Nak! Jangan sembunyikan sesuatu pun dari ibumu… Mengapa kau lenyap seperti ditelan bumi, Anakku? Yang kehilangan dirimu, Ibu Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 09, 1999 Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |