ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Baru Menjadi Ibu

18/9/2018

 
Amanatia Junda
(Cerpenis kelahiran Malang. Bergabung dengan Perkawanan Perempuan Menulis dan penerima dana hibah Cipta Media Ekspresi untuk proyek kumpulan cerpen bertema "Merekam Ingatan Perempuan Pasca Reformasi")
Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita, sekaligus menginginkanku untuk membalas cintanya seutuh dirinya mencintai diriku. Seutuh dirinya mencintai tubuhku. Tidak yang lain-lain.

Dan ini bukan kesalahannya, saat aku menjelma sebagai seorang istri yang terluka parah dan melukainya dengan membiarkan luka itu tumbuh subur. Dari lebam-lebam di bagian tubuhku yang paling tertutup, luka itu tampak tak berbahaya. Namun lambat laun mengancamnya saat dokter kandungan berkabar bahwa aku tengah hamil.
Dan ini bukan kesalahanku, saat aku bersikeras pulang menjelang magrib dari rumah mertua, mencegat angkot berwarna biru usang, karena aku tak tahan lagi mendengar bisik-bisik pihak keluarga besar suamiku, oleh sebab aku tak kunjung hamil.

Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku ke sudut angkot. Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku ke sudut angkot yang tak lagi menyisakan ruang untukku bergerak bebas. Lelaki itu mendesak dudukku agar kugeser sedikit posisiku dan ia memosisikan dirinya senyaman-nyamannya untuk gerakan yang kasar dan--
Aku sama sekali tidak ingat mukanya. Sama seperti perjumpaanku dengan lusinan wajah asing di angkutan umum. Aku sama sekali tidak ingat ciri fisiknya. Sama seperti saat aku mendapati tikus tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku. Tapi aku ingat caranya merangsek, merobek, me--

Aku ingat betul ngilunya.

Dan aku ingat warna bangku penumpang yang sempit memanjang, hijau tua dengan serat kain pelapisnya yang telah bergurat-gurat. Di bagian yang kududuki busa joknya malah sudah kelihatan rusak. Jendela angkot berkaca film gelap sehingga orang tak bisa mengetahui luka apa yang digores-gores di dalam angkot ini. Di bagian pengait jendela, lapisan kaca film itu telah mengelupas, dan berdebu, dan tak menunggu masa kerja yang lebih panjang. Lantai angkot tampak kotor. Bungkus chiki, permen dan sumpelan tisu terselip di kolong-kolong bangku penumpang. Bekas permen karet melekat di salah satu sisi kerangka bangku. Ada stiker partai-partai dan caleg di kaca pintu tengah. Ada stiker bertuliskan doa berpergian beserta artinya di balik pintu tengah.

Kejadian itu menyisakan amarah suamiku. Lelaki itu tak pernah berhasil ditemukan. Begitu pula angkot yang menjadi buruan polisi. Semua raib. Yang diberitakan di media itu, kasus-kasus seperti yang menimpa diriku, kebetulan saja pelakunya mudah tertangkap. Atau mungkin aku yang kurang pandai untuk menjabarkan kronologi kejadian. Mungkin ingatanku terlalu pendek untuk merekam ciri khusus lelaki dan angkot usang itu. Mungkin pula, Pak Polisi teramat sibuk. Masih banyak yang perlu diurus, razia-razia rutin dan kasus-kasus besar, dan aku hanya berakhir sebagai salah satu pelapor dalam daftar panjang kejadian buruk-yang-kerap-terjadi.

Suamiku memilih berpisah denganku. Berpisah lantaran aku terlalu dicintainya dan ia terlalu membenci calon anak kami. Bukan. Maksudku, calon anakku. Tapi suamiku sejak lima tahun yang lalu mendambakan buah hati. Tapi tentu tidak dengan cara yang demikian. Tapi mertuaku sangat mendambakan cucu bahkan sejak aku dan putranya masih berpacaran. Tapi tentu saja ini bukan cucu yang mereka idamkan. Dan aku mau menjadi seorang ibu.

Hari ini hari kelahiran anakku. Bertepatan dengan Hari Ibu, kata suster yang menimang bayiku lalu memberikan ucapan selamat padaku. Tak sanggup aku menjawab pertanyaan para suster tentang: siapa nama bayiku, di mana ayah bayiku, di mana keluarga yang mendampingiku, kapan kerabatku datang menjenguk.

Seorang tukang becak tergopoh-gopoh mengantarkanku ke sini. Ia mendapatiku di depan pasar kecamatan hampir semaput sepulang kerja dari pabrik. Air ketubanku pecah begitu saja jauh sebelum tanggal perkiraan yang pernah disebutkan dokter kandungan. Aku jadi memikirkan biaya bersalin yang harus segera dilunasi sebelum memikirkan yang lain-lain.

Anakku perempuan. Ia merengek terlalu lemah. Jadi dokter tega memukul pantatnya berkali-kali dengan keras. Aku melahirkan dengan normal. Rasa sakitnya—haruskah kukatakan tidak lebih sakit dari kejadian di magrib yang lengang itu? Setelah melahirkan, alih-alih bahagia justru rasa gelisah ini tak kunjung reda. Padahal aku mengharap-harap kelegaan luar biasa dari dalam diriku yang sekarang tampil keibuaan. Payudaraku menurut dan mau berkompromi. Anakku minum ASI dariku. Aku melihatnya tampak nyaman dalam dekapanku. Memandangnya membuatku terpesona pada kepolosan makhluk yang begitu lembut.

Suster yang terus bertanya tadi akhirnya menyerah. Ia pamit untuk pergi sebentar sembari berpesan kalau ada apa-apa, aku disuruhnya memencet tombol merah di sebelah ranjangku. Ia tampak gusar dan bergegas pergi dengan air muka yang mengingatkanku pada teman pabrikku yang langsung mencucu saat tidak kebagian dengar gosip terbaru.
Anakku kelopak matanya mengatup dengan garis-garis urat halus yang masih terlihat. Kedua pipinya merah jambu, secuil hidungnya landai di pertengahan, bibir mungilnya berwarna merah delima, dan tubuhnya terbungkus bedong kain yang hangat dan rapat. Rasa gelisah masih belum bisa pergi dari pikiranku meski sebuah keindahan ada dalam rengkuhanku. Aku mencoba mengusir bayangan bangku penumpang yang panjang, jendela dengan kaca film yang terkelupas, dan lantai angkot yang kotor.

Tiba-tiba aku merindukan mantan suami yang mencintaiku, yang andai saja melihat keindahan ini, mungkin hatinya akan melunak dan langsung mengazani anak kami di daun kuping kanannya. Tapi tiba-tiba pula bayangan mantan ibu mertuaku muncul dan bersungut-sungut berkomentar bahwa hidung, bibir, dagu dan alis anak kami tidak mirip siapa pun. Ia menyuruhku mengingat-ingat lagi sosok hitam itu, apakah benar hidungnya pesek? Apa benar begini, apa benar begitu--

Kuhancurkan kerinduanku pada orang-orang masa lalu yang tak mau menerima masa depanku. Jadi aku mulai berkonsentrasi memikirkan nama anakku.
Silvia… Kenanga… Sari….
Amalia Restu Ananda… Salsabilla Bunga Laili…. Aisyah Nur Maisarah… Putri Arsy—kok, jadi mirip anaknya Ashanty dan Anang? Vania Nella—duh, malah mirip anak angkatnya Venna Melinda, yang ditemukan di kamar mandi masjid. Apa kunamai seperti nama penyanyi idolaku, ya? Nike Ardilla? Tapi nanti nasibnya buruk, mati muda. Kalau kunamai nama simbahku bagaimana? Siti Misyatun? Nanti dia kalau sudah besar, bisa protes, gara-gara namanya diketawain terus oleh teman sekelasnya. Susah juga mengarang nama anak.  Ini bulan Desember, kan? Kalau… Nuraini Ceria Desi? Nur itu cahaya, Aini—artinya apa, ya?, Ceria biar anak ini riang selalu, awet cerah wajahnya. Desi dari kata Desember. Cahaya yang cerah di Bulan Desember. Bagus. Lumayan. Tapi apa gak terlalu sederhana maknanya? Aku ingin nama anakku nanti menjadi doa abadi seumur hidupnya.  Nggak cuma menjadi cahaya yang cerah di Bulan Desember saja…
Kuhancurkan daftar nama yang sudah kususun tadi. Mungkin karena kelelahan, aku jatuh tertidur.

Di dalam dunia yang asing, yang terjadi bertahun-tahun kemudian, aku berada dalam sebuah ruangan yang hangat. Bingkai-bingkai foto bertempelan di salah satu sisi dinding. Bingkai-bingkai itu seolah bercerita bahwa aku mampu melewati hidup yang keras bersama putriku. Putriku yang dulu baru bisa merangkak, berjalan, lalu memakai seragam sekolah untuk yang pertama kalinya sekarang tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan periang. Ia selalu tertawa lebar pada setiap foto yang tercetak. Putriku berkucir dua seperti kuping kelinci. Terlebih lagi, ia di masa depan adalah seorang anak yang cerdas dan penurut.

Ruangan itu bermodalkan sebuah mesin jahit untuk membeli barang-barang lain di ruang yang lain, dan tentu saja untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku seorang penjahit yang sedang naik daun di kampung. Sepanjang tahun aku kebanjiran pesanan baju, berbeda dengan penjahit-penjahit lain yang hanya lembur di kala tahun ajaran baru atau mendekati Hari Raya. Para pelanggan merasa puas oleh hasil jahitanku. Model baju yang kubuat tidak pernah terlihat pasaran dan setiap senti baju yang kujahit selalu sempurna. Yang paling membuat pesaingku takjub sekaligus penasaran yakni betapa aku sangat cekatan dan super cepat dalam mengerjakan pesanan.

Ternyata di masa depan, aku punya rahasia besar di balik kesuksesan usaha jahit yang ku rintis. Tak ada seorang pun yang tahu memang, kecuali putriku semata wayangnya. Rahasia ketenaranku ini terletak pada mesin jahit canggih yang kucicil dengan jaminan putriku sendiri. Pernah ada suatu masa aku sempat putus asa karena rasanya kebutuhan hidup semakin lama semakin mencekik. Aku berhutang mesin jahit canggih pada seorang lelaki kasar dan beringas. Harga mesin jahit itu tak masuk akal, namun kecanggihannya juga tak kalah menakjubkan. Mesin jahit ini dapat mengeluarkan musik yang indah yang membuat putriku menari dan aku terus terinspirasi menciptakan model baju yang baru.
Hingga pada suatu pagi, sang lelaki beringas datang menagih hutang. Beruntung, putriku sedang belajar di sekolah. Mesin jahit canggih itu ditendangnya hingga beberapa bautnya terlepas dan menggelinding di lantai. Aku segera berlari, bergegas menemui putriku. Kuserahkan sekantong kain perca yang selama ini kusimpan di kresek merah.

“Nak, dia datang, hendak menghancurkan kita. Kumohon, lekaslah pergi.” Tanganku bergetar saat melilitkan kain perca yang telah kujahit sambung-menyambung ke pinggangnya.

“Aku tidak mau sendirian dengan waktu. Jangan pernah tinggalkan aku sendirian, Ibu.”
“Kita tidak bisa menghentikan waktu sekarang. Berjanjilah untuk tidak melepas ikatan ini. Kau akan melakukan perjalanan jauh.”
“Ibu, bagaimana caraku pulang nanti?”
“Angin akan membantumu.”

Kami berpisah di siang terik yang memanggang. Aku mengarang alasan bahwa anakku kabur mencari bapak kandungnya yang tak bernama, yang tak pernah sanggup kubayangkan, yang tak pernah mampu kumaafkan. Lantas lelaki penagih hutang yang kasar memaksaku untuk menjahit tanpa henti demi segera membayar lunas harga mesin jahit yang canggih ini. Ia menungguiku, siang dan malam.

Setiap aku selesaikan sepotong baju, menitiklah bulir-bulir air mataku. Semakin banyak pakaian yang kubuat, semakin panjang pula jarak yang memisahkanku dengannya. Tepat di bawah jarum jahit yang menancap, sebuah lempeng pelat sorong perak yang melindungi sekoci—mesin bagian bawah, memberiku gambaran di mana putriku sekarang berada.
Aku melihatnya menyusuri pemandangan perbukitan yang luas. Ia telah berpindah desa, kota, pulau lalu negara, menyeberangi lautan dan berganti benua. Aku tak yakin mampu menempuh jarak yang telah ditempuhnya melalui lilitan kain perca. Ia bernyanyi keras dalam kesunyiannya. Hujan deras seakan menenggelamkannya, bumi menjadi gelap.

Kuputar roda atas mesin jahit dengan lebih cepat, musik aneh muncul beradu melalui gerigi-gerigi mesin jahit. Aku berteriak dalam bisikku padanya, bahwa ia tak perlu takut, kami dapat menggigil bersama. Aku dapat merasakan dinginnya hujan yang menusuk tulang. Ia sampai di sebuah pantai dan kubisikkan padanya bahwa aku dapat menjadi mercusuar yang akan selalu membimbingnya, menjadi layar perahu yang terus menemaninya. Rasaku terhantarkan padanya melalui gulungan benang yang terus-menerus kutambahkan.

Aku tersentak bangun. Sekelilingku telah penuh dengan kobaran api. Aku sempat mengira tengah berada di dalam angkot yang terbakar. Sebentar lagi aku akan terpanggang seperti potongan ayam yang masuk dalam oven, bersama juru masak yang telah menyembelihku. Tapi aku tengah duduk di atas kasur. Angkot tak punya kasur. Aku segera meloncat dari atas ranjang, meraung-raung, mencari bayiku yang tak lagi ada dalam dekapan.

Aku tak tahu persis kapan kebakaran itu berhasil dipadamkan. Aku dipindahkan ke ruang ICU. Semua orang berbisik-bisik, beberapa kali melirikku. Dokter dan perawat sibuk membicarakan sesuatu dengan muka serius. Namun tak seorang pun berani mendekatiku. Sang suster yang air mukanya mirip dengan teman pabrikku terisak tiada henti.
Kuhancurkan bahasa yang kupunya, setelah kepala rumah sakit meninggalkan secarik amplop tebal di hadapanku, setelah aku berusaha keras mencerna kata demi kata penjelasan kepala rumah sakit yang santun.

Aku sama sekali tidak ingat bayiku dipindahkan ke kotak penghangat.
Aku tidak tahu listrik padam dua puluh menit setelah aku meneteki bayiku dan jatuh tertidur.
Aku tidak mengerti mengapa suster harus menyalakan lilin dan lantas ikut jatuh tertidur, dan menjerit histeris dan berlari menyelamatkan dirinya sendiri.

Airmata merembes tetapi aku tak lagi bersuara. Rasanya aku menangis dengan cara yang salah. Anakku terpanggang setelah lilin membakar kelambu kotak bayi dan membawa pergi jiwanya kembali ke alam ruh. Haruskah kuputuskan sekarang kesakitan mana yang lebih sakit dari kehilangan ini? Aku melolong tanpa bahasa.

Tak seorang pun berniat menyuntikkan obat penenang padaku. Seorang dokter menghampiriku, menyodorkan segelas air putih dan sebutir pil tanpa berkata-kata. Aku tahu maksudnya. Tubuhku rasanya hancur. Kutelan pil itu dan meneguk air putih dengan cepat. Aku ingin kembali tertidur, bermimpi menjahit baju, bertukar rasa dengan putriku di benua lain, dan akan selalu kunasihati diriya untuk tidak tidur bersama nyala lilin.
 

Nyala Lilin yang Menerangi Wanita itu di Kala Malam

23/6/2017

 
Ferry Fansuri
Penulis Lepas
ferry_fansuri@yahoo.com
         Sore menjelang malam dalam ruangan mulai gelap tanpa cahaya, aku berpendar menerangi di dalamnya. Tiap malam seperti malam-malam yang lain aku selalu ada dan hadir, aku masih ingat dimana aku berada. Meja di sudut kamar itu dekat jendela yang terbuat dari jati, bersebelahan dengan tempat tidur. Aku selalu diletakkan di samping buku-buku, kertas serta tinta, aku bisa melihat sekitarku dengan jelas dan tanpa aku semua buta. Inilah pekerjaanku dan tidak pernah bosan.
            Aku tidak sendiri di kamar itu melainkan berteman dengan banyak wujud, ada Zigi seekor kecoa yang mempunyai sarang dibalik kayu yang lapuk di sisi ujung kamar atau dengan Bonti seekor tikur kecil tanpa mata yangs selalu merayap di pinggir-pinggir untuk menemukan jalan keluar. Tapi wujud yang paling aku sukai adalah seorang manusia yang selalu menempati kamar ini.
          Manusia itu telah lama ada di sini, mulai dari ia remaja sampai dewasa. Aku mengikuti pertumbuhan dan tahu sejarahnya, manusia ini selalu memakai kebaya putih dan jarit bertekstur batik. Rambutnya terkadang terurai harum tercium olehku atau sesekali disanggul untuk memperlihatkan keanggunan.
     Kusuka wajahnya, begitu teduh dan menenangkan, kulitnya kuning langsat dan kencang membuat ingin menjamahnya. Gerak-geriknya begitu ningrat bak putri keraton, lemah lembut dalam bertutur dan tidak tergesa-gesa. Biarpun demikian, terkadang liar, berbicara lantang dan berani menolak tanpa ada batasnya.
            Semua ativitas ada di kamar ini, mulai pagi menyerobot dibalik jendela sampai matahari kembali ke peraduannya. Aku selalu di sini menemaninya dan tak pernah lepas dari mataku, manusia berkebaya tiap malam selalu duduk di meja itu. Di sebelahnya ada aku yang menerangi, ia suka sekali membuka buku dan memelototi satu persatu huruf di dalamnya.
            Tapi aku tak tahu apa yang ia baca, terlihat hanya sampul buku itu dalam bahasa Belanda seperti De Hollandshce Lelie dan Semarang De Locomotief . Ia membaca dengan seksama huruf demi huruf, kata ke kata dan ini membuat alisnya berkerut atau matanya berbinar saat menemukan cerita dalam lembaran-lembaran jurnal tersebut.
            Tidak hanya membaca tapi ia juga menulis, aku sedikit-sedikit melirik apa yang ia tulis. Ia menulis dengan tinta hitam, tulisan begitu indah dengan paragraf demi paragraf tersusun rapi, terkesan manusia satu ini terpelajar. Kadang tak sengaja lirikan itu membuat percikan api yang membakar ujung kertas yang ia tulis bahkan membuat lubang-lubang kecil bekas percikanku.
            Begitu juga saat percikan-percikan apiku mengenai tangan, ia mengaduh kesakitan, maaf tidak sengaja. Aku penasaran melihat yang kamu tulis karena sungguh aneh anak-anak seusiamu di zaman ini tidak diperbolehkan sekolah atau dipingit tidak boleh keluar rumah, hanya belajar adat istiadat, bertutur ngoko, merawat diri dengan ramuan tradisional untuk diambil seorang manusia lainnya pilihan keluarga kalian.
            Tapi kau berbeda, apa yang kau baca dan tulis tidak mencerminkan itu semua. Tak jarang kulihat engkau menitikkan airmata saat membaca Max Havellar atau De Stille Kraach karya Louis Coperus. Kulihat dari matamu ada sebuah pergolakan batin dan perlawanan akan ketidaksesuaian zamanmu.
            Malam begitu larut, kau pun menguap sepertinya matamu mengantuk. Kau beranjak dari meja itu dengan menggeser bangku dan mengarah ke tempat tidur. Tak lupa kau tiup aku seakan mengucapkan selamat tidur kepadaku dan semua jadi gelap dan aku pun terlelap menemanimu.
 
                                                                                                    *****
           
​            Suatu malam kau tambah terisak berlinang airmata, kau datang dari pintu itu dan menubruk bantal guling di tempat tidur. Terus menangis sesenggukan dan aku tak tahu apa yang kau tangisi. Malam itu memang aku selalu menemani tapi kau tidak menyentuh meja di dekatku atau beraktivitas seperti biasanya. Sepertinya kau enggan lagi untuk mendekati meja dan bangku yang jadi favoritmu tiap malam. Membaca dan menulis sesuatu kepada teman-temanmu di Holland sana. Aku rindu berada di dekatmu lagi tapi kau acuh tak acuh.
            Begitu juga malam berikutnya kau tak menyentuhku lagi, kau langsung menuju peraduanmu untuk terlelap. Aku merindukan kamu seperti dulu bisa memandangimu dan membikin diriku kasmaran. Ah, kemana kau yang dulu, aku tak temukan jawaban sedikitpun.
            “Hei kau, kenapa tertunduk lesu?” suara yang tak asing bagiku, Zigi si kecoa sekonyong-konyong muncul di hadapanku.
            “Oh kau, ada urusan apa kau di sini” jawabku tanpa memalingkan wajah.
            “Pasti kau menanyakan manusia satu itu, kenapa tak menyentuhmu kan” kekeh Zigi.
            “Kau seperti tahu segalanya” sindirku
            “Pastilah tahu, kau kan hanya di sini dan tidak bisa bergerak”
            “Aku bisa bergerak dan melihat mereka”
            Aku hanya diam akan perkataan Zigi si kecoa ini
“Manusia itu berdebat dengan manusia yang lebih tua dan aku paham semua percakapan mereka”
“Manusia yang kau sanjung itu punya keinginan besar”
“Ia mau belajar di luar seberang laut sana tapi manusia satunya melarangnya”
“Terjadi perdebatan hebat dari dua mulut manusia-manusia itu”
Kecoa itu berlalu dari hadapanku dengan meninggalkan tanda tanya besar yang tidak aku mengerti. Mengapa dia ingin belajar di negeri seberang? Kenapa tidak di sini saja biar aku bisa terus menatap matanya? Ah, pikiranku kacau gara-gara kecoa satu ini. Malam sudah diujung, kerlip bintang berganti matahari.
            Di dalam pikiranku masih menunggumu tapi tak kunjung kau datang, ada apa denganmu? Hampir berhari-hari kau tidak menyentuh meja, buku atau tinta penamu. Aku sangat merindukanmu saat ini.
            “Hei kau melamun saja, apa yang kau pikirkan saat ini” lamunanku terhenyak saat Bonti si tikus melintas di depanku sambil mulutnya mengerat sisa makanan entah ia dapat darimana.
            “Oh kamu Bonti. Tidak ada apa-apa, aku hanya jenuh dengan aktivitasku saja”
            “Jangan bohong. Aku tahu dari matamu, kau mengharapkan kehadiran manusia itu kan?
            Tikus tengil ini seakan tahu akan kegalauan diriku tapi aku tak mengiyakan pertanyaannya hanya memandang jendela di depanku.
            “ Kau tahu manusia itu tidak akan tinggal di sini lagi, akan diboyong oleh manusia lain jenis dari kaumnya” Bonti tiba-tiba mencerocos kepadaku.
            “Maksudmu apa?”
            “Kau dengar tadi yang aku katakan kan, manusia pujaan itu akan dikawinkan untuk melahirkan seorang bayi”
            “Kemarin saat aku sedang mengorek-ngorek sampah di belakang dapur rumah ini, aku mendegarkan percakapan keluarga manusia itu. Manusia idolamu itu akan dinikahkan tapi sepertinya ia tidak setuju, yang kudengar itu tradisi negeri ini yang tidak bisa ditolak olehnya”
            “Menikah?”
            “Kawin?”
            “Dibawa pergi?”
            “Apa katamu benar dan tidak bohong?“
            Bonti tidak menjawab malah ngeloyor meninggalkan pertanyaan yang belum ada jawaban bagiku.
            Hati ini terasa hancur mendengar berita itu, apakah aku cemburu? Ah tidak. Apalah aku buat dia.
            Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan beranjak bulan berikutnya. Kau tak tampak dan kupikir kau tidak akan kembali ke tempat ini. Tapi pada suatu malam pintu kamar itu terbuka perlahan, kulihat engkau di ujung pintu tersebut. Kau tampak anggun dengan balutan kebaya putih itu, aku girang akhirnya kau datang juga.
            Kau melangkah pelan-pelan ciri khasmu, kau menyalakan aku malam ini. Kau geser bangku kecil itu dan membersihkan debu di meja yang lama kau tinggalkan. Sedikit demi sedikit kau buka lagi buku-buku milikmu, aku lihat bola matamu yang berbinar.
            Kertas di meja itu kau ambil dan pena tinta ada di tanganmu, dengan cekatan kau tuliskan kalimat seksama. Setelah selesai kau bubuhi tanda tangan, rutinitas malam mulai kau lakukan tiap hari.
            Ini yang membuatku gembira, kau menulis dan merangkai kata-kata. Setelahnya kau masukkan ke amplop surat dan mengirimkannya ke tukang pos. Tidak hanya satu dan puluhan surat yang telah aku hasilkan bahkan suatu saat pernah kulihat engkau dengan antusias sambil menulis surat, kau berkata “Aku Mau!”
            Semangat itu menggelora dan berapi-berapi dan aku bisa merasakan itu. Aku bergembira atas kamu. Kau menemukan tujuan hidup lagi setelah kemarin hilang redup. Kau menulis seperti ingin menunjukkan kepada dunia di luar sana akan keinginan, hasrat dan tujuanmu. Kau ingin mengubah tatanan lama menjadi baru, kau mau membuka pintu itu dari gelap menjadi terang.
            Itu bisa kulihat dari tulisanmu dan aku paham saat kulirik surat yang kau tulis di bait terakhir itu pada malam aku menerangimu.
 
“… andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalan telah terbuka dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan wanita.” (Kartini kepada Abendanon 1902)
 
Surabaya, Maret 2017

Perempuan dan Mentalitas

28/2/2017

 
Rena Asyari
rena.asyari@gmail.com
(Lecture, founder seratpena)
Jam 6 pagi, seperti sekawanan semut yang terkurung dalam kotak selama berjam-jam lalu ketika ada celah sedikit saja mereka akan berebutan keluar, perlahan-perlahan lalu membludak. Seperti itulah kira-kira gambaran di salah satu pabrik yang berlokasi di Jatiwangi Majalengka, per 8 jam sekali pintu-pintu gerbang membuka, karyawan pabrik berganti shif dan karena lokasinya yang berada tepat di sisi jalan nasional/jalan utama maka lalu-lintas pun menjadi macet.
Kira-kira 17 tahun lalu, kurang lebih 7 km dari rumahku, berdiri dengan megah sebuah pabrik. Selebaran pun mulai di bagikan, gosip dari mulut ke mulut pun mulai menyebar, informasi pabrik tersebut membutuhkan banyak karyawan menjadi gegap gempita. Kabupaten Majalengka seakan diberi hadiah, terciptanya lapangan pekerjaan untuk ribuan pekerja.

Dengan berbekal ijazah SMA antrian lamaran kerja pun mengular, sebagian besar yang dibutuhkan pekerja perempuan berusia minimal 18 tahun. Wajah-wajah perempuan yang mengantri penuh harapan. Mereka saling berkenalan dan ternyata tujuan semuanya sama, mencari “Matahari” di Pabrik. “Matahari” yang akan menaikkan status mereka dan mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.

Saya termasuk salah satu dari mereka yang mengantri. 12 tahun lalu saya mendekap amplop berwarna cokelat, kepala saya tengadah mencari perlindungan. Yang saya dapatkan hanyalah sinar matahari terik dan bayangan wajah mereka yang memaksa semakin jelas. Geram, dan tentu saja marah. Tekad saya ingin sekolah tinggi harus kandas karena lingkungan yang memaksa semua perempuan muda menjadi serupa. Menjadi pekerja di pabrik. Yang hanya bisa dilakukan ketika itu adalah pasrah. Wajah-wajah pasrah pun saya dapati dari mereka yang sedang mengantri. Terpaksa, tak ada jalan lain.

Sunda Perbatasan
Majalengka, salah satu kabupaten yang terletak di sebelah timur Jawa Barat. Sunda yang melekat di Majalengka adalah Sunda perbatasan. Hal ini terlihat dari budaya dan tutur bahasa yang sangat berbeda dengan tanah priangan lainnya. Letaknya yang dekat dengan Cirebon mempengaruhi selera dan pandangan hidup orang Majalengka. Derasnya modernisasi yang minim filter menyebabkan cara hidup yang dominan dianut adalah cenderung praktis. Hidup hanya mengalir, tidak banyak protes, yang penting terus bergulir sama seperti yang lain. Pada saat itu awal tahun 2000-an berpendidikan tinggi bukanlah sebuah pencapaian bagi perempuan di desa saya. Tinggal di desa dan khususnya bagi yang miskin menyebabkan sekolah bukanlah tujuan. Mencari uanglah tujuan utama. Sedini mungkin, itu lebih baik.

Hal ini berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi. Seolah tak mau beranjak dari kemiskinan, sang ibu yang menikah muda akan menyuruh anak perempuannya untuk menikah muda pula dengan harapan pernikahan akan mengurangi beban hidup. Ibu yang penakut akan melahirkan anak-anak yang penakut pula. Kebanyakan Orang Majalengka tak memiliki cita-cita untuk pergi jauh merantau, mencari penghidupan yang lebih baik. Hidup hanya tentang berkumpul, “tuang teu tuang nu penting ngempel”[1]. “Tak apa anak tak hidup mapan yang penting rumahnya tak jauh dari rumahku”, begitu kata salah satu ibu di sana ketika saya mewawancarainya. Anaknya 7, dan hampir semuanya tinggal di desa yang sama.
 
Terperangkap dalam Arus Modernitas dan Konsumerisme
Zaman berganti, modernitas masuk perlahan secara paksa. Perusahaan asing raksasa mulai mengincar desa-desa yang sumber daya manusianya masih rendah. Selain lahan yang masih tersedia, juga Upah Minimum Regional yang rendah mungkin menjadi alasan untuk mereka mendirikan perusahaannya. Pabrik raksasa sejatinya adalah perusahaan besar yang menjamin status pekerjanya, dari mulai asuransi kesehatan dan upah yang diberikan jauh lebih layak daripada bekerja sebagai buruh di pabrik genteng. Genteng adalah komoditas industri utama di Jatiwangi. Jatiwangi adalah salah satu kecamatan yang cukup populer di Majalengka.

Ketika sebuah pabrik yang  biasanya hanya bisa dilihat di televisi dan kini hadir di dekat rumah, harapan pun muncul di benak para orang tua. Anak perempuannya bisa melamar pekerjaan di pabrik, berpakaian bersih, bergincu dan tentu saja mendapat uang. Orang-orang tua euforia, mereka mendesak anak-anaknya untuk segera mengirim lamaran ke Pabrik, segala cara dilakukan dari mulai usia yang dimudakan, SKCK yang diada-adakan, KTP dan kartu keluarga yang mendadak dibuat, hanya untuk mengisi amplop warna coklat dan diserahkan pada pihak Pabrik. Hal yang belum ada sebelumnya.

Booming Pabrik pun melanda, Pabrik menjadi oase, orang tua  bangga anaknya bekerja di Pabrik. Desakan bagi perempuan muda untuk bekerja di Pabrik deras sekali, dari suami, orang tua dan para saudara. Terbangun dengan pola pikir yang pragmatis, maka perempuan muda di Majalengka pun banyak yang memilih menyerah. Bersekolah hingga SMA itu sudah untung, pikirnya.

Perempuan muda pun bergairah, memakai gincu, pakaian bersih rapi, dan aroma parfum yang semerbak mewangi. Berangkat sesuai jadwal shift, ada yang shift pagi yaitu jam 06.00 ada yang shift siang yaitu jam 02.00 dan ada yang shift malam yaitu jam 22.00.  Mereka menjadi lebih bergengsi bekerja di pabrik. Tempatnya tertutup dan tidak kotor meskipun tempat tersebut tidak menjamin bebas dari pelecehan seksual.
 
Suka Duka Perempuan Pabrik
Perekonomian meningkat, tentu saja status personal juga meningkat. Penghasilan yang diperoleh menyebabkan perempuan-perempuan muda pun lebih bergeliat. Supermarket menjadi pelarian ketika hari gajian tiba. Gajian biasanya diberikan per dua minggu. Ada pula uang tambahan lembur. Hidup di desa, bekerja, mempunyai uang adalah suatu pencapaian. Terlebih pencapaian itu bisa dilihat dari tas, sepatu, baju yang berganti-ganti. Mereka bergaya, mereka ceria.
Konsumerisme telah melanda perempuan-perempuan muda di desa. Konsumerisme datang tanpa tedeng aling-aling memangsa, merobek, mengunyah dan melahirkan budak-budak kapitalisme.
Perempuan-perempuan muda yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Pabrik, merasa mendapat penghiburan dengan melihat tas, sepatu dan baju yang selalu mereka beli. Hampir tak ada ruang-ruang untuk belajar dan memperkaya pengetahuan apalagi berkontemlasi. Perempuan-perempuan muda ini kelak akan menjadi ibu dan mencetak generasi. Zaman boleh berganti tetapi sepertinya pandangan dan cara hidup tidak sebegitu mudah untuk diganti, jika pengetahuan dan pendidikan saja tidak diijinkan untuk hadir.
 
Peran Perempuan
Perempuan mengambil peran yang besar bagi roda perekonomian. Tanpa perempuan pabrik hanya sebuah gedung yang akan dihuni kelelewar. Pekerja pria tidak setelaten dan sesabar perempuan, rajut, linking, sontek, sewing, steam, packing, finishing, adalah bagian-bagian yang dikerjakan tangan perempuan dengan terampil. Perempuan tetap melakukan pekerjaan rumah sepenuhnya, meski dia adalah seorang pencari nafkah tunggal sekalipun. Pikiran yang enggan beranjak, memaksa perempuan-perempuan di Jatiwangi untuk menjadi “perkasa”, ya cari uang, ya melayani seluruh keluarga di rumah.

Jika saja 12 tahun lalu saya tak memaksa untuk melanjutkan sekolah, mungkin saya akan menjadi bagian dari mereka, bersenda gurau, menggodai dan digodai laki-laki, bergairah dengan upah UMR,  dan tentunya tak pusing dengan masalah politik dan sosial lainnya. Saya memilih jalan lain, meskipun didera dengan kata-kata yang menyakitkan dari orang-orang terdekat yatu untuk melamar sebagai pegawai pabrik.

Saya cukup berbangga ketika banyak perempuan-perempuan muda di di daerah saya sudah berpenghasilan yang cukup, tetapi yang membuat saya sedih, anggapan bahwa sekolah tidak bisa membuat perut kenyang masih kencang terdengar.
Alangkah baiknya jika tingkat kemapanan ekonomi diiringi juga dengan kemajuan cara berpikir. Hidup adalah pilihan. Menurut saya pengetahuan dan pendidikan, belajar dan sekolah masih pilihan terbaik untuk memperbaiki taraf hidup. Dibalik diri saya saat ini, saya masih juga bertanya mengapa pendidikan dan pengetahuan tidak menjadi salah satu orientasi bagi banyak perempuan di desa saya, yang pasti mereka memilih sebuah pilihan terbaik yang mereka tahu.

Catatan Akhir:
[1] “Tuang teu tuang nu penting ngempel” artinya makan tidak makan yang penting ngumpul

MARIA

14/10/2016

 
Vregina Diaz Magdalena
vregidm@gmail.com

Maria lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Ia satu-satunya anak perempuan yang dimiliki sepasang suami istri berdarah Sulawesi Utara. Mereka lama tinggal di surabaya. Maria bukanlah anak perempuan satu-satunya karena ia mempunyai saudara perempuan dari Ibu sebelumnya. Wajah Maria cukup menarik, ia tumbuh dengan tanda lahir di pipi sebelah kanan. Kulitnya berwarna kuning langsat.

Setelah Maria duduk di bangku sekolah dasar, pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabnya. Membersihkan rumah, memasak untuk adik-adiknya, membantu Ibu, dan belajar. Semua pekerjaan rumah mendadak menjadi tanggung jawabnya, setiap Maria pamit izin untuk mengerjakan tugas sekolah. Ibunya selalu berkata “Lihat, tumpukan baju belum disetrika!”. Keberanian pamit belajarnya ciut, setelah tahu jawaban Ibunya. Setiap malam, badannya sudah letih, ia ingin beristirahat tetapi ada tugas sekolah yang masih harus dikerjakan. Kadang, Maria membawa buku di tangan sebelah kanan, kemudian di tangan sebelah kiri menggendong adiknya yang masih bayi. Bagi Maria tak masalah, asal ia masih sempat belajar.

Pagi hari, ia kembali sibuk dengan rutinitas memandikan dan menyuapi semua adik-adiknya. Setibanya di sekolah, badannya jarang sekali bisa menerima pelajaran. Maria hanya duduk bersandar dan meletakkan kepalanya di atas meja. Sering sekali Maria merasa kelaparan karena setiap pagi lupa sarapan. Jangankan duduk diam dan sarapan, bisa memakai seragam dan menyiapkan buku pelajaran dengan tenang saja sudah bersyukur. Maria mempunyai banyak teman, ia pandai bergaul, kebanyakan temannya adalah laki-laki. Setiap pulang sekolah, ia menyempatkan untuk bermain voli bersama teman-temannya. Setelah selesai bermain, Maria pulang dengan ketakutan dimarahi Ibunya. Bukan karena pulang terlambat, tetapi rumah belum dibersihkan.

Satu hari, saat Maria SMA, Maria belum bisa membayar SPP. Ia kebingungan untuk mendapatkan uang untuk membayarnya. Tidak mungkin ia meminta Ayah dan Ibunya, karena ia sadar bahwa adik-adiknya lebih membutuhkan uang itu. Maria memutuskan untuk mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan setelah pulang sekolah. Menjadi pelayan di rumah makan, penjaga kasir di toko buku, serta penjaga kue roti sudah dijalaninya selama beberapa bulan. Lagi-lagi, ia merasa kurang mempunyai waktu belajar. Kali ini bukan lagi mengurus dan merawat adik-adiknya, tetapi mencukupi kebutuhan sekolahnya sendiri. Beruntung sekali, ia mendapatkan izin untuk keluar rumah dengan waktu yang cukup lama meskipun setelah di rumah Maria juga tidak bisa istirahat.

Maria memutuskan untuk menyewa kamar kost, ia merasa tidak bisa lagi hidup bersama Ibu dan Ayahnya. Semakin bertambah umur, Maria berani mengambil sikap atas kehidupannya. Tidak lagi berada di rumah mengurusi urusan rumah tangga yang seharusnya dilakukan Ibunya. Tidak lagi kerepotan dan kebingungan saat beras habis yang seharusnya dilakukan Ayahnya. Setelah menyelesaikan sekolah, Maria mencoba untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta. Maria sadar, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah ke atas, ia tidak bisa belajar tenang. Nilai di rapor juga pas-pasan, tidak pernah mempunyai ranking, bahkan nilainya dibawah standar. Tetapi Maria gigih, ia percaya bahwa dirinya mampu duduk di perguruan tinggi dan mendapat nilai cukup baik. Maria hanya sempat merasakan perguruan tinggi selama 2 tahun, Ayahnya menemui Maria dan memintanya untuk bekerja sebagai pegawai negeri karena dirasa lebih menjanjikan dan menguntungkan sebagai seorang perempuan. Maria menyetujui permintaan Ayahnya.

Resmi menjadi pegawai, Maria mulai menjalin hubungan asmara dengan teman laki-lakinya. Mereka bertemu waktu latihan voli. Beruntung lagi, bahwa mereka satu gereja dan sering bertemu setiap hari minggu. Kadang-kadang, Maria menyempatkan waktu di malam hari untuk bertemu kekasihnya dan menghabiskan waktu bersama. Setelah berjalan 4 tahun, ternyata mereka harus berpisah. Laki-laki itu meminta izin untuk mengikuti pendidikan kepolisian. Maria rela melepaskan kekasihnya. Tepat diumur 24 tahun, ada lelaki yang melamar dan memintanya sebagai istri. Tentu saja Maria menolak karena ia merasa masih menjadi kekasih laki-laki lain. Tetapi Ayahnya meminta Maria untuk menerima dan mencoba menjalani hubungan dengan laki-laki yang melamar. Sempat Maria dan Ayahnya berdebat, Maria mengatakan ingin menanti kekasihnya kembali pulang. Maria rela menanti beberapa tahun untuk menikah. “Sudahlah, untuk apa menanti yang tidak pasti. Mau jadi perawan tua? Memangnya kamu sudah yakin kalau kekasihmu itu tidak bermain-main dengan perempuan lain di sana?” jawaban Ayahnya setelah berdebat panjang.

Maria menikah diumur 25 tahun. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya dengan alasan orang tuanya tidak bisa menunggu lama anak perempuannya dinikahi. Suaminya berumur 6 tahun lebih tua dari Maria. Pekerjaan suaminya cukup menjanjikan dirinya untuk hidup berkecukupan. Maria tak perlu lagi belajar menyesuaikan diri dengan pekerjaan rumah. Maria merasa beruntung sudah dibekali kebiasaan menyelesaikan masalah domestik sejak kecil. Selain mengurus urusan domestik, Maria juga masih harus bekerja di kantor hingga sore hari. Beberapa bulan setelah menikah, Maria mengandung anak pertamanya. Ia tidak merasa kandungan itu menjadi penghambat aktivitasnya sehari-hari, meski suaminya sudah menyuruh Maria cuti dan berada di rumah saja.

Anak pertama Maria adalah laki-laki. Setelah kelahiran anak pertama, hari-hari Maria semakin padat. Maria harus membagi waktu untuk anak, suami dan pekerjaan. Awalnya Maria dipaksa untuk melepas pekerjaan, tetapi ia menolak dan berjanji untuk bisa menghabiskan waktu bersama anaknya. Suami Maria merasa dirinya mampu mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi Maria tetap menolak dengan alasan “Aku bekerja juga ingin membantumu dan membelikan anak kita mainan. Siapa tahu kalau besok kamu sedang krisis dalam pekerjaan, kita masih bisa makan”. Ternyata perdebatan itu masih berlanjut sampai

Maria mengandung anak kedua. Bagi Maria tak masalah, asal ia masih bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, serta kebutuhan suami dan anak terpenuhi. Setelah anak keduanya lahir, Maria semakin merasa lengkap dengan keluarganya. Ia merasa sudah cukup mempunyai dua anak, apalagi anak keduanya adalah perempuan. Maria lagi-lagi kembali sibuk dengan rutinitas sama seperti setelah mempunyai anak pertama. Tidak dalam rencana, setelah anak keduanya berumur 1 tahun, Maria kembali mengandung anak ketiga. Maria sempat merasa tidak bahagia dengan kehamilannya. Tetapi saat setelah lahir, ia melihat wajah anak ketiganya cantik dan mungil. Maria merasa bersalah karena membencinya selama di kandungan. Kelahiran anak ketiganya menjadi alasan Maria untuk melakukan KB, ia tidak mau mempunyai banyak anak. Batinnya, siapa tahu aku dan suamiku bisa jadi Ayah dan Ibuku, kasihan salah satu anakku nanti sibuk dengan pekerjaan rumah membantuku dan lupa belajar.

Sekarang Maria mempunyai 3 anak, 1 laki-laki, dan 2 perempuan, dengan 1 suami. Kesibukannya semakin bertambah, yang jelas setelah 2 anak perempuannya cukup umur untuk dititipkan, Maria memilih untuk dititipkan selama jam kerja. Sore harinya, ia menjemput dan membawanya pulang. Maria cekatan mengurus semua urusan rumah, kebutuhan suami dan anak-anaknya, serta pekerjaan kantor. Setelah anak keduanya sekolah di taman kanak-kanak, ia berani melepaskan anak keduanya untuk berangkat dan pulang sendirian tanpa dijemput. Kadang ia menyuruh anak keduanya berumur 5 tahun untuk membawa adiknya ke sekolah agar tidak sendirian di rumah.

Saat anak keduanya duduk di kelas 3 sekolah dasar, Maria dan suaminya mengalami pertengkaran yang cukup hebat. Maria menjadi jarang pulang ke rumah, ia meninggalkan suami dan ketiga anaknya. Maria mendadak merasa tak kuat lagi, ia merasa bahwa suaminya tidak bisa berbuat seimbang antara keluarga dan saudara-saudaranya. Semenjak pindah rumah di dekat saudara suaminya, memang Maria merasa bahwa suadara-saudaranya tidak pernah menyukai dirinya sebagai seorang istri. Katanya mereka bilang “Istrimu itu pasti suka pesta di luar rumah, lihat saja tidak lama lagi ia pasti selingkuh dengan teman kantornya”.

Pertengkaran dengan suaminya memang membuat Maria semakin jauh dengan ketiga anaknya, apalagi pekerjaan rumah sudah jarang dikerjakan. Maria hanya mengerjakan waktu suaminya tidak di rumah dan sebelum berangkat kerja. Maria mulai memberikan tugas kepada anak keduanya untuk membersihkan rumah, mulai dari menyapu, mengepel, mengganti seprai, mencuci piring kotor, dan memasak mie goreng. Kata Maria “Perempuan itu harus pintar bersih-bersih rumah”. Sejak Maria jarang menghabiskan waktu di rumah, anak keduanya menggantikan peran Maria untuk membereskan pekerjaan rumah. Ada atau tidak ada Maria di pagi hari, anak keduanya harus bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah. Setiap pulang sekolah anak keduanya selalu meminta izin untuk pergi main dengan teman-temannya. Tetapi Maria selalu bilang “Bersihkan rumah dulu, baru kamu boleh pergi”.

Peraturan itu berlaku sampai anak keduanya duduk di sekolah menengah pertama. Setiap setelah pelajaran berakhir, anak keduanya diam-diam pergi ke mall dengan teman-temannya. Saat Maria mengetahuinya, ia marah besar dan mengurung anak keduanya di rumah. Maria tidak membiarkan anaknya keluar rumah sampai emosinya selesai. “Aku kan cuma pergi ke mall, sama teman-teman Ma. Aku nggak macam-macam di sana. Masa kakak boleh pergi ke mana aja, sedangkan aku cuma bersih-bersih di rumah dan boleh pergi setelah semuanya bersih?” Maria sempat mendengarkan celotehan panjang dari anak keduanya yang dikenal pendiam. Maria cuma menjawab “Kakakmu itu laki-laki, dia harus dilepas karena jangkaunnya akan lebih panjang.”

Hubungan Maria dengan suaminya juga tidak berangsur membaik. Maria lebih banyak diam, tetapi ia tetap mengurus kebutuhan rumah dan membesarkan ketiga anaknya. Ketiga anak Maria tumbuh menjadi remaja matang, dengan dua anak perempuan yang parasnya hampir-hampir menyerupai dirinya waktu remaja. Maria mendadak merasa khawatir kalau anak perempuannya main di luar rumah lama-lama, khawatir kalau tidak cepat pulang ke rumah setelah pembelajaran di sekolah berakhir. Tidak jarang, Maria selalu membawa kedua anak perempuannya kemana-mana. Maria merasa kedua anak perempuannya harus berada di dalam pengawasan, tidak boleh pergi dengan sembarang teman. Sedangkan, anak laki-lakinya dibiarkan mencari kesenangan sendiri di luar, pulang malam, bahkan bermain di luar kota. Maria cukup memberikan nasihat untuk anak laki-lakinya agar tidak lupa pulang ke rumah dan menjauhi obat-obatan terlarang. Beda dengan nasihat yang diberikan kepada anak perempuannya, yaitu jangan kemana-mana, harus selalu izin kalau pergi dengan siapa, kalau sudah mulai pacaran juga harus dikenalkan kepadanya. Peraturan itu berlangsung cukup lama, sampai dua anak perempuannya lulus dari sekolah menengah ke atas.

Anak keduanya memutuskan untuk meneruskan sekolah di Yogyakarta, sedangkan anak ketiganya pergi ke Jakarta. Awalnya Maria merasa takut apabila kedua anaknya jauh darinya, apalagi ia selalu membawa kedua anaknya pergi. Sekarang ia harus merelakan kedua anak perempuannya pergi jauh darinya. Saat ia ditanyai teman-temannya kenapa berani melepaskan kedua anaknya, ia menjawab “Biar saja mereka meraih cita-citanya, aku tidak mau mereka seperti aku. Mereka harus jadi perempuan mandiri, tanpa orang tuanya”. Tetapi jarak memang tidak membuatnya berhenti mengawasi kedua anak perempuannya, ia terus berusaha mengontrol dengan kekuatannya sebagai Ibu. Maria rela bolak-balik Surabaya-Yogyakarta, Surabaya-Jakarta demi memastikasn kedua anak perempuannya baik- baik saja.

Pesan Maria kini bukan lagi “Bereskan pekerjaan rumah, baru boleh pergi”. Tetapi “Cepat selesaikan kuliahmu, dan cari pekerjaan. Kalau nanti sudah menikah, jangan bergantung kepada suamimu.”

Untuk Mama yang selalu berpesan “Kamu harus menikah sebelum umur 25 tahun".

Karina

21/8/2016

 
Damhuri Muhammad
(Cerpenis, esais, dan kolumnis)
telah.insyaf@gmail.com
Setahun lalu, ia dara perawan. Bercita-cita ingin jadi penari. Sering ia berkhayal, membayangkan trofi-trofi tertata rapi di atas rak kayu di kamar kecilnya, sebagai hadiah atas prestasinya menjuarai festival tari. Kelak, trofi-trofi itu akan dipersembahkannya untuk ibu yang belum sungguh-sungguh yakin anak perempuannnya itu pandai menari. Namun hingga kini, gadis muda belia itu tak pernah beroleh trofi, meski ia masih saja menari. Sepanjang malam, angannya tiada henti menari-nari, mendambakan raut wajah lelaki yang berkenan menikmati gerak dan lenggok tariannya. Bukan di atas pentas, tapi di ranjang hotel berbintang.             
 
Karina, namanya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda waktu saat paman Joel menebas kegadisannya. Malam itu, tante Mariani sedang dinas luar kota. Paman Joel meminta Karina mengerik punggungnya, karena (katanya) masuk angin. Setelah angin di dalam badan paman Joel dikeluarkan, lelaki bertubuh bongsor itu belum mengizinkan Karina keluar kamar. Barangkali masih ada yang perlu dikeluarkan lagi. Bila tidak, tentu paman Joel masih kurang enak badan, masih uring-uringan, dan pusing tujuh keliling. Karina patuh saja. Ia gadis lugu yang begitu penurut, lebih-lebih sejak paman Joel mengajaknya tinggal di kota dan bersekolah di sana. Pertama kali paman Joel merangkulnya, Karina menjerit ketakutan. Gemetar dan menggigil sekujur badannya. Lantas, paman Joel mendekapnya dan tangan lelaki itu mulai membelai-belai, menjelajahi setiap lekuk tubuhnya, Karina pun mendesah ketagihan.
 
Tak berselang lama sejak peristiwa malam itu, tiba-tiba Karina jatuh sakit. Badannya lemas. Kepalanya terasa pusing. Perutnya mual. Muntah-muntah. Tiga hari ia absen ke sekolah, tiga minggu ia telat datang bulan.
Berengsek … pergi kau dari rumah ini! Bentak tante Mariani. Saya biayai sekolahmu, tapi kau tidur dengan suamiku. Perempuan tidak tahu malu! Makinya lagi.
 
Bergegas Karina membuntal pakaian. Bersegera ia angkat kaki, meninggalkan kenangan yang sulit sekali terlupa, termasuk kenangan tentang gemerincing bunyi koin seratus perak yang terlempar ke lantai saat paman Joel meng-gelumang tubuhnya. 

                                                                                                       **

Setahun lalu, perempuan muda pendiam itu siswi kelas tiga SMU. Rambutnya lurus, panjang sepinggang, dikepang dua, diikat pita merah kesumba. Beberapa hari sebelum Ujian Akhir Nasional, kursi tempat duduknya kosong. Ditinggalkannya gelak tawa teman-teman kelas saat mencemooh gaya mengajar ibu Sumiyati, guru bidang studi sejarah yang gagap dan suaranya terdengar seperti keluar dari lubang hidung. Sengau. Dilupakannya pula sanjungan pak guru Zaidan, pengajar matematika yang tidak bakal keluar kelas sebelum meninggalkan setumpuk soal geometri sebagai pekerjaan rumah (PR). Kamu cantik, tapi pemalas! Begitu omelannya setelah mengoreksi PR Karina yang tak pernah selesai. Dikerjakannya separuh saja. Itupun hampir semuanya salah. Karina memang kurang suka pelajaran berhitung. Baginya, matematika hanya bikin pening kepala dan kening bekernyut. Ia hanya menyukai pelajaran kesenian, lebih-lebih seni tari. Dijualnya giwang emas hadiah ulang tahun dari paman Joel, juga jam tangan warna kuning keemasan pemberian tante Mariani. Beban di perutnya kian terasa berat. Karena itu mesti segera dikeluarkan. Jangan cemas Nak, ini masih muda! Untung saja anak cepat datang ke mari, bujuk dukun beranak meredakan kegelisahan Karina.
 
Setahun lalu, Karina masih mengenakan seragam putih berlogo OSIS di saku depan, rok warna abu-abu muda, sepatu hitam dan bahu kanannya menyandang tas berisi buku-buku pelajaran. Kini, Karina juga menyandang tas di bahu kanannya. Isinya bukan buku-buku pelajaran lagi, tapi pernak-pernik peralatan bersolek, lipstik, eyeshadow, parfum impor, tisu dan tak ketinggalan alat-alat kontrasepsi. Karina disebut-sebut sebagai “barang baru”—setidaknya baru datang dari jauh. Lelaki-lelaki kota ini ramah dan murah senyum. Om Aseng, lelaki pertama, menghadiahkan sebuah telepon genggam seri terbaru sebagai penghargaan atas kelincahan Karina menari. Lagi-lagi, bukan menari di atas pentas, tapi di kasur empuk VIP Room sebuah penginapan kelas menengah yang disewa lelaki sipit itu. Sejauh ini, Karina jarang kedatangan lelaki bertampang Melayu seperti paman Joel. Kalaupun ada, itu hanya lelaki berkepala cepak, berpostur kekar, sangar dan tak berseragam dinas—teman dekat om Aseng—yang tak pernah memberi tip. Pelit. Setelah memakai jasa Karina, ia pergi tanpa permisi. Sekadar mengucapkan terima kasih pun tidak pula. Jika mau dibayar, minta saja pada bapak Aseng! Gertak lelaki cepak itu, beringas. Jangan macam-macam! Saya ini anggota, alat negara! Ancamnya lagi. Karina diam. Tak ingin ia berdebat dengan lelaki pelit itu. Iya, tapi kelamin saya bukan kelamin negara! Umpat Karina dalam hati.
 
Kini, Karina tinggal di rumah mewah, tak jauh dari pusat kota. Ditemani bu Onah, pembantu yang mengurusi makannya, mencucikan pakaiannya, dan segala tetek bengek kebutuhan perempuan secantik Karina, termasuk memijiti tubuh Karina yang lelah sepulang bekerja. Hidupnya sudah mapan. Mungkin lebih mapan dari keluarga tante Mariani dan paman Joel yang sudah lama  ditinggalkannya, meski sulit dilupakannya. Setiap akhir pekan, Karina selalu kedatangan tamu. Lelaki seusia ayahnya. Ia memanggilnya “Ayah,” tepatnya “ayah angkat”, sementara lelaki itu menyebut Karina “anak angkat.” Karina bagai seorang anak gadis yang manja. Ia kerap meminta liburan berdua, dan ayah angkat tak kuasa menolaknya. Mereka bermalam di penginapan elit milik lelaki itu. Siang saya anakmu, malam saya kekasihmu, goda Karina. Iya Nak, siang saya ayahmu, malam saya suamimu, batin lelaki itu, menggerutu.
 
Sebenarnya Karina kurang cocok dan tak seia sekata dengan lelaki itu. Pikirannya terlalu maju, mungkin karena terlalu banyak membaca buku. Gaya hidupnya terlalu mewah, bahkan caranya merayu pun Karina tidak suka. Terlalu formal barangkali. Tapi Karina sudah bertekad hendak menguasainya, menguras uangnya, meminta macam-macam fasilitas darinya. Lagi pula, di kota asing ini Karina tak punya siapa-siapa. Begitu pun di sana, di daerah asalnya. Ia sudah kehilangan ibu, ayah, adik-adik, paman Joel dan tante Mariani, kehilangan teman-teman sekolah, bahkan kerap pula kehilangan dirinya sendiri setelah menenggak bergelas-gelas tequilla.        
 
Saya bukan saja kekasihmu, tapi juga tuan yang mesti kau layani saban hari. Iya, Nak. Kau bebas pergi ke mana saja. Tapi, begitu saya merindukanmu, saya harap kau berkenan datang, balas lelaki itu. Saya menyayangimu seperti saya menyayangi anak perempuan saya. Tapi, saya juga memanjakanmu seperti saya memanjakan istri saya. Istri? Ah, itu hanya dalil basa-basi. Sejak lelaki itu bertekuk-lutut di hadapan Karina, ia tak pernah lagi merindukan istrinya, tak pernah pulang menengok anak perempuannya. Dunianya hanya pekerjaan yang menyita waktu, dan melepaskan letihnya di pangkuan Karina.
 
Akhir-akhir ini kau agak dingin, ada apa denganmu? Sakit? Tanya ayah angkat penuh perhatian. Ia mencemaskan keadaan Karina. Bosan dengan suasana rumah ini? Apa kita perlu ke pantai atau ke hutan belantara? Saya ingin kau hangat lagi, seperti pertama kali kita melakukannya! Karina diam. Rasanya tak mungkin ia jujur menjawab tanya-tanya lelaki itu. Kehangatan? Bagi Karina kehangatan dan kepura-puraan tak ada bedanya. Di luar sana, banyak ayah angkat baru yang siap menggantikan posisi lelaki itu. Bila setoran kurang, ayah angkat ini akan ditendang. Kehangatan? Tunggu saya mabuk dulu, batin Karina. Tolonglah Nak, ayah bisa mati berdiri bila kau terus begini.
 
Setahun lalu, Karina perempuan perawan. Usai jam sekolah, ia tak langsung pulang ke rumah. Karena Karina ikut latihan menari untuk persiapan mengikuti lomba menari antar SMU. Paman Joel mengomel, katanya tidak baik anak gadis kelayapan. Karina ingin memenangkan perlombaan itu, meraih trofi penghargaan dari bapak Walikota. Kini, Karina tak mungkin lagi meraih trofi, meski masih tetap menari. Angannya tiada henti menari dan menari, membayangkan senyum puas lelaki seusia ayahnya tatkala membelai, mengelus-elus, meraba-raba setiap lekuk tubuhnya. Bukan menari di atas panggung, tapi meliuk-liukkan tubuh ramping itu di pembaringan ayah angkatnya. Menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Menjilat-jilat serupa kucing kehausan. 

Kepada Ytc. Anakku…

1/6/2016

 
Nurul Aisyah
13 Maret 1998
Kepada Ytc. Anakku,
 
       Anakku, apa kabarmu? Sudah lama sekali sejak kau menelepon Ibu untuk terakhir kalinya… “Semur ikan kesukaanku, ya, Ibu?” Ibu cuma tertawa waktu itu, dan, “Ya, ya, ya… makanya, apa Ibu bilang, cepatlah pulang ke sini… Kamu, kan, sedang liburan?” Tiba-tiba kau terdiam, jarang sekali kau seperti itu, membiarkan pulsa telepon berjalan begitu saja tanpa mencandai Ibu, kemudian, “Seandainya aku tidak sibuk, Ibu. Tapi semester depan… aku akan libur panjang di sana, bersamamu…”
 
       Telepon terputus.
 
       Lalu berdering kembali, “Maaf, Ibu, di sini hujan lebat… Entah kenapa telepon terputus, mungkin karena petir yang besar barusan… Oya, jangan lupa kirimi aku semur ikan, ya, Ibu?”
 
       Ibu cuma mengangguk-angguk waktu itu. Dan klik. Telepon ditutup.
 
       Sejak itu, sudah lebih dari tiga bulan tidak terdengar kabar darimu. Sebenarnya, Ibu tidak terlalu khawatir jika saja tidak membaca berita-berita buruk di koran. Bukankah selama ini pun kamu juga sering begini? Hanya menelepon Ibu sesekali, dan ketika menelepon kamu bisa bicara lama sekali, seakan-akan hendak mengganti waktu-waktu ketika kau tak sempat bicara pada ibu.

       Tetapi, ketika Bu Harjono, tetangga kita yang baik hati itu yang malahan terlihat khawatir dan selalu bertanya-tanya tentang kamu dengan selalu berkata, “Hati-hati, lho, Bu, sekarang banyak anak-anak yang hilang. Ibu baca sendiri, toh,
di koran-koran?” Ibu jadi ikut gusar juga. Jangan-jangan, Bu Harjono benar…

       Anakku, teleponlah Ibu, beri kabar, jangan membuat Ibu jadi bingung begini. Katakan pada ibu, katakan kamu baik-baik saja. Katakan bahwa Bu Harjono salah, dan berita-berita di koran itu bohong belaka.
 
 
       Yang merindukanmu,
       Ibu
 
                                                                                                           ***
 
16 Mei 1998
Ytc. Anakku
 
       Anakku, ke mana dan di manakah sebenarnya engkau?
 
       Apakah kamu baik-baik saja?
 
       Hari-hari terakhir ini Ibu semakin gusar dan semakin gusar saja. Berita-berita di koran itu ternyata tidak berdusta. Bahwa memang banyak orang yang hilang akhir-akhir ini, seperti yang Bu Harjono bilang pada ibu.
 
       Ah, Anakku, sejak surat ibu yang pertama, masih belum juga terdengar kabar darimu. Sementara kau tahu, kerusuhan tiba-tiba saja terjadi di mana-mana. Apa gerangan yang sebenarnya sedang terjadi, Anakku? Kenapa kau diam saja?
 
       Ibu tidak tahu lagi mesti bagaimana, Ibu takut. Takut sekali. Ibu sudah lapor polisi, tapi katanya tunggu kabar, “Segala sesuatu sedang semrawut sekarang, jadi bersabarlah, Ibu. Mudah-mudahan anak Ibu baik-baik saja,” begitu kata petugas di kantor polisi yang coba menenangkan hati Ibu. Tapi, mana bisa Ibu tenang, mana bisa Ibu bersabar?
 
       Berita-berita di koran, makin hari makin mengerikan. Ibu kota terdengar seperti neraka, benarkah begitu, Anakku? Ya, sejak ketiadaan berita darimu, Ibu memang jadi sering membaca koran, kalau-kalau ada berita tentangmu. Mula-mula Bu Harjono yang membawakan untuk Ibu, tapi kemudian tidak hanya Bu Harjono yang datang membawa koran, Bu Dewi, Bu Prapto, juga sering datang kepada Ibu dan membawakan koran untuk dibaca, Dan, apabila Ibu tak kuasa menahan tangis, mereka pun menghibur Ibu dan mendoakan keselamatanmu. Tapi kemudian, Ibu akan segera menangis lagi setiap memikirkan dirimu…
 
       Anakku, menurut berita-berita yang Ibu baca, mereka yang hilang-hilang itu masih muda-muda, seperti dirimu. Dan katanya pula, mereka itu pemuda-pemuda yang giat berpolitik. Ibu tidak mengerti sama sekali tentang kegiatan mereka, tapi Ibu selalu berharap, kau tidak terlibat dalam hal-hal semacam itu.
 
       Anakku, yang Ibu tahu tentang dirimu adalah bahwa kau anak yang baik. Sejak kecil kau tidak pernah nakal, tak pernah menyusahkan Ibu. Seolah-olah kau tahu bahwa Ibulah satu-satunya kesayanganmu. Ah, Anakku, di surat ini Ibu
sama sekali tak hendak membicarakan ayahmu. Kau tahu, setiap kau bertanya tentang Ayah, Ibu selalu menghindar, menghindar, sampai akhirnya kau mengerti bahwa Ibu tak ingin mendengar dan menjawab pertanyaanmu itu. Maafkan Ibu, Anakku.
 
       “Benarkan ayahku seorang pemburu yang hebat, Ibu? Binatang apa saja yang pernah Ayah bawa pulang?” Lalu, kau terkekeh-kekeh membayangkan ayahmu pulang dengan hasil buruannya. Umurmu lima tahun ketika itu.
 
       Kemudian, ketika kau bertambah besar, akhirnya kau (tampak) mengerti. Walaupun begitu, Ibu tahu kau masih menyimpan pertanyaanmu itu, seandainya ibu sendiri punya jawabannya.
 
       Tetapi, Anakku, kau tahu… bahwa sudah sejak lama sekali hanya engkau satu-satunya milik Ibu, kesayangan Ibu. Bahkan pada saat-saat seperti ini pun, Ibu tidak tahu mesti bicara apa tentang ayahmu.
 
       Anakku, cintaku… Jangan biarkan Ibu terlalu lama dalam kesedihan ini… Jangan biarkan Ibu sendirian di dunia ini… Memiliki dirimu adalah kebahagiaan terbesar yang pernah Ibu rasakan selama hidup Ibu, dan Ibu mengatakan apa
yang sebenarnya…
 
       Anakku, telepon Ibu, Nak… Tak baik bersembunyi terlalu lama dari Ibumu…
  

       Yang selalu berdoa untukmu,
       Ibu
 
                                                                                                            ***
 
30 September 1998
Kepada Ytc.
Anakku di mana pun kau berada…
 
       Anakku, entah sudah berapa banyak air mata Ibu tumpah, tetapi nasibmu belum jelas jua… Dan kabar paling buruk yang pernah Ibu dengar adalah bahwa sangat bisa jadi kau salah satu dari sekian banyak yang hilang itu…
 
       Anakku, Ibu benar-benar sudah tidak tahu mesti bagaimana lagi. Ibu sudah ke Jakarta, bertemu teman-temanmu, bertemu ibu kosmu, bertemu dosen-dosen, entahlah siapa lagi yang sudah Ibu temui untuk bisa mengetahui segala sesuatu tentangmu.
 
       Di Jakarta, mereka bicara tentang kegiatan-kegiatanmu di organisasi. Ada yang bilang kamu terlibat ini dan itu. Sulit sekali mempercayai semua hal yang mereka katakan. Sulit sekali menerima sebuah kenyataan bahwa anakku yang dahulu cuma seorang bocah kecil yang lucu, kemudian harus terlibat ini itu tanpa pernah bilang apa-apa pada Ibu.
 
       Kenapa kau lakukan semua ini pada Ibu, Nak? Benarkan semua apa yang Ibu baca dan dengar dari berita-berita itu?
 
       Satu dua berita, ada yang sedikit memberi rasa lega. Teman-temanmu bilang kau sebenarnya tak terlibat kegiatan-kegiatan seperti yang dibicarakan oleh koran-koran itu. Kata mereka lagi, bahwa kebetulan saja ada seseorang yang
bernama sama denganmu, dan dialah sebenarnya yang terlibat kegiatan politik yang berbahaya tersebut. Tapi, jika teman-temanmu yang berkata benar, lantas di mana kau bersembunyi, Anakku? Tolong, jangan buat Ibu pusing dengan
segala kesimpangsiuran berita tentangmu, Sayangku! Beri tahu Ibu apa yang sesungguhnya terjadi dengan dirimu! Katakan sesuatu! Agar Ibumu tidak menderita lebih lama dalam menanti berita darimu!
 
       Anakku, katakanlah pada Ibu, bahwa semua yang mereka beritakan itu dusta belaka, katakan pada Ibu bahwa kau baik-baik saja, katakan kau telah berhenti kuliah atau apa. Katakan kau tiba-tiba merasa malas karena merasa lebih baik
jadi seniman jalanan ketimbang jadi sarjana pengangguran seperti yang sering kau katakan. Atau katakan pada Ibu bahwa kau takut pulang dan mengabari Ibu bahwa kau kini sudah kawin karena pacarmu hamil atau apa pun. Bahkan, semua hal itu selalu akan lebih baik daripada kediamanmu! Kebungkaman semacam ini menyiksa Ibu. Katakan pada Ibu sesuatu, Nak! Jangan sembunyikan sesuatu pun dari ibumu…
 
       Mengapa kau lenyap seperti ditelan bumi, Anakku?
 
 
       Yang kehilangan dirimu,
       Ibu


Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 09, 1999

Nyawa Sisa

10/4/2016

 
Sebastian Partogi
(Wartawan The Jakarta Post)
sebastianpartogi@gmail.com
Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh.
Seumur hidup, tubuhku sudah dipenuhi borok-borok tak terlihat yang sudah mulai mengelupas, berlendir dan dipenuhi belatung. Aku tidak membutuhkan lebih banyak lagi koreng di tubuhku. Daripada aku menunggu untuk menjadi mayat hidup, lebih baik jadi mayat asli sekalian. Kesunyian dan kegelapan yang ditawarkan kematian terlihat lebih menggoda.
Aku berlari untuk memutuskan semua aliran listrik yang menciptakan selubung kepadatan dalam senyawa tubuhku. Aku berlari untuk meluruhkan tubuh fana berisi partikel-partikel subatom berongga hampa ini. Aku berlari menuju kenihilan. Seluruh hidupku hanya berisi kehinaan. Kematian adalah sebuah kehormatan.
***
 
Namaku Reva Situmorang. Sejak dilahirkan, aku sudah merupakan kesalahan. Sialan! Mengapa anak perempuan lagi! Bahkan di tengah pecahnya tangisanku yang memekakkan telingaku sendiri, aku bisa mendengar suara teriakan itu meluncur keluar dari mulut kakekku. Sudah enam kali bikin anak ternyata keluarnya perempuan lagi! Dengar ya, Em, sebelum kau bisa melahirkan anak laki-laki, engkau masih utang terhadap keluarga Siagian!
Lalu aku mendengar suara kakekku berceloteh kembali. Kali ini ia berbicara pada ayahku. Makanya, pikirkan lagi lah, Jong. Apa sebaiknya kau ceraikan saja si Emanuela. Mamak sudah kenal seorang perempuan lain yang bernama Reva. Dia memang sudah agak tua, 34 tahun. Tetapi dia masih lajang dan bersedia menikahi duda yang beranak enam. Daripada dicap tak laku sama keluarganya. Dia bertubuh tambun dan subur. Pasti bisa menghasilkan anak lelaki dengan cepat. Tidak seperti si Emanuela yang sakit-sakitan dan lemah ini, makanya sudah anam kali melahirkan, anam-anamnya pulak menghasilkan perempuan. Makhluk yang tak berharga. Makhluk yang hanya menunggu dituhar!
Kelahiranku adalah sebuah kesalahan. Aku tidak diinginkan.
***
 
Setelah menangis meronta-ronta memohon agar ayah tidak menceraikannya dan berjanji akan memberikan anak lelaki sebagai anak ketujuh mereka, akhirnya ibuku dipertahankan. Mereka mencoba membuat anak lagi. Ternyata laki-laki. Mereka bersorak. Pada akhirnya, setelah enam kali kesalahan, muncullah barang yang diinginkan. Penerus marga Siagian.
Sementara aku diberi nama Reva oleh ibuku, seperti nama perempuan yang nyaris menjadi ibu tiriku. Kamu memang sumber sial. Karena kelahiranmu, ayahmu nyaris dipaksa menceraikan aku dan menikahi si Reva sialan itu! Aku kan hanya lulusan SMP karena orangtuaku menganggap perempuan itu hanyalah barang dagangan yang akan dituhar, lantas untuk apa menyekolahkan tinggi-tinggi. Aku tidak bisa mencari nafkah sendiri. Kalau suamiku menceraikan aku maka matilah aku. Kau, sumber bencana yang membuat nafasku nyaris berhenti saking takutnya! Anak berengsek!
***
 
Adik lelakiku si Bori selalu dimanjakan oleh ayah ibu. Semua keinginannya selalu dituruti. Ini terjadi hingga ia beranjak dewasa. Bahkan ketika ia merusak mobil dinas ayah dengan menabrakannya ke tembok gereja saat sedang mengemudikan mobil di bawah pengaruh alkohol, ia tidak dimarahi (ajaibnya, ia tidak tewas dalam kecelakaan ini).
Sementara aku selalu dimarah-marahi. Dianggap tak tahu diuntung. Kurang ajar! Mengapa kau pecahkan guci kesayangan mamak itu! Jangan banyak tingkah ya! Kalau mamak tahu ternyata keluarnya seonggok daging perempuan yang menyusahkan dan nyaris membuat mamak dicerai, sudah mamak gugurkan kau jauh-jauh hari dengan makan duren!
Aku juga selalu dihina oleh ayahku. Jelek sekali nih anak, kulitnya hitam dan gelap bagai Dakochan. Di keluarga Siagian tidak ada yang kulitnya segelap ini. Gimana mau dijual nantinya? Gimana mau ada keluarga yang memberikan sinamot mahal untuk menuhar dia? Jelek begini!
 
Suatu hari, saat aku berusia 20 tahun, Bori sengaja merobek buku kesayanganku untuk membuatku menangis. Aku marah dan menampar wajahnya. Ia membalas dengan mencekik leherku. Jangan macam-macam, wahai perempuan! Ingat tempatmu! Kamu tidak punya harga di mata kami, selain sebagai pelayan dan mesin pembuat anak! Ia mencekik leherku demikian keras sampai aku meronta-ronta dan memukul-mukul lengannya. Ketika ia sudah puas melihat wajahku yang semakin memerah bagaikan kepiting, ia melepaskan cengkeramannya. Seketika aku muntah.
***
 
Selepas aku lulus SMA, ayah dan ibu tidak mau menyekolahkan aku ke perguruan tinggi karena mereka sudah “kehabisan uang”. Di saat yang bersamaan, mereka tak berhenti membelikan Bori barang-barang mewah: mulai dari mobil terbaru, rumah pribadi dengan kolam renang sampai menyuplai dia dengan uang bulanan (Bori adalah seorang pengangguran. Dia drop out  dari kampus karena pernah ketahuan merokok ganja, setelah itu dia uring-uringan dan menolak kuliah).
Aku memutar akal, memutuskan les bahasa Inggris dan ternyata kemampuanku bagus. Aku kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sebuah tempat kursus di Jakarta. Di sana banyak guru yang bule. Seseorang yang bernama Peter mendekatiku. Dia ganteng, tinggi dan bertubuh gagah, dan sering melemparkan tatapan genit padaku. Lama-kelamaan ia sering mengajakku makan siang dan menghujaniku dengan berbagai rayuan gombal. Sebagai manusia yang tidak pernah diinginkan, memiliki seorang lelaki yang begitu perhatian membuatku mabuk kepayang.
***
 
Aku berjalan keluar dari apartemen Peter sambil menahan sakit di bibirku dan nyeri di sekujur badanku. Tadi, sebelum kami bersetubuh, ia mencium dan menggigit bibirku dengan begitu keras hingga berdarah. Lalu ia menghajarku berkali-kali sebelum akhirnya memerkosa diriku.
***
 
Akhirnya, ada juga lelaki yang mau membayar sinamot untuk menuhar anak jelek ini!
Sudah tiga tahun aku menikah dengan bang Richard. Aku pun telah melahirkan satu orang anak (perempuan) yang bernama Hotna. Sebelum kau melahirkan anak laki-laki, kau masih berutang kepada keluarga Sianturi. Kata-kata yang sama dengan apa yang pernah diucapkan kakekku kepada mama saat aku dilahirkan. Namun tidak mengapa. Bang Richard perangainya sungguh halus, bagaikan perempuan. Ia juga begitu lembut. Tidak apa-apa, sayang, aku masih bisa menunggu. Kalau kamu panik, kamu akan sakit dan akan semakin sulit mendapatkan anak lelaki.
Tidak seperti Peter, bang Richard pun bukan lelaki yang hasrat berahinya menggebu-gebu. Ia tidak terlalu senang berhubungan badan, dan pun ketika sedang melakukannya, kami saling memasuki dengan gerakan yang amat pelan dan lembut.
***
 
Tiba-tiba aku terbangun di tengah malam buta. Aku curiga oleh suara desahan yang liar serta tumbukan yang berbunyi berulang-ulang dari dalam kamar tamu rumah kami. Jangan-jangan ada perempuan lain. Jangan-jangan itulah alasan bang Richard tidak begitu bernafsu saat bersenggama denganku. Dengan mata masih terkantuk-kantuk dan pikiran yang bingung, aku berjalan keluar menuju kamar tamu dan membuka pintunya perlahan. Aku yakin bahwa aku takkan pingsan. Ada perempuan lain dan aku akan minggat malam ini juga untuk tinggal indekos. Pendapatanku sebagai guru les Inggris cukup bisa diandalkan.
Aku membuka pintu. Aku melihat bang Richard sedang bersetubuh...dengan seorang laki-laki. Aku pingsan.
***
 
Diagnosis itu datang dua bulan yang lalu, setahun setelah aku minggat dari rumah bang Richard. Ketika aku mulai curiga dengan kesehatanku dan anakku. Kami jadi sering batuk-batuk dan tak kunjung sembuh. Lebih jauh lagi, ada luka di sudut atas bibir anakku yang tak kunjung kering dan kemudian bernanah. Vonis itu pun dijatuhkan. Aku dan anakku terkena HIV. Kemungkinan dari suamiku yang homoseksual dan sering melakukan hubungan seks tidak aman. Aku menurunkan virus itu pada anakku saat sedang hamil.
Sejak itu, desas-desus cepat bergaung, terutama di gereja. Saat aku dan anakku pergi beribadah, orang-orang senantiasa menatap kami dengan jijik sambil bergumam-gumam... Itu pendosa yang kotor. Pasti doyan seks makanya kena HIV. Ditularkan ke anaknya lagi! Perempuan petaka!
Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku.

Pagi yang Abadi

7/4/2016

 
Bhadrika Dirgantara
bhadrikadirgantara@gmail.com
6 Januari 2016 (Pesan dari Rastri)
Sudah hukumnya, bahwa segala yang terang pasti akan redup, lalu tenggelam dalam gelap. Namun, tak ada hukum yang berlaku bagi seorang Bendhoro. ”Tak boleh ada gelap”, ujarnya. Maka ia memberikan dua pilihan, mati dan seluruh keluargamu mati, atau terus hidup dalam pasungan. Lalu senja datang, dan yang terang pasti menjadi gelap.
 
            Aku terduduk dalam diam. Hening tiba-tiba menyergap. Pesan darimu tak hanya memunculkan sunyi padaku. Nairi pun duduk dalam diam. Tak ada suara. Kami lenyap ditelan bingung.
            “Jadi…”, kalimat Nairi putus-putus, rokoknya terimpit di kedua bibirnya. Mencari korek. Situasi ini membuat kami butuh nikotin. Adiksi ini dapat menyelamatkanmu. “Menurut lo pesan ini maksudnya apa?”
            “Mungkin Bendhoro adalah Dani? Selamanya hidup dalam pasungan berarti Rastri harus tetap berhubungan dengan Dani?” kucoba menjawab. Mencocokkan ini dan itu.
            “Setelah semua yang terjadi kemarin? Setelah Dani mencekik Rastri?”
            “Entah.” Bingung menyergap.
            “Tapi mungkin benar. Dani punya power di sini. Rastri juga pasti bingung,” muka Nairi kusut. Selapis asap tipis dikuarkan.
 
            Ya, Rastri pasti bingung. Aku dan Nairi pun juga bingung. Yang tak bingung mungkin hanya sang Bendhoro. Maka kami berdua diam lagi. Mengisap rokok masing-masing dan bertarung dengan pikiran di kepala. Jadi begini, tadi sore Rastri mengirim pesan pada kami bertiga—Aku, Nairi, dan Arin—bahwa ia mengandung. Anak itu muncul begitu saja tanpa ia duga. Ia memang tak menggunakan kondom, namun ia percaya bahwa hitung-hitungan masa tak suburnya selalu benar. Sekarang mungkin ia salah hitung dan menjadi fatal. Fatal tak hanya karena ia mengandung. Fatal karena ia mengandung anak Bendhoro. Fatal pula karena Bendhoro bukan sekadar laki-laki, ia binatang jantan. Beberapa waktu lalu aku dan Nairi mendapat kabar bahwa Bendhoro menyerbu ke indekos Rastri. Mencekik Rastri atas perselingkuhannya dengan lelaki lain. Tapi bagi Rastri itu bukan perselingkuhan. Toh mereka telah memutuskan hubungan. Namun Bendhoro punya hukum yang berbeda. Ia punya logika yang berbeda. Baginya, Rastri tak pernah putus dengannya, Rastri hanya sedang bingung dan berkencan dengan laki-laki lain. Maka bingung itu bukan berarti hubungan mereka jadi sirna. Perkencanan itulah yang harus dihukum. Cekik-mencekik itu jadi hal yang wajar.
 
            Kini Rastri harus kembali dengan Dani. Dani memberinya dua pilihan yang mengikatnya habis-habisan. Entah apa ia anggap dirinya. Entah pejantan alfa atau ras arya. Dani telah membubuhkan benih pada rahim Rastri. Rastri kini mengandung. Hal itu yang ia jadikan kunci. Maka Rastri harus memilih dan Bendhoro menjadi brengsek: Kuadukan kehamilanmu itu pada keluargamu dan kuceritakan semua detail soal perselingkuhanmu, atau kau terus bersamaku selamanya dan kurahasiakan perihal bayi dalam perutmu itu. Manapun yang dipilih Rastri, ia akan tetap terkungkung dalam jeruji.
 
            “Dulu kita ngobrol soal kedaulatan tubuh perempuan, sekarang tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta,” ujar Rastri kemarin sore. Aku belum paham maksudnya saat itu, namun kini semua menjadi jelas.
            Jeruji itu lamat-lamat jadi nyata. Ah, aku jadi terpikir. Persoalan ini membuat pikiranku melompat-lompat dari urusan ini ke urusan itu, lalu urusan itu ke urusan ini. Aku jadi penasaran: entah bagaimana Bendhoro melihat luka. Buatku sakit tak hanya membekas di tengkuk (bagian itulah yang dicekik oleh Bendhoro). Jika Bendhoro melihat luka dengan cara demikian, maka ia telah menjelma menjadi pejantan yang subtil, meski ia mengaku alfa dan arya. Pilihan yang ia beri membuahkan luka bagimu. Bagaimana tidak, Rastri harus hidup dalam gelap selamanya. Pun tak hanya gelap. Ia terpasung.
            Maka ketika pesan Rastri berbunyi bahwa ia ingin tidur dan menangis di atas bantal, aku dan Nairi sekali lagi ditelan bingung. Sunyi menyergap berkepanjangan.
 
4 Januari 2016
Aku melumat habis sebatang rokok. Dani menenggak segelas ciu jeruk. Kami duduk berdua di kamar yang temaram. Biasanya, lampu kunyalakan seperti ini ketika lelakiku datang dan kami akan merayakan tubuh bersama. Namun sekarang aku duduk di bawah lampu temaram, duduk berdua sebagai sesama laki-laki (mungkin ia pikir aku yang laki-laki ini berbagi hukum dan logika yang sama dengannya) dan akan bicara soal tubuh orang lain. Tubuh temanku sendiri.
 
            “Gua minta maaf dulu nih San sama lu, sama Nai juga, karena udah bikin suasana jadi nggak enak.”
            Brengsek. Tentu kau harus minta maaf, dan yang terpenting, minta maaf pada Rastri. Bukan padaku atau pada Nairi. Toh ia yang kau cekik tadi sore. Tapi aku masih tak menjawab. Hanya menelan habis tubuhnya dengan tatapan.
            “Gua bingung soalnya. Dia bilang dia minta putus, gua belom iyain karena gua pikir dia lagi bingung aja. Tau-tau gua liat dia ada main sama si monyet.”
            Ah, si monyet. Lelaki alfa memang suka merendahkan yang lain.
            “Bukannya lu udah putus?” akhirnya aku bicara. Tentu masih main aman. Semua yang dapat dikorek harus dikorek.
            “Iya dia minta putus. Tapi nggak gua putusin. Ya gua masih sayang sama dia, San. Sayang banget. Tapi ya lu tau sendiri. Ngapain aja dia sama si monyet?”
 
            Aku menggunakan hak tolak. Aku tak menjawab. Kuasa ini tak ada padaku. Biarlah ini menjadi urusan mereka bertiga, pikirku. Biar Rastri dan “si monyet” menyelesaikan urusan ini dengan Dani. Namun kau tahu sendiri, Dani ini barbar. Lebih dari barbar, ia liar. Cekik-mencekik jadi hal yang banal ketika sang perempuan ia anggap binal. Namun itu pun bukan kekerasan. Bukan. (Setelahnya nanti Rastri bercerita bahwa Dani tak pernah minta maaf atas pencekikan itu). Bagi Dani itu penghukuman. Itu tindakan wajar. Toh perempuan itu miliknya.
 
            Belum aku bicara lagi, Dani telah terjatuh. Ciu itu memabukkannya. Ah, biarlah ia tiada bersama ciu itu. Namun ciu yang ia tenggak, bukan baygon atau arsenik. Maka ia akan bangkit kembali dan berulah lagi esok-esok hari. Jadilah, Ia menginap satu malam penuh. Bangun pada pagi hari dan berangkat kerja.
 
11 Januari 2016
Kami telah duduk berempat. Aku, Nairi, Arin, dan Rastri. Empat bungkus rokok bertebar di meja. Wajah-wajah dengan emosi berbeda. Aku bingung. Nairi bingung. Rastri kusut. Arin mencoba tetap bijak. Pertemuan serius seperti ini bukan yang pertama. Ketika orang tuaku tahu bahwa aku homoseksual dan aku dikecam habis-habisan, kami berkumpul. Ketika skizofrenia pacar Arin semakin kambuh dan hubungan mereka semakin membingungkan, kami berkumpul. Tapi aku tak pernah sebingung kali-kali lalu. Aku dan Nairi bertukar pandang sekejap. Kami berbagi rasa yang serupa.
 
            “Jadi, Dani tahu kalau lo hamil?”, Arin membuka obrolan.
            “Iya.” Rastri. Ia membenarkan posisi duduknya.
            “Tahu dari lo?” Nairi.
            “Iya, dari gue”, Rastri.
            Ah, Dani punya satu kunci untuk memanggil senja. Kunci ini sejatinya milikmu. Ia takkan tahu jika kau tak melemparnya ke mukanya. Ah, yang jelata tentu tak dapat tak sopan pada Bendhoro. Jadi, baiklah, kunci yang kau miliki ini takkan ia ketahui keberadaannya tanpa kau berikan padanya. Pengetahuan tentang kunci ini sejatinya hanya milikmu. Lalu kenapa kau bercerita….
            “Itu kesalahan gue yang nggak gue pikirin dulu lebih jauh..”
            Mata itu berair. Ada sejentik yang mulai menitik.
            “Hubungan lo udah nggak sehat dari lama, Ras”, Arin memantik kreteknya, “Dani sempat nge-chat gue. Ngobrol panjang. Dia bilang kalo lo berdua nggak pernah putus, nggak peduli apa yang lo bilang.”
            “Nah itu kan. Kalau kayak gini, nggak akan pernah putus sampai dia bilang iya. Tapi kapan?”
            “Gue makin nggak paham sama logika Dani. Buat apa dia tetap pertahanin lo? Toh lo udah nggak ada rasa lagi sama dia.” Nairi mulai bicara.
            “Buat gue, Dani kayak sanggama sama mayat. Kayak laki yang sayang banget sama istrinya, istrinya mati dan mayatnya disimpan, terus selalu disetubuhi tiap malam. Tubuh tetap tubuh, namun ia dingin dan diam. Abadi.”
            “Bedanya ialah mayat tak lagi dapat mengungkap consent, Arin,” ujarku. Lembut.
            “Nah itu dia, Dani nggak mengenal consent. Kemarin dia sempat dateng ke kosan gue, maksa masuk dan ngajak ngobrol.”
            “Ke kosan? Kenapa lo nggak bilang kita?” panik itu tak dapat disembunyikan Nairi. Bagaimana tidak? Dua hari lalu Nairi yang mendapat pesan dari Rastri, “Ke kosan. Tolong. Gue dicekik Dani.” Maka Nairi dan aku berlari ke indekos Rastri. Sudah bagai kesetanan.
            “Handphone gue mati,” jawab Rastri. Ah, telepon genggamnya memang seringkali mati karena baterai yang mulai menggendut. Maka ia diceraikan dari dunia pada saat baterainya berulah, “Gue udah bilang nggak mau, tapi dia maksa. Gue ngajak ngobrol di tempat terbuka. Dia masih nggak mau. Jadilah gua dan dia ngobrol di kamar gue, tapi pintu nggak gue kunci.”
            Lalu?
            “Obrolan makin buntu. Gue udah coba sekuat yang gue bisa. Gue udah coba selicik yang gue bisa. Akhirnya dia sempat mau buka paksa celana gue. Gue udah bilang nggak mau tapi dia tetap maksa. Jadilah gua teriak nggak mau dan nendang dia. Dia mundur, tapi gue nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”
 
            Temanku akan diperkosa. Ini dia yang sering aku lihat di berita: sang perempuan akan diperkosa, namun publik tak percaya. Toh si perempuan mengizinkan ia masuk kamar, begitu mungkin kata orang-orang. Tapi ada hal yang tak kau pahami. Tubuhnya tumbuh dengan cerita yang berbeda dengan tubuhku dan tubuhmu. Apa yang tak kau rasa sendiri dengan tubuhmu tak dapat kau sergap dengan nalar begitu saja. Pengalaman yang berbeda membuahkan respons yang berbeda. Kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Gelap membuatmu redup dan ciut di hadapan kuasa. Sang Bendhoro telah memiliki kunci untuk memanggil senja. Senja yang akan membawamu pada gelap yang abadi. Pernahkah kau bertemu dengan lelaki yang demikian?
 
            Obrolan berlanjut. Aku lebih banyak diam dan mencoba mengumpulkan semua gambar soal Dani yang dipapar Rastri. Ternyata aku salah soal kandungan Rastri. Ini bukan soal Rastri yang terlalu percaya pada hitung-hitungan masa tak suburnya. Ada hal yang baru Rastri ceritakan pada kami. Ini mengubah semua pandanganku soal hitung-hitungan matematis itu. Mereka berdua memang tak mau pakai kondom. Namun Dani tak pernah mau keluar di luar. Rastri menyuruh Dani keluar di luar, tapi Dani tak mau. Maka kehamilan itu beberapa kali terjadi. Dulu Dani mematikan janin itu. Diaborsi saja, katanya. Itu beberapa kali. Namun kini ia menyuruh Rastri bertanggung jawab. Tahi kucing, ketika kau akan kehilangan kuasa, janin itu bahkan kau renggut untuk kuasa barumu. Maka Rastri diberi dua pilihan. Sialan memang, Dani pikir dirinya siapa? Seenaknya memberi pilihan begitu saja. Tuhan? Ah, bahkan tuhan menyediakan lebih banyak pilihan. Termasuk untuk tidak yakin akan kehadirannya. Namun Dani bukan tuhan. Ia merasa dirinya pejantan alfa dari ras arya. Kau harus takluk dan beriman padanya. Maka pilihannya dua, kuadukan kau pada bapakmu atau terus bersamaku. Dua-duanya sama saja. Jika bapak Rastri tahu tentang anak mereka berdua, mereka akan dikawinkan. Jika mereka bersama selamanya, mereka kawin. Dua-duanya berujung kawin. Bedanya yang satu keluarganya jadi hancur, yang satu tidak. Namun keduanya menghancurkan Rastri. Tubuhnya direnggut oleh pilihan.
 
            “Ya ini semua kan pilihan Rastri. Rastri sudah memilih dan ini semua konsekuensinya. Dani juga punya pilihan sendiri.” Dani membela diri. Ujaran ini ditiru oleh Rastri dan kami bertiga menguarkan komentar yang sama: sakit.
            Lalu kami bicara soal kunci yang harus menjadi entas. Toh jika kunci itu telah raib, Dani tak lagi punya bukti untuk menjebak Rastri dalam jeruji.
            “Gue percaya lo pasti kuat dan bisa”, Arin.
            Lalu. Lalu kami bicara lagi soal Dani. Tentang kuasa yang ia rasa ia miliki. Betapa obrolan ini melompat dari yang satu ke yang lain.
           
Ah, ini dia pertanyaanku untukmu. Mengapa Bendhoro dapat menjadi Bendhoro? Tidakkah ia menjadi Bendhoro karena rakyatnya tetap duduk tanpa kuasa? Kuasa jadi alat Bendhoro sebagaimana hukum menjadi alat negara. Tapi negara itu raksasa. Ia sebesar alamosaurus dan tak mungkin kau tumbangkan begitu saja. Bendhoro bukan raksasa. Ia bukan dinosaurus. Lantas mengapa ia tetap punya kuasa? Mengapa ia tetap dapat mempertahankan malam? Mungkin kau memang tinggal di belahan bumi yang berbeda sehingga gelap terus memasungmu. Mungkin ini semua bukan karena Bendhoro. Mungkin Bendhoro hanya manusia biasa tanpa kunci untuk memanggil gelap. Semesta mungkin membuatmu maujud pada kondisi yang ajaib. Mungkin kau berjumpa dengan gelap ketika kau ada di kutub bumi. Bayangkanlah, setengah tahun tanpa sinar matahari. Kau sepenuhnya menjadi abdi gelap. Atau jangan-jangan?
 
            Jangan-jangan, gelap bukan tiba karena kau bertemu senja. Jangan-jangan, kau bersembunyi di balik lemari dan mematikan lampu. Byar. Gelap seketika. Bendhoro pun dapat berjalan sesuka hati dalam rumah yang terkunci. Kuasanya terejawantah lagi. Toh tak ada orang yang melihat. Toh tuhan memilih untuk diam dan semesta tak menjawab apa yang kau minta. Namun siapa itu tuhan dan semesta? Bukankah dirimu?
Lalu kau bicara hukum. Hukum alam? Yang terang, kau bilang, akan menjadi gelap pada waktunya. Dan yang gelap akan kembali terang saat pagi menyapa. Namun pagi sekalipun takkan bisa menembus tirai dan lemari. Gelapmu akan jadi abadi ketika kau hanya berkejaran dengan Bendhoro dalam rumah gelap. Jadi pertanyaannya sebuah: bagaimana kuasa dapat ada di tangan Bendhoro?
 
            “Gue setuju sama Ikhsan dan gue pernah ngobrolin ini berdua.” Nairi, “Lo harus berhenti buat dia merasa nyaman. Berhenti kontak dia, berhenti respons dia, berhenti buka pintu buat dia. Kalo lo khawatir soal kehamilan lo yang bakal dia laporin, lo bisa gugurin dan dia nggak punya bukti”
            “Dan lo ngomong dulu sama keluarga lo soal Dani. Biar dia nggak punya back-up,” Arin, “kan dia dekat tuh sama bapak lo.”
            Ya. Entaskanlah apa yang dapat menjadi entas. Dengan cara itu kau akan jadi sintas.
            “Iya. Gue lagi usahain biar dia gugur.”
            Lalu obrolan berputar kembali. Rastri berdiri dan memeluk Arin. Lalu memelukku. Lalu memeluk Nairi. Mata itu berair lagi. Rintik-rintik menitik.
 
Malamnya Arin pulang, menjemput ibu. Aku, Rastri, dan Nairi kembali ke indekosku: persinggahan kami tiap malamnya. Lalu sampai. Nairi berganti baju dan berbaring di peraduan. Pulas seketika. Aku dan Rastri menyalakan rokok terakhir malam itu. Ada hal yang hanya kami obrolkan berdua. Bukan cerita atau narasi baru. Bukan pula detail yang sengaja dilewatkan. Hanya mengulang apa yang telah diceritakan. Sekejap kontemplasi.
            “Inget omongan gue soal kedaulatan tubuh?”
            “Ya.”
            “Tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta. Kedua pilihan ini sama-sama memasung.”
            Buatku yang hidup dengan tubuh yang berbeda, mungkin tak dapat kurasakan apa yang kau rasakan. Namun. Namun, buatku, apa yang disarankan Arin dan Nairi dapat membebaskanmu.
            “Iya, gue akan usaha, makasi..”
            Ujaran itu terputus. Pesan masuk ke telepon Rastri. Dari si brengsek.
            “Kamu dmn? Masih sama mereka bertiga?” Bahkan ia masih bertanya pada pukul 12 kurang. Hari akan berganti. Aku memandang Rastri. Ia memandang mataku balik. Pesan itu belum dibuka, hanya ia baca dari notifikasi yang melompat ke layar. Akankah kau balas?
            Ras, buatku, kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Ia bermusuhan dengan gelap, keduanya bisa saja berkelindan pada waktu-waktu sublim. Waktu yang digunakan untuk lelembut berkeliling desa dan orang-orang berkopiah menangis di depan tuhan. Entah pukul dua, entah pukul tiga. Keduanya bisa saja berkelindan. Ada waktu-waktu yang tak dapat kau tentukan batasnya. Mana gelap dan mana pagi. Namun keduanya saling melumat satu sama lain. Gelap memasungmu. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Matahari akan menerangi jalanmu dan buta menjadi sirna. Ketiadaan cahaya tak lagi menggerayangimu, toh ia telah hilang tersirap pagi. Akan tetapi, akankah pagi datang? Ini semua kembali padamu.
 
            Tapi tentu kau tak sendiri. Kami akan membantumu tetap berdiri dan berlari. Kami telah kenal dengan si bedebah ini. Ia merenggut ketubuhanmu. Ia merampas kebebasanmu. Ia memberikan pilihan yang keduanya memasungmu. Ia mencoba memerkosamu. Cekik-mencekik yang bagimu kekerasan yang binal, baginya penghukuman yang banal. Usaha membuka celanamu yang kau yakini sebagai percobaan pemerkosaan, ia anggap sebagai upaya untuk mencapai apa yang jadi miliknya. Ia tak mengenal consent. Ia melanggar privasimu. Ia jelata subtil yang berpikiran sumir, namun baginya ia pejantan alfa dari ras arya. Lantas mengapa kau harus bertahan? Toh kunci itu akan segera entas.
 
            “Nggak gue bales ya”, ujar Rastri. Mantap. Tak ada ragu melintas.
            Aku mengangguk. Akhirnya.
 
Selesaikah masalah? Itu pun yang aku tak tahu. Kita semua mungkin telah terjebak pada labirin tak berujung ini. Buntu bagi kita semua. Mungkin gelap itu memang akan meninggalkanmu dalam jeruji. Mengungkungmu dalam pasungan yang bahkan tak dapat kau buka oleh ciptamu.
            Atau.
            Atau mungkin Bendhoro memang seorang yang sakit. Ia akan berkali-kali muncul lagi dan berkali-kali harus kita tepis lagi. Mungkin ia memang akan terus mengejarmu dan menjadikanmu liyan dari dirimu sendiri. Mungkin ia takkan paham bahwa tubuhmu menguarkan cerita tentang yang tak kau ingini.
            Atau.
            Atau kau berhasil keluar dari labirin ini. Ujungnya tak pernah terlihat karena gelap dulu senantiasa menyergap. Namun kau telah memanggil fajarmu sendiri. Maka. Maka larilah. Selamatkanlah. Di ujung jalan itu, kutunggu undangan darimu: pemakaman kuasa Bendhoro di bawah pagi yang abadi.
            Atau.
 
Cerita pendek ini saya tulis untuk seorang teman yang namanya saya sulap menjadi Rastri. Saat saya menulis ini, Rastri sedang berusaha mengentaskan kunci “Bendhoro” dalam tubuhnya dan bicara pada keluarganya soal segala perlakuan “Bendhoro” padanya agar ia dapat berdaulat kembali atas tubuhnya. “Bendhoro” masih menjadi brengsek dan mencoba segala cara agar Rastri dapat menjadi miliknya kembali. Semoga Semesta memberkati segala hal yang adil; bagi saya, pembebasan Rastri pada pagi yang abadi ialah hal yang niscaya. 

Black Box

4/4/2016

 
Hikmat Gumelar
Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor. Pernah kuliah di Universitas Padjajaran Bandung serta aktif di dunia penulisan dan penerbitan.
Depan pagar putih 1,25 m x 1 m, Surti berhenti. Ia lihat lagi arloji. Dua kurang seperempat. Tapi mustahil masih jaga. Biasa juga paling telat jam sepuluh sudah masuk kamar. Surti pun menghembus nafas panjang. Hati-hati buka pintu besi. Sukses tanpa derit. Ia lalu buka pantopel. Sijingkat ke pintu muka. Memutar anak kunci. Pun hati-hati. Klik. Daun pintu putih didorong pelan. Surti terkesiap. Cahyaning ternyata tengah duduk di sofa. Dan di ujung dekat pintu kamarnya.
“Kok ibu masih merajut?”
 
Jam dinding berdetak nyaring.
“Kenapa itu?”
Surti menunduk. Jalan lurus empat langkah. Belok kanan ke kamarnya sambil agak buang muka ke ruang tengah. Ibunyamenguntit dengan kornea gerak ke kanan hingga mencapai sudut kelopak. Ia letakkan rajutan sweeter yang baru mulai. Jalan dua langkah. Tegak di pintu. Surti tengah membuka blazer ungu. Cermin meja rias memperlihatkan wajahnya.
“Tadi pagi matamu tidak seperti itu.”
 
Sambil memasukan blazer ke tempat cucian, Surti buka mulut,
“Polisi.”
“Polisi?”
Surti mengiyakan sambil menyalakan kipas angin yang berdiri antara tempat tidur dan meja rias. “Apa yang aneh?”
“Kok apa yang aneh?” lontar sang ibu sambil melangkah dan lalu duduk di sudut kasur.” Pulang dini hari.  Dan dengan itu. Kelopak matamu. Bengkak dan lebam. Dan itu karena polisi. Itu apa tidak ganjil?”
“Polisi kan memang begitu pekerjaannya. Bikin muka orang benjol.”
“Apa yang telah kau lakukan, Nak? Apa kesalahanmu?”
“Ibu gimana si? Apa yang dipukuli itu selalu yang salah, selalu yang berdosa? Buka dong jendela. Lihat dunia. Jalanan serba macet. Penuh teror. Manusia rontok digerus horor. Krrrrrek! Krrrrrrrek! Neraka!”
“Astagfirullah.”
 
“Ibu tahu kan Munir mati diracun? Ibu tahu kan Munir tak Cuma hidup untuk keluarganya? Rayuan-rayuan hidup serba mudah. Mewah. Megah. Wah. Dia tolak. Ditempuhnya jalan yang langka ditempuh orang. Jalan sepi dan perih. Dengan motor bebek tua, si ringkih penyakitan itu menempuh labirin gelap. Mencari-cari orang hilang. Membongkar penculikan. Mengejar para jagal. Menumbangkan ketakutan. Menguburkan keputusasaan. Menumbuhkan keberanian, harapan, impian.”
 
“Hiya, hiya. Orang bilang begitu. Tapi matamu itu. Kenapa?”
“Tuan Presiden berbusa. Janji akan ngusut tuntas kasus itu. Dan itu diuarkannya di muka publik. Tapi nonsens! Lihat saja. Yang diadili seorang pilot. Cuma seorang pilot. Dia memang piawai menerbangkan pesawat. Tapi pembunuhan di langit Hungaria itu bukan tindakan kriminal di terminal. Mustahil dilakukan seekor cacing. Maka buruh pabrik, tukang ojek, seniman, mahasiswa, dosen, wartawan, dan sebagainya, menyatu. Berduyun ke istana. Demo. Kelewatan kalau Surti cuma mencari dan membetulkan kalimat yang bengkok. Yang bengkok dalam hidup kan harus juga diluruskan. Masa Cuma duduk. Melamun. Ga malu apa?”
 
“Astagfirullah. Sadar, Nak.
Eling.”
“Justru karena sadar, Bu. Justru karena eling, Surti ikut.”
“Tapi kamu lain.”
“Lain?”
“Hiya. Kamu lain.”
“Apa maksud Ibu?”
“Lho. Masa kamu lupa. Kamu beda dari mereka. Kamu kan anak- anak.”
“Astaga! Hantu itu! Bu, jangan kira Surti tidak tahu. Surti tahu kok masa lalu kita. Orang sudah ribuan kali bilang. Tengah malam itu seorang lelaki yang dituduh PKI diburu. Dia masuk Kebun Kacang, kampung kita dulu. Bapak kaget dengar sepatu-sepatu lars. Bangun. Keluar. Ditangkap. Dituduh PKI. Dan hilang sampai sekarang. Kita selamat. Malam itu kita nginap di Pasar Minggu, di rumah Bude Mar yang mau menikahkan mbak Indah. Besoknya, saat Surti ke pasar sama Bude Mar, Pak Yono datang. Membisikkan kabar itu. Ibu lantas pulang. Tiga hari kemudian, berulang. Sepatu-sepatu lars menyerbu tengah malam. Pagar roboh. Pintu digedor. Ibu dituduh Gerwani. Ditangkap. Diangkut truk. Tujuh tahun hidup dari bui ke bui. Begitu kan. Surti bukan lagi anak bau minyak telon, Bu.”
 
“Ya! Ya! Kamu sudah besar. Sudah sarjana. Sudah menerjemahkan banyak buku. Tapi ngerti apa kamu tentang masa lalu itu? Enteng betul kamu katakan itu. Sepertinya itu dongeng kancil dan mentimun. Lihat. Baju hangat. Sweeter. Sekarang memang tengah malam. Tapi siang hari pun sama. Aku selalu begini. Dibungkus sweeter dan baju hangat. Padahal ini Jakarta. Hawanya hawa dari tungku menyala. Ikan pari! Seluruh badanku rusak dicambuk ekor ikan pari! Kemudian ini. Kaos kaki ini. Kamu lihat siang malam sama. Aku selalu memakainya juga. Memang kakiku tak sampai ditembak seperti kaki tawanan lain. Tak sampai digergaji seperti kaki beberapa dari mereka. Tapi serdadu bunting. Serdadu busung. Meja. Dua serdadu bunting dan busung itu. Duduk di atasnya. Duduk di atas meja yang dua kakinya menekan dua jempolku. Mereka belum puas. Tang. Satu demi satu. Berkali-kali. Tang. Tang. Mencabuti kuku-kuku kakiku! Masih belum puas juga. Air keras! Air keras! Dan ingat. Kapan itu. Aku minta cincinmu dilepas. Kamu marah. Aku juga. Bahkan lebih. Lebih dari marah. Tapi tidak bisa. Dua cincin tembaga. Kancing-kancing baju dibuka. Satu demi satu. Juga beha. Kabel melilit dua cincin tembaga. O, Gusti. Mereka lingkarkan itu di sini. Di kedua puting susuku! Dan stop kontak ditekan. Listrik pun ngalir! Arrrg! Arrrrrg! Serdadu bau arak tiba-tiba datang. Matanya mata burung hantu. Terus nusuk susuku. Aku diseret ke gedung tempat selusin serdadu mabuk. Botol berserak. Salah seorang memecahkannya. Prang! Beling berhamburan. Serdadu itu megang leher botol pecah. Menghampiriku. Menempelkannya ke urat leherku. Memaksaku berdiri di atas meja. Memaksaku buka seluruh pakaian. Tanganku gemetar. Ujung botol pecah tambah nekan. Satu demi satu pakaian jatuh. Serdadu lain ambil celana dalamku dengan ujung bedil.
 
“Revolusi! Revolusi belum selesai!”
Aku nunduk. Jantung seperti pecahan botol itu. Remuk digerus sepatu lars.
“Kami sudah lama ndak ketemu istri. Ndak goyang. Kamu pasti ngerti kan. Wuiih! Itu lebih berat dari sekarat. Nah, biar sama rata sama rasa. Iya toh. Hiburlah kami. Coba mainkan tarian harum bunga.”
 
Aku seperti disambar geluduk. Tubuhku rasanya hangus.
 
“Ayo, Sundal! Apa mau dikremus? Mainkan yang kamu mainkan di Lubang Buaya itu! Bikin lagi pesta itu di sini! Hei, Sundal! Kamu congek, ya. Mainkan tarian harum bunga itu!”
 
Gigiku tambah kuat gigit bibir hingga berdarah. Tetesannya bikin meja jadi hamparan bara. Aku berdiri atas bara. Tawa dan celetukan jorok meniupinya hingga nyala. Lidah api jilati betis. Paha. Selangkangan. Tapi salah seorang tiba-tiba menyuruhku turun. Aku hembuskan nafas panjang. Tapi aku lantas disuruh merangkak ngitari ruangan berdinding kayu itu. Aku pun merangkak. Berulang pantat ditendang. Aku terus merangkak.
 
“Stop! Sapi juga bisa capek. Iya toh. Nah, sekarang berdiri. Berdiri ngadep dinding. Sesiku. Sesiku dari dinding kataku! ¨
 
Aku pun manut. Aku tidak ngerti apalagi yang akan mereka lakukan. Kepalaku balon. Kosong. Tiba-tiba suara desing lewati dua daun telingaku. Dan di depan mataku, nancap dua pisau! Dua pisau nancap! Aku jatuh. Tidak ngerti berapa lama aku pingsan. Aku hanya ingat aku siuman karena badan sangat dingin. Gatal-gatal. Bau memualkan nusuk hidung. Mata perlahan terbuka. Lantas terbelalak. Sekujur badan kuyup bubur tinja! Bubur tinja! Aku muntah. Dua serdadu terbahak. Ludahnya mucrat melumur mukaku. Mereka lantas menyeretku ke ruang lain lagi. Ditaruh di kursi. Tanganku diikat di belakang. Kakiku diikat pada dua kaki kursi. Diikat tambang injuk. Dua serdadu tadi tegak di samping kiri dan kananku. Dua ujung bedil nekan dua pelipisku. Dor! Dor! Pelipisku bolong. Nyawaku putus. Begitu kukira. Tapi tidak. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang tahanan dibawa masuk. Tahanan yang mukanya sudah hancur itu, ditelanjangi. Disuruh telentang. Disuruh ngangkang. Dan tujuh serdadu seperti binatang. Tidak. Bukan ‘seperti’. Lebih dari binatang. Gantian merkosanya! Perutku yang sudah tiga bulan ngandung terasa sakit. Sangat sakit. Aku tak ingat persisnya. Darah tiba-tiba ngalir dari selangkangan.
 
Itu belum sudah. Itu baru saat diinterogasi. Bagaimana 11 tahun hari-hari dalam bui? Dan dari mana malapetaka itu? Anak buah bapakmu getol bolos. Jarang ngajar. Ngajarnya pun tak karuan. Malah banyak murid SMP itu digamparnya. Guru lain ngadu ke bapakmu sebagai kepala sekolah. Bapakmu yang sebetulnya sudah tahu, mengingatkannya. Dia bukan nerima. Malah dendam. Itu yang membuat bapakmu di-PKI-kan. Setelah itu, di ruang tamu rumah dulu, dia minta aku jadi istrinya yang kedua. Tentu aku nolak. Dia mendesak. Membual akan ceraikan istrinya. Bualan itu dilontar sambil megang tanganku. Aku sontak menamparnya. Dia marah. Nubruk. Aku berkelit. Mukanya membentur pegangan kursi.
 
“Ingat! Saudaraku petinggi. Kamu teriak, nasibmu akan seperti suamimu!”
“Aku tak peduli. Teriak. Dia takut. Ngacir sambil mendesis, awas kamu!”
“Kamu tidak tanya kenapa si Yono pagi sekali datang ke Pasar Minggu? Dari mana dia tahu tengah malam bapakmu ditangkap padahal rumahnya jauh?”
“Surti tahu. Surti tahu siapa Pak Yono. Dia yang membuat para serdadu itu menangkap bapak dan ibu. Yang membuat hidup kita melata. Karena itu, waktu awal kuliah, Surti sudah bulat mau bunuh dia. Tapi waktu wudhu di mesjid kampus, tiba-tiba Gandhi membayang. Matanya yang teduh berkata, “Jika satu mata dibayar satu mata, seluruh dunia jadi buta.” Surti tidak tahu kenapa tiba-tiba begitu. Surti Cuma merasa mata perlahan terbuka. Niat membunuh perlahan padam. Tapi Soekarno benar. Jasmerah. Maka gelap harus disingkap. Kebenaran terungkap. Keadilan tegak. Untuk itulah, Surti pun ikut turun ke jalan.”
 
“Tapi kamu jangan lupa dua orang tuamu.”
“Sama Ibu. Sama Bapak. Gimana bisa lupa? Gila apa.”
“Kalau gitu, mestinya kamu sadar kamu beda.”
“Astaga! Ke situ lagi. Keadaan sudah berubah. Sekarang bukan 65, 2005.”
“Kamu ngotot mendesakkan keadaan sudah berubah. 1965 jadi 2005. Itu perubahan angka-angka. Keadaan tidak. Yang berubah itu cuma angka-angka. Masa lalu itu bukan angka-angka yang ditulis anak-anak di pasir pantai. Masa lalu itu akar sebuah pohon. Menentukan batang. Menentukan dahan. Menentukan ranting. Menentukan daun-daun. Tapi akar itu pun ditentukan tanah. Nah, bagaimana tanah saat ini? Tiap sejengkal saja keluar rumah, orang-orang hujamkan anak panah. Bahkan di dalam rumah, badanku selalu dirajam. Serdadu tidak pernah mati. Mereka terus hidup. Berbiak. Gelayutan di bulu mata. Teriak-teriak mukuli gendang telinga. Loncat-loncat di atas perut. Mondar-mandir keluar masuk selangkangan. Merogoh jantung. Merogoh hati. Mengiris-ngirisnya. Puluhan tahun begitu. Itulah sejarah! Itulah kebenaran! Dan itu baru secuil! Dan itu mustahil.
 
“Ceritakan! Jangan henti! Ayo terus! Harus! Kamu harus terus! Uuuwaah! Huuuuh! Aku tak tahan lagi. Tapi mereka tak peduli. Mereka terus maksa aku mengatakan yang sama sekali tak kutahu. Terus maksa aku mengatakan yang mereka mau. Aku tak tahan lagi. Sangat ngeri. Apalagi satu malam, Kah, itu. Botol! Botol! Mereka mau masukan benda itu ke selangkanganku. Aku mendengking. Begitu saja satu alamat kusebut. Aku tahu mereka. Tapi mereka tak mengenalku. Begitu. Begitu saja kukatakan. Dan memang. Mereka tak mengenalku. Aku juga. Tapi, mereka itu seorang ibu dan bayi dalam gendongannya. Mata keduanya itu merah.
 
“Astaga!”
“Iya, Nak. Maaf. Maafkan dosa ibumu.”
“Ibu nunjuk juga? Gila!” Surti bangkit dari kursi. Lari. “Ibu lebih jahat dari Pak Yono!”
 
Cahyaning bangun sambil memanggil Surti. Tapi pintu muka keras dibanting. Ia memburu. Keluar. Mengejar. Mengejar sambil terus memanggil-manggil si anak semata wayang. Anjing menyalak. Anjing lain menyahut. Anjing-anjing saling sahut-sahutan. Orang-orang terjaga. Beberapa keluar. Cahyaning tak peduli. Mereka bisik-bisik. Cahyaning terus mengejar anaknya hingga terpeleset di mulut gang. Kepalanya membentur bak sampah. Ratusan kembang api tiba-tiba mewarnai langit jelang subuh. Sekalian lantas raib. Gelap.**

Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 44, 2005

Saga

29/2/2016

 
Shantined
​Beberapa puisi Shantined telah diterbitkan dalam antologi Perkawinan Batu (DKJ, 2004), Surat Putih 2 (2004), Surat Putih3 (2005), Dian Sastro for President (Insist Pers), Selendang Pelangi (ed. Toety Heraty, 2005); dan beberapa cerpennya termuat dalam Bingkisian Petir (JPK, 2005), Samarinda Kota Tercinta (JPK, 2007).
Sore cerah. Matahari tak menyengat lagi. Angin sepoi membelai belai wajahku. Pepohonan yang rindang di kanan kiri jalanan menambahku ingin berkendara lebih lambat lagi. Agak ngantuk sebenarnya, dan tentu pula lelah. Tapi hati ini riang gembira. Ups, selembar daun kering yang luruh dari sebatang pohon terbang hampir menampar wajahku. Refleks kutangkis dengan tangan kiriku. Baru sadar bahwa aku memakai helm standart tertutup yang tak memung- kinkan daun itu mengenai pipi atau jidatku. Jemariku agak sakit beradu dengan kaca helm yang menutup wajahku. Kupandangi jemariku, lalu kucium perlahan dangan segenap perasaan. Ada aroma cinta disana. Hmmmmm, meletup lagi rasa bahagiaku, sekaligus perasaan merdeka, terbebas dari segala himpitan duka.

Desperado milik Emi Fujita masih mengalun lirih dari Ipod yang kukenakan. Sore makin cantik saja. Musih menghentak hentak dari rumahku. Aku mendengarnya dari jarak 10 meter sebelum motor bebekku parkir di halamanku yang mungil. Erald, suamiku yang sedang menikmati musik cadas itu tak menoleh ketika kuucapkan salam di pintu. Aku langsung menuju dapur. Sebentar lagi waktu makan malam. Jadi kupanaskan sayur asam yang tadi pagi kumasak, lalu aku menggoreng bebek yang sudah kubumbui dari dalam kulkas. Kutawari Erald makan malam, tapi dia tak menjawab. Mungkin masih kenyang. Tanpa bicara, kutemani Erald di ruang tamu. Dia masih asyik dengan musiknya. Dan aku dengan khayalanku. Setengah jam berlalu. Sayur asam dan bebek goreng sudah mendingin di meja makan. Mungkin segala gelas dan piring telah menjadi batu disitu. Sudah biasa begitu. Kaku dan bisu. Meski kami telah hampir sewindu berkawin dan tak jua anak lahir dari rahimku.

Lalu birlah pemecahnya. Erald mengeluarkan botol botol hijau itu dari kulkas, dan menuangkan untukku. Aku terseyum dan mulai mengalirkannya ke dalam tenggorokanku. Untuknya sendiri, ia meraih sebotol Chivas Regal yang langsung dijejalkan ke bibirnya yang hitam itu. Kami lalu cair dalam dekapan semu yang selama bertahun tahun ini kami lakukan. Kami menari dalam prisma emas berkilauan, namun tak memantulkan apa apa, selain kesedihan berwarna ungu pekat.
Seperti raungan serigala yang mendambakan bulan purnama, kami menuntaskan hasrat yang sebenarnya buatku tak lebih dari upacara sang serigala itu sendiri. Aku, sang serigala yang selalu lunglai penuh luka setiap kali purnama berlalu.
Ya, dera di tubuhku selalu bertambah. Apalagi jiwaku. Luka luka menganga. Darah mengalir deras di sana. Tak ada sepercik air hangat untuk menyekanya. Atau handuk lembut untuk mengeringkannya.

Justru kadang air cuka dan jeruk asam sengaja di kucurkan Erald ke atas lukaku. Dan sesekali dalam mabuknya, ia menyelipkan lipan dan kalajengking ke dalam lukaku, jiwaku. Aku tak mampu lagi mengaduh. Karena rentak tarinya begitu mempesona bagiku. Setelah selesai ia menyakitiku, ia segera berdiri mengajakku menari lagi, mengitari altar dan mezbah kami yang suci. Suci? Tidak kurasa. Karena ia telah mencoret coret dinding putihnya dengan aneka warna, tulisan dan gambar yang dewapun takkan suka.Ia hanya memanfaatkan keperempuanku sebagai kebanggan bagi keluarga besarnya, bahwa ia mempunyai seorang istri yang cukup cantik dan terpelajar sepertiku, sekaligus mempermalukan aku sebagai perempuan sebab tak juga perutku ini berisi benih dari nya. Sementara dari perkawinan sebelumnya, dua anak lahir.
Dulu, aku ingin mengakhiri. Jika aku sebatang pohon, terrnyata tak semudah itu melepaskan diri dari belitan akar yang telah tumbuh di tubuhku sendiri. Jadi kubiarkan saja ia tetap membelitku dengan belukarnya sekaligus.
Semak semak yang kadang harus kubakar, terkadang membakar kulitku juga. Meski lebih sering ia menebang nebang, mencacah-cacah kulit kayuku. Membiarkan getah meleleh.
 
Sebenarnya matahari telah menuakan batang batang kayuku, dan mengeringkan hijau daunku. Dahan dahan ku pun berjatuhan, di- pungkasnya satu demi satu. Nothing Else Matters dari Metallica membahana di ruang tidurku, kantukku belum selesai kulunaskan. Kulihat arloji, masih jam 3 pagi.. Tapi Erald telah menghidupkan Componya keras-keras. Ia baru pulang dari night club atau pub mana, aku tak tahu. Aroma alkohol menusuk, berbaur dengan parfum murahan perempuan-perempuan malam.

Dibukanya paksa liang wanitaku. Tak di berinya aku kesempatan untuk bersiap. Dan serigala kembali melolong menyambut purnama. Aku lelah. Aku jenuh dengan upacara ini. Dalam sembab aku lalu menyebut satu nama, yang baru kukenal sebulan yang lalu.Kucium tangan kiriku, dan seolah masih melekat disitu, kunikmati aroma cinta yang tadi siang kudapatkan . Wanginya membuatku melambung. Khayalanku mela- yang. Tak kuperdulikan lagi siksa Ereald atas tubuhku. Aku sedang menikmati sesuatu yang lain. Aku sedang bercinta dengan bayangan seseorang yang lain. Memoriku tentangnya berkelebatan . Wajah manis dengan dagu yang terbelah. Rambut pirang dan body yang aduhai. Kulitnya putih dengan leher jenjang. Ya, aku bermain main dengannya tadi siang. Dan kini bayangan Aini menari di pelupuk mataku, sementara Erald masih asyik mencambuki tubuhku dengan tubuhnya.

Aku merasa “pulang” ketika mengenalnya sebulan yang lalu. Dan semakin merasa pulang ketika kami sepakat menjalani hari hari kami bersama dalam ikatan kasih sayang. Aini, ah kau Aini. Aku jadi mengingat Lorena sepuluh tahun yang silam, sebelum aku disunting Erald. Oleh karenanya aku merasa pulang. Pulang ke tanah leluhurku. Saga yang telah kutinggalkan berpuluh abad lamanya. Hikayat yang telah dengan sengaja kulupakan demi lelaki yang memberiku luka
saja  akhirnya.

“ Aini” demikian kau mengenalkan diri di siang yang terik, di sebuah café di pinggir laut.
Dan aku juga mengulurkan tanganku , yang masih berbalut sarung tangan. Mata kita beradu.
Demi Tuhan, tatapan matamu saat itu menohokku. Aku tak tahu kau ini siapa dan dari mana datangnya, hingga bercangkir cangkir teh kita habiskan bersama. Yang kita perbicangkan hanya buku dan puisi, sampai senja melumat perjumpaan kita yang pertama. Berlanjut pada pertemuan kedua dan seterusnya, kita makin saling mengenal dan menumbuhkan rasa yang tak asing kurasakan.

Tak ada yang aneh sebenarnya, selain matamu yang menohokku, seakan memberiku selembar tiket untuk pulang.
Aini, Aini. Akankah aku pulang ke tanah yang telah kupagar dan kulempar kunci gemboknya entah kemana? Tanah yang memberiku aib ketika hubungan cintaku pada Lorena ketahuan oleh orang tua. Dan serta merta aku menjadi pesakitan nomer satu di kampungku. Aku lalu dipingit, tak di perbolehkan bertemu dengan Lorena. Betapa sakit perasaanku saat itu. Dan sakit itu hampir pudar ketika ku kenal lelaki demi lelaki yang singgah dan menghampiriku. Aku hampa rasa pada mereka sebenarnya. Tapi demi menjaga reputasi di depan orang tua dan sanak keluarga, aku tampil seolah olah perempuan normal, yang memuja lelaki, meski hatiku tertambat hanya pada Lorena, yang kala itu sudah di bawa orang tuanya terbang entah ke kota apa. Hingga Erald, duda ganteng  paling perlente dan modern di kampungku secara setengah memaksa meminangku. Aku menyerah saat itu. Dan berusaha sebaik mungkin menjadi istri yang baik untuknya. Meski akhirnya aku kembali terluka, terlunta lunta.

Sorot mata kamu itu , Aini. Menyeretku ke kenangan manisku bersama Lorena dahulu.
Dan aku tak tahu dari mana datangnya keberanianku, ketika suatu senja aku mengecup tanganmu dan menggenggamnya lama lama. Kau tampak terkejut, tapi segera menikmatinya. Kita salah tingkah berdua. Tertawa tersipu, lalu berpandang pandangan lagi. Ah…!
Aini, betapa tanah leluhurku telah kupijak bersamamu kini. Saga pengembaraanku berakhir lagi disini.
Kupandangi laut yang biru tenang menghampar tak jauh dariku. Beberapa kapal nelayan hilir mudik .

Ingin kusambut sebuah dayung dan kuarungkan diri ke dalam lebarnya samudera, bersamamu. Menjauhi Erald, manusia penjajah yang hanya bisa mabuk dan menyiksa. Akan kusahayakan diri ini beserta segenap hatiku untukmu, Aini, seandainya kau bersedia. Aku begitu terpikat oleh senyummu. Dan kerling matamu begitu memabukkanku. Mari Aini, mari kita tempuh perjalanan kita sejauh kita mampu. Mungkin aku hanya ingin berlari dari Erald . Tapi tidak juga. Aku benar benar terpikat oleh santun gayamu dan keriang gembiraan cakapmu . Tapi aduh Aini, dengan apa aku akan pergi bersamamu, jika belitan Erald masih saja dan terus saja mencengkeramku begini?

Aku menghela nafas ketika Erald menendang bokongku. “Hei, kamu melamun apa?” Diguyurnya tubuh telanjangku dengan bir dingin. Sungguh pedih sebab mengenai puting payudaraku yang masih luka dia gigit hampir putus dua hari yang lalu. Aku menggigil menahan sakit. Kutatap langit langit kamar. Terbayang senyum manismu, Aini. You raise me up lamat lamat terdengar dari balik bantal, Ipodku belum sempat ku off kan tadi. Kutahan jatuhnya air mata. Aku me- nikmatinya, sebab ada engkau di hatiku, Aini. “Brakk! “ Erald mem- banting pintu kamar sambil terkekeh kekeh tak jelas karena apa. Erald, manusia penyiksa itu sangat pecemburu. Ia akan sangat marah jika aku ngobrol atau di telpon oleh seorang lelaki. Sejauh ini aku tak pernah macam macam dengan lelaki lain manapun. Selain tak tertarik, sekali lagi, aku tak ingin di bakar hidup hidup oleh Erald jika ketahuan berselingkuh. Ah, aku juga heran, mengapa sangat ketakutan dengan ancamannya itu. Sementara Erald dengan cueknya pernah menunjukkan celana dalam wanita yang ketinggalan di jok mobilnya. Aku hanya mengelus dada saja waktu itu. Tak cemburu dan tak marah juga. Aku sudah ambigu .
Beruntung, Erald tak mengetahui masa silamku bersama Lorena.

Jadi aku agak bebas bertemu dan bahkan mengajak Aini main ke rumah. Aku leluasa menelpon Aini kapan saja, tentu saja tidak semesra jika tak ada Erald. Dan aku sangat merasa beruntung Erald menyambut baik “pertemanan” ku dengan Aini.
Seperti siang tadi, aku pamit hendak belajar satu resep makanan di rumah Aini. Tanpa curiga, Erald membiarkan aku seharian berada di rumah Aini.
“Wan, akhirnya kau datang juga” Aini menyambutku dengan pipi yang berseri di muka pintu.
“Iya sayang, aku datang memenuhi janjiku,” penuh rindu kupeluk perempuan mungilku itu.
 
Sudah seminggu aku tak kerumahnya. Dan hari ini, kedua orang tuanya berangkat ke luar kota. Aku sudah tak tahan menunggu saat saat indah ini. Kucumbu Aini hingga seluruh tubuhnya mengejang , ah ku tahu ia masih sangat asing dengan hal ini. Lalu di atas sofa, kubimbing ia untuk mengenal suatu hal yang lebih indah. Sesuatu yang sakral. Aini menurut saja, tak menolak atau meminta. Dengan sangat perlahan dan halus kusetubuhi Aini, dengan caraku. Desahnya lembut membelai sukmaku. Aku lebur dalam gemulai tubuh Aini. Kami benar benar menikmati. Terasa melayang di awan. Aku sempat membayangkan upacara serigala bersama Erald. Sangat jauh bedanya. Oh Aini, aku benar benar mabuk cintamu, mabuk tubuhmu. Hingga sore kami masih saja bercengkerama. Ini pengalaman pertama buat Aini. Dan aku berjanji tak akan meninggalkannya sendiri. Aku ingin mendam- pinginya sampai kapanpun. Aini menggelendot manja di pundakku ketika aku hendak pulang. Ku baca binar matanya yang mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku, seperti aku menyayanginya.
“Aku harus pulang Aini. Tapi akan datang lagi kapanpun kau mau.”
“Ya Wan, kau harus janji , selalu setia padaku."

“Tentu Aini, akan kutempuh segala cara agar kau selalu jadi milikku,” kukecup keningnya dan aku pergi meninggalkan lambaian tangannya. Ada rasa merdeka di hatiku. Setelah sekian lama di belenggu oleh Erald. Cinta yang membuncah ini akan kusimpan baik baik, tak perlu di ketahui Erald atau siapapun. Kususuri jalanan menuju pulang sore itu. Kucium tangan kiriku, yang masih segar menguarkan aroma perempuanku. Persetubuhan yang sempurna, batinku. Dengan tralala trilili kulambatkan laju motorku. Kunikmati sore yang amat indah ini bersama Aini di genggamanku. Saga, dunia kisahku, kini kembara lagi akhirnya. Demi jiwaku yang luka.

Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 58, 2008

Forward>>

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com