Amanatia Junda (Cerpenis kelahiran Malang. Bergabung dengan Perkawanan Perempuan Menulis dan penerima dana hibah Cipta Media Ekspresi untuk proyek kumpulan cerpen bertema "Merekam Ingatan Perempuan Pasca Reformasi") Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita, sekaligus menginginkanku untuk membalas cintanya seutuh dirinya mencintai diriku. Seutuh dirinya mencintai tubuhku. Tidak yang lain-lain. Dan ini bukan kesalahannya, saat aku menjelma sebagai seorang istri yang terluka parah dan melukainya dengan membiarkan luka itu tumbuh subur. Dari lebam-lebam di bagian tubuhku yang paling tertutup, luka itu tampak tak berbahaya. Namun lambat laun mengancamnya saat dokter kandungan berkabar bahwa aku tengah hamil.
Dan ini bukan kesalahanku, saat aku bersikeras pulang menjelang magrib dari rumah mertua, mencegat angkot berwarna biru usang, karena aku tak tahan lagi mendengar bisik-bisik pihak keluarga besar suamiku, oleh sebab aku tak kunjung hamil. Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku ke sudut angkot. Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku ke sudut angkot yang tak lagi menyisakan ruang untukku bergerak bebas. Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku dan ia memosisikan dirinya senyaman-nyamannya untuk gerakan yang kasar dan-- Aku sama sekali tidak ingat mukanya. Sama seperti perjumpaanku dengan lusinan wajah asing di angkutan umum. Aku sama sekali tidak ingat ciri fisiknya. Sama seperti saat aku mendapati tikus tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Tapi aku ingat caranya merangsek, merobek, me-- Aku ingat betul ngilunya. Dan aku ingat warna bangku penumpang yang sempit memanjang, hijau tua dengan serat kain pelapisnya yang telah bergurat-gurat. Di bagian yang kududuki busa joknya malah sudah kelihatan rusak. Jendela angkot berkaca film gelap sehingga orang tak bisa mengetahui luka apa yang digores-gores di dalam angkot ini. Di bagian pengait jendela, lapisan kaca film itu telah mengelupas, dan berdebu, dan tak menunggu masa kerja yang lebih panjang. Lantai angkot tampak kotor. Bungkus chiki, permen dan sumpelan tisu terselip di kolong-kolong bangku penumpang. Bekas permen karet melekat di salah satu sisi kerangka bangku. Ada stiker partai-partai dan caleg di kaca pintu tengah. Ada stiker bertuliskan doa berpergian beserta artinya di balik pintu tengah. Kejadian itu menyisakan amarah suamiku. Lelaki itu tak pernah berhasil ditemukan. Begitu pula angkot yang menjadi buruan polisi. Semua raib. Yang diberitakan di media itu, kasus-kasus seperti yang menimpa diriku, kebetulan saja pelakunya mudah tertangkap. Atau mungkin aku yang kurang pandai untuk menjabarkan kronologi kejadian. Mungkin ingatanku terlalu pendek untuk merekam ciri khusus lelaki dan angkot usang itu. Mungkin pula, Pak Polisi teramat sibuk. Masih banyak yang perlu diurus, razia-razia rutin dan kasus-kasus besar, dan aku hanya berakhir sebagai salah satu pelapor dalam daftar panjang kejadian buruk-yang-kerap-terjadi. Suamiku memilih berpisah denganku. Berpisah lantaran aku terlalu dicintainya dan ia terlalu membenci calon anak kami. Bukan. Maksudku, calon anakku. Tapi suamiku sejak lima tahun yang lalu mendambakan buah hati. Tapi tentu tidak dengan cara yang demikian. Tapi mertuaku sangat mendambakan cucu bahkan sejak aku dan putranya masih berpacaran. Tapi tentu saja ini bukan cucu yang mereka idamkan. Dan aku mau menjadi seorang ibu. Hari ini hari kelahiran anakku. Bertepatan dengan Hari Ibu, kata suster yang menimang bayiku lalu memberikan ucapan selamat padaku. Tak sanggup aku menjawab pertanyaan para suster tentang: siapa nama bayiku, di mana ayah bayiku, di mana keluarga yang mendampingiku, kapan kerabatku datang menjenguk. Seorang tukang becak tergopoh-gopoh mengantarkanku ke sini. Ia mendapatiku di depan pasar kecamatan hampir semaput sepulang kerja dari pabrik. Air ketubanku pecah begitu saja jauh sebelum tanggal perkiraan yang pernah disebutkan dokter kandungan. Aku jadi memikirkan biaya bersalin yang harus segera dilunasi sebelum memikirkan yang lain-lain. Anakku perempuan. Ia merengek terlalu lemah. Jadi dokter tega memukul pantatnya berkali-kali dengan keras. Aku melahirkan dengan normal. Rasa sakitnya—haruskah kukatakan tidak lebih sakit dari kejadian di magrib yang lengang itu? Setelah melahirkan, alih-alih bahagia justru rasa gelisah ini tak kunjung reda. Padahal aku mengharap-harap kelegaan luar biasa dari dalam diriku yang sekarang tampil keibuaan. Payudaraku menurut dan mau berkompromi. Anakku minum ASI dariku. Aku melihatnya tampak nyaman dalam dekapanku. Memandangnya membuatku terpesona pada kepolosan makhluk yang begitu lembut. Suster yang terus bertanya tadi akhirnya menyerah. Ia pamit untuk pergi sebentar sembari berpesan kalau ada apa-apa, aku disuruhnya memencet tombol merah di sebelah ranjangku. Ia tampak gusar dan bergegas pergi dengan air muka yang mengingatkanku pada teman pabrikku yang langsung mencucu saat tidak kebagian dengar gosip terbaru. Anakku kelopak matanya mengatup dengan garis-garis urat halus yang masih terlihat. Kedua pipinya merah jambu, secuil hidungnya landai di pertengahan, bibir mungilnya berwarna merah delima, dan tubuhnya terbungkus bedong kain yang hangat dan rapat. Rasa gelisah masih belum bisa pergi dari pikiranku meski sebuah keindahan ada dalam rengkuhanku. Aku mencoba mengusir bayangan bangku penumpang yang panjang, jendela dengan kaca film yang terkelupas, dan lantai angkot yang kotor. Tiba-tiba aku merindukan mantan suami yang mencintaiku, yang andai saja melihat keindahan ini, mungkin hatinya akan melunak dan langsung mengazani anak kami di daun kuping kanannya. Tapi tiba-tiba pula bayangan mantan ibu mertuaku muncul dan bersungut-sungut berkomentar bahwa hidung, bibir, dagu dan alis anak kami tidak mirip siapa pun. Ia menyuruhku mengingat-ingat lagi sosok hitam itu, apakah benar hidungnya pesek? Apa benar begini, apa benar begitu-- Kuhancurkan kerinduanku pada orang-orang masa lalu yang tak mau menerima masa depanku. Jadi aku mulai berkonsentrasi memikirkan nama anakku. Silvia… Kenanga… Sari…. Amalia Restu Ananda… Salsabilla Bunga Laili…. Aisyah Nur Maisarah… Putri Arsy—kok, jadi mirip anaknya Ashanty dan Anang? Vania Nella—duh, malah mirip anak angkatnya Venna Melinda, yang ditemukan di kamar mandi masjid. Apa kunamai seperti nama penyanyi idolaku, ya? Nike Ardilla? Tapi nanti nasibnya buruk, mati muda. Kalau kunamai nama simbahku bagaimana? Siti Misyatun? Nanti dia kalau sudah besar, bisa protes, gara-gara namanya diketawain terus oleh teman sekelasnya. Susah juga mengarang nama anak. Ini bulan Desember, kan? Kalau… Nuraini Ceria Desi? Nur itu cahaya, Aini—artinya apa, ya?, Ceria biar anak ini riang selalu, awet cerah wajahnya. Desi dari kata Desember. Cahaya yang cerah di Bulan Desember. Bagus. Lumayan. Tapi apa gak terlalu sederhana maknanya? Aku ingin nama anakku nanti menjadi doa abadi seumur hidupnya. Nggak cuma menjadi cahaya yang cerah di Bulan Desember saja… Kuhancurkan daftar nama yang sudah kususun tadi. Mungkin karena kelelahan, aku jatuh tertidur. Di dalam dunia yang asing, yang terjadi bertahun-tahun kemudian, aku berada dalam sebuah ruangan yang hangat. Bingkai-bingkai foto bertempelan di salah satu sisi dinding. Bingkai-bingkai itu seolah bercerita bahwa aku mampu melewati hidup yang keras bersama putriku. Putriku yang dulu baru bisa merangkak, berjalan, lalu memakai seragam sekolah untuk yang pertama kalinya sekarang tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan periang. Ia selalu tertawa lebar pada setiap foto yang tercetak. Putriku berkucir dua seperti kuping kelinci. Terlebih lagi, ia di masa depan adalah seorang anak yang cerdas dan penurut. Ruangan itu bermodalkan sebuah mesin jahit untuk membeli barang-barang lain di ruang yang lain, dan tentu saja untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku seorang penjahit yang sedang naik daun di kampung. Sepanjang tahun aku kebanjiran pesanan baju, berbeda dengan penjahit-penjahit lain yang hanya lembur di kala tahun ajaran baru atau mendekati Hari Raya. Para pelanggan merasa puas oleh hasil jahitanku. Model baju yang kubuat tidak pernah terlihat pasaran dan setiap senti baju yang kujahit selalu sempurna. Yang paling membuat pesaingku takjub sekaligus penasaran yakni betapa aku sangat cekatan dan super cepat dalam mengerjakan pesanan. Ternyata di masa depan, aku punya rahasia besar di balik kesuksesan usaha jahit yang ku rintis. Tak ada seorang pun yang tahu memang, kecuali putriku semata wayangnya. Rahasia ketenaranku ini terletak pada mesin jahit canggih yang kucicil dengan jaminan putriku sendiri. Pernah ada suatu masa aku sempat putus asa karena rasanya kebutuhan hidup semakin lama semakin mencekik. Aku berhutang mesin jahit canggih pada seorang lelaki kasar dan beringas. Harga mesin jahit itu tak masuk akal, namun kecanggihannya juga tak kalah menakjubkan. Mesin jahit ini dapat mengeluarkan musik yang indah yang membuat putriku menari dan aku terus terinspirasi menciptakan model baju yang baru. Hingga pada suatu pagi, sang lelaki beringas datang menagih hutang. Beruntung, putriku sedang belajar di sekolah. Mesin jahit canggih itu ditendangnya hingga beberapa bautnya terlepas dan menggelinding di lantai. Aku segera berlari, bergegas menemui putriku. Kuserahkan sekantong kain perca yang selama ini kusimpan di kresek merah. “Nak, dia datang, hendak menghancurkan kita. Kumohon, lekaslah pergi.” Tanganku bergetar saat melilitkan kain perca yang telah kujahit sambung-menyambung ke pinggangnya. “Aku tidak mau sendirian dengan waktu. Jangan pernah tinggalkan aku sendirian, Ibu.” “Kita tidak bisa menghentikan waktu sekarang. Berjanjilah untuk tidak melepas ikatan ini. Kau akan melakukan perjalanan jauh.” “Ibu, bagaimana caraku pulang nanti?” “Angin akan membantumu.” Kami berpisah di siang terik yang memanggang. Aku mengarang alasan bahwa anakku kabur mencari bapak kandungnya yang tak bernama, yang tak pernah sanggup kubayangkan, yang tak pernah mampu kumaafkan. Lantas lelaki penagih hutang yang kasar memaksaku untuk menjahit tanpa henti demi segera membayar lunas harga mesin jahit yang canggih ini. Ia menungguiku, siang dan malam. Setiap aku selesaikan sepotong baju, menitiklah bulir-bulir air mataku. Semakin banyak pakaian yang kubuat, semakin panjang pula jarak yang memisahkanku dengannya. Tepat di bawah jarum jahit yang menancap, sebuah lempeng pelat sorong perak yang melindungi sekoci—mesin bagian bawah, memberiku gambaran di mana putriku sekarang berada. Aku melihatnya menyusuri pemandangan perbukitan yang luas. Ia telah berpindah desa, kota, pulau lalu negara, menyeberangi lautan dan berganti benua. Aku tak yakin mampu menempuh jarak yang telah ditempuhnya melalui lilitan kain perca. Ia bernyanyi keras dalam kesunyiannya. Hujan deras seakan menenggelamkannya, bumi menjadi gelap. Kuputar roda atas mesin jahit dengan lebih cepat, musik aneh muncul beradu melalui gerigi-gerigi mesin jahit. Aku berteriak dalam bisikku padanya, bahwa ia tak perlu takut, kami dapat menggigil bersama. Aku dapat merasakan dinginnya hujan yang menusuk tulang. Ia sampai di sebuah pantai dan kubisikkan padanya bahwa aku dapat menjadi mercusuar yang akan selalu membimbingnya, menjadi layar perahu yang terus menemaninya. Rasaku terhantarkan padanya melalui gulungan benang yang terus-menerus kutambahkan. Aku tersentak bangun. Sekelilingku telah penuh dengan kobaran api. Aku sempat mengira tengah berada di dalam angkot yang terbakar. Sebentar lagi aku akan terpanggang seperti potongan ayam yang masuk dalam oven, bersama juru masak yang telah menyembelihku. Tapi aku tengah duduk di atas kasur. Angkot tak punya kasur. Aku segera meloncat dari atas ranjang, meraung-raung, mencari bayiku yang tak lagi ada dalam dekapan. Aku tak tahu persis kapan kebakaran itu berhasil dipadamkan. Aku dipindahkan ke ruang ICU. Semua orang berbisik-bisik, beberapa kali melirikku. Dokter dan perawat sibuk membicarakan sesuatu dengan muka serius. Namun tak seorang pun berani mendekatiku. Sang suster yang air mukanya mirip dengan teman pabrikku terisak tiada henti. Kuhancurkan bahasa yang kupunya, setelah kepala rumah sakit meninggalkan secarik amplop tebal di hadapanku, setelah aku berusaha keras mencerna kata demi kata penjelasan kepala rumah sakit yang santun. Aku sama sekali tidak ingat bayiku dipindahkan ke kotak penghangat. Aku tidak tahu listrik padam dua puluh menit setelah aku meneteki bayiku dan jatuh tertidur. Aku tidak mengerti mengapa suster harus menyalakan lilin dan lantas ikut jatuh tertidur, dan menjerit histeris dan berlari menyelamatkan dirinya sendiri. Airmata merembes tetapi aku tak lagi bersuara. Rasanya aku menangis dengan cara yang salah. Anakku terpanggang setelah lilin membakar kelambu kotak bayi dan membawa pergi jiwanya kembali ke alam ruh. Haruskah kuputuskan sekarang kesakitan mana yang lebih sakit dari kehilangan ini? Aku melolong tanpa bahasa. Tak seorang pun berniat menyuntikkan obat penenang padaku. Seorang dokter menghampiriku, menyodorkan segelas air putih dan sebutir pil tanpa berkata-kata. Aku tahu maksudnya. Tubuhku rasanya hancur. Kutelan pil itu dan meneguk air putih dengan cepat. Aku ingin kembali tertidur, bermimpi menjahit baju, bertukar rasa dengan putriku di benua lain, dan akan selalu kunasihati diriya untuk tidak tidur bersama nyala lilin. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |