ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Surat Dari Dinda: Aku, Bukan Karya Chairil Anwar

21/11/2019

 
Ini memang bukan Aku-nya karya Chairil Anwar. Aku versi aku. Pernah merasakan waktu kecil menggeliat di lantai pusat perbelanjaan, meraung-raung karena tidak dibelikan barang yang diinginkan? Iya itu aku. Saat itu aku berumur 6 tahun dan ingin sekali punya gaun warna merah muda yang roknya megar-megar seperti princess. Tapi mama tidak membelikan karena, selain aku punya banyak di rumah, waktu itu memang pergi ke perbelanjaan bukan untuk belanja. Namanya juga aku masih kecil, jadi yang egonya. Kalau sudah ingin sesuatu pokoknya harus dipenuhi. Tapi mama tetap tidak membelikan walaupun aku sudah nangis-nangis, meraung-raung, menggeliat di lantai. Alhasil karena malu dicuekin mama aku pun diam seribu bahasa dan berhenti menangis. Sampainya aku di rumah, suasana hati langsung berantakan. Aku juga diomelin mama. “Kamu tahu gak sih kalau kamu itu keras kepala? Kamu sudah bikin mama malu dengan menggeliat di lantai mall. Lain kali kalau mama pergi lebih baik gak usah ajak kamu!”. Namanya juga anak kecil, diomelin hanya bisa merespons dengan tangisan. Karena takut tidak diajak lagi ke mall, aku kemudian belajar untuk tidak menangis lagi ketika tidak dibelikan sesuatu yang aku mau.

Aku dari kecil sudah banyak mau. Sampai remaja pun aku malah lebih banyak kemauan. Apa yang diinginkan pokoknya harus didapatkan, bagaimanapun caranya. Suatu kali, waktu aku SMA, aku ketahuan punya sebungkus Malboro Menthol di tasku. Aku membelinya dengan duit jajan yang dikasih orang tua. Papaku, yang maksudnya memarahiku, berkata, “Kalau kamu sudah berani membeli dan merokok, jangan pernah beli rokok pakai duit jajan yang mama dan papa kasih! Kalau kamu mau merokok, beli pakai duit yang kamu hasilkan sendiri!”. Memang dasar aku si keras kepala. Bukannya takut dan berhenti merokok, aku justru mencari kerja part time di sebuah rumah makan. Akhirnya, aku bisa menghasilkan duit sendiri buat merokok. Awalnya memang cuma karena ingin bisa beli rokok sendiri, tapi akhirnya keterusan. Aku tidak pernah minta uang jajan lagi sama orang tua. Mandiri sih, cuma aku jadinya kebanyakan main dan berujung jadi bandel.

Aku ini orang yang keras kepala, egois, dan terlalu mudah percaya dengan orang lain. Ya, itu aku. Tapi dulu, ketika aku tidak pernah mendengarkan orang tua. Ketika disuruh sekolah, aku justru bolos. Untungnya lulus! Pinter sih tapi percuma kalau bolos terus. Lulus SMA disuruh kuliah, aku justru sok-sokan ingin cari duit dulu. Padahal, itu hanya alibiku agar bisa main saja. Saat bosen main, aku baru mau kuliah. Masuk kuliah dua semester, aku justru MBA (Married by Accident) sama pacar yang tidak seberapa itu. Ternyata pacar, yang kemudian menjadi suamiku, adalah bandar narkotika. Dia juga gemar berjudi, gemar perempuan, dan gemar melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Memang sebenarnya cerita mengenai si suami ini tidak perlu diperpanjang, hanya bikin sakit hati. Aku dibujuk-bujuk, dirayu-rayu, agar masuk ke lingkaran narkotikanya si suami. Aku diseret hingga tidak sanggup lagi untuk menghadapi kehidupan bersama si suami. Akhirnya, sekalian saja lah aku tenggelam di dalam keterpurukan, masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan karena si suami. Belum lama masuk, aku sudah diceraikan oleh si suami. Tidak apa-apa. Itu karena Tuhan sayang sama aku. Jadi, di tengah-tengah keterpurukan, aku sadar kalau jalan yang aku pilih itu salah. Salah banget. Aku belajar untuk tidak keras kepala lagi, tidak egois lagi, tidak cepat percaya sama orang, sekalipun orang itu dekat dengan aku. Ketika sudah di ujung jalan begini aku baru sadar: Mengejar keinginan dan tidak pernah puas itu salah.

Aku banyak belajar tentang kehidupan. Kebanyakan yang aku pelajari adalah kesalahan yang aku lakukan agar tidak terulangi lagi. Ada pepatah yang mengatakan, “Kita harus bangkrut 7x dulu sebelum benar-benar menjadi pengusaha yang sukses”. Ibarat kehidupan, kita harus jatuh dulu biar tahu kalau jatuh itu sakit. Karena tahu jatuh itu sakit, aku akan lebih berhati-hati lagi dengan kehidupanku.

Aku belajar untuk menerima kehidupanku apa adanya. Aku belajar menerima kehidupan sederhana, melihat dunia dari sudut pandang sederhana dan mempunyai keinginan yang juga sederhana. Keinginan sederhana itu adalah menjadi orang yang bahagia sampai nanti aku menutup mata. Ya, ini aku. 

​

Surat Dari Tini Chen: Siapa Aku?

21/11/2019

 
Kalimantan Barat dikenal sebagai kota khatulistiwa, dengan Pontianak sebagai ibu kota. Dari Pontianak menuju ke sebuah kota kecil yang bernama Singkawang harus ditempuh selama empat jam. Singkawang lah kampung halamanku, kota yang indah dan penuh kenangan.

Aku lahir di Singkawang pada tahun 1992. Aku lahir di sebuah keluarga kecil. Aku adalah anak kedua, sekaligus menjadi anak paling bungsu di keluargaku. Aku dan kakak perempuanku dibesarkan dengan penuh kasih sayang tetapi juga dengan kekerasan. Tentu saja, aku yang paling dimanja. Aku yang sering dimanja membuat aku menjadi seseorang yang cengeng. Dari umur lima tahun aku sudah mulai masuk Sekolah Dasar (SD). Sampai aku kelas 4 SD, mau tidak mau, aku harus tinggal kelas karena nilai matematikaku jelek (Tapi untuk hitung uang, aku jagoannya). Masuk ke kelas 5 SD, aku sakit demam berdarah. Aku harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu. Sungguh satu minggu yang tersiksa. Aku harus diberi infus dan disuntik lima macam obat dalam waktu setengah jam sekali. Biasanya orang sakit itu badannya jadi kurus. Tapi tidak dengan aku. Aku yang awalnya kurus justru menjadi gemuk. Dan sekarang, gemuk itu jadi permanen. Seiring waktu, akhirnya aku lulus juga dari SD dan lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sekolah yang sama. Dari SMP aku mulai mempunyai banyak teman. Aku punya teman satu geng yang bernama “SweetyGirl”, yang berjumlah 8 orang. Waktu SMP juga aku mulai mengenal cinta. 

Di umur 14 tahun, kelas 3 SMP, aku berpacaran untuk pertama kalinya, dengan laki-laki yang berbeda 9 tahun denganku. Kata temanku dia ganteng, mirip vokalis F4 yang bernama Tao Ming Tse. Tapi hubungan itu hanya bertahan selama tiga bulan. Mungkin memang karena aku orang yang cepat bosan. Jadi, ya sudahlah.

Lulus dari SMP, aku berumur 15 tahun. Aku mulai bekerja mulai dari Singkawang ke Malaysia, hingga kembali lagi kerja di Singkawang. Pergaulanku semakin luas. Aku yang beranjak remaja sudah mulai mengetahui seperti apa itu dandan dan nongkrong. Pada dasarnya, aku memang tidak jelek-jelek banget. Aku sempat memegang prinsip: Tidak boleh jomblo lebih dari tiga hari. Jadi, stock harus selalu TERSEDIA.

Dengan aku yang tidak jelek-jelek banget ini, aku jadi suka menggampangkan suatu hubungan. Aku sering berpikir, “Ya, gampanglah siapa sih yang tidak bisa aku dapatkan kalau aku mau?”. Di dalam keluarga aku sering dimanja dan saat itu mama juga tidak berada di rumah, tapi di Taiwan. Aku hanya tinggal bersama papa yang tidak terlalu peduli denganku. Kondisi ini membuatku mencari kebahagiaan lain di luar sana. Aku mendapatkannya dari teman-temanku yang rata-rata adalah laki-laki. Beruntungnya pergaulanku tidak ke narkotika dan minuman keras, melainkan seks bebas. Tapi satu hal yang perlu diketahui: Tidak sembarangan pria yang bisa bergaul denganku, harus pilih pilih juga kali. 

Pergaulan ini berakhir di Oktober 2008. Waktu itu aku berumur 17 tahun. Aku menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya 27 tahun lebih tua dariku. Mendengar aku menikah, semua teman-temanku tidak terima. Bagi mereka, laki-laki yang kupilih lebih pantas menjadi papaku daripada suamiku. Sampai-sampai mereka berpikir bahwa aku menikah hanya karena uang. Lucunya, ada pacarku yang aku putusin. Namun, ia menolak hingga nekat berlutut di depanku, di tepi jalan, agar aku tidak meninggalkannya. Tapi aku tidak ada pilihan. Aku sudah lelah hidup bersama papa yang penuh kekerasan. Saat itu aku berpikir, hanya dengan menikah aku bisa lepas. Jadi, aku ambil keputusan untuk menikah dini.

Awalnya aku berpikir dengan aku menikah hidupku akan jauh lebih baik dan akan selalu dihiasi dengan kebahagiaan. Ternyata tidak. Dia sama saja dengan papaku. Dia tidak sebaik yang aku kenal. Mungkin inilah kesalahan terbesarku. Belum genap satu bulan kenal dia, aku sudah memutuskan untuk menikah dengannya. Sekarang, menyesal pun sudah percuma, sudah terlambat. Yang bisa aku lakukan hanya menjalaninya. 

Pertengahan 2009, suamiku mengalami kecelakaan. Dia tidak bisa bangun selama setengah tahun. Dia hanya bisa tidur, makan, dan minum. Bagus juga ada kecelakaan itu karena dengan begitu ada satu rahasia besar yang selama kami menikah dia selalu menutupinya dariku. Ternyata suamiku seorang bandar narkotika. Dalam pikiranku, dia telah menipuku. Di awal perkenalan kami dia mengatakan bahwa dia seorang pengusaha minuman, seperti Chivas, Black Label, Red Label, Jack Daniel, Wine, dan begitu banyak jenis minuman lainnya. Dia memasok minuman-minuman tersebut ke klub-klub malam di Jakarta. Di saat aku mengetahui semuanya, aku kecewa. Tapi apalah yang bisa aku perbuat? Awalnya, aku takut karena aku berpikir: Senakal-nakalnya aku hanyalah sebatas seks bebas, tidak lebih. Tapi sekarang aku harus berhadapan dengan narkotika yang tidak pernah aku ketahui dan tidak pernah aku lihat sama sekali. Tapi rasa takut itu aku buang jauh-jauh. Aku perlu uang untuk keluargaku, anak-anakku, pengobatan suamiku, dan untuk makan sehari-hari. Aku harus pikirkan semua karena untuk sementara waktu suamiku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus terjun ke dunia narkotika, menggantikan suamiku. 

Memang dasar setannya banyak tidak munafik, aku mulai tergiur dengan bisnis ini karena bisa menghasilkan uang dengan cepat, gampang, tanpa harus bersusah payah dan bekerja keras. Dari hasil kerjaku, aku bisa memperoleh semua yang aku inginkan. Sama sekali tidak terpikir olehku akan risiko yang begitu besar di hadapanku. 

Sampailah pada 26 Juni 2016, pukul 14.00 WIB. Penggerebekan terjadi di rumahku. Habislah aku. Aku tertangkap dengan barang bukti sebanyak 5.75 gram. Yang menariknya lagi, barang bukti adalah blue ice, zat narkotika yang digemari dan dicari banyak orang. Tapi apa gunanya? Mau sebagus apapun barang itu, aku tidak mengerti karena aku bukan pengguna narkotika. Waktu aku di BAP (Berita Acara Pidana), penyidik bertanya, “Apakah kamu menyesal karena mengedarkan narkotika? Aku jawab, “Tidak.” Aku menjual narkotika. Aku tidak menawarkan pada orang. Orang itu sendiri yang datang mencariku. Kalau dibilang aku menjual ‘racun’, itu benar. Tapi aku tidak pernah menawarkan ‘racun’ itu pada orang. Orang itu sendiri yang mencari ‘racun’. Aku merasa aku tidak bersalah karena aku hanya mencari uang di situ. Uang itu pun tidak aku gunakan untuk bersenang-senang, melainkan untuk keluargaku.
​

Januari 2017, aku divonis hukuman penjara selama 6 tahun 3 bulan. Kalau dipikir, ini bukan waktu yang sebentar. Mungkin kalau di luar sudah banyak hal yang bisa aku perbuat. Pasti banyak hal yang sudah aku lewatkan, terutama waktu buat anak-anak dan keluarga. Tapi apa boleh buat? Memang inilah risiko yang aku tanggung karena pekerjaan ini.
Sekarang hanya satu yang aku tahu setelah aku bebas dari penjara, aku menyandang satu status baru, yaitu seorang mantan narapidana. Dan, itulah aku Tini.

Surat Dari Dinda: Cerita Tentang Mama Adalah Cerita Tentang Kehidupan

4/11/2019

 
PictureDok. Freepik
Ketika saya sedang dalam keadaan terpuruk, orang yang pertama saya ingat adalah mama. Namanya juga manusia, pas sudah susah dan sedih baru ingat sama mamanya. Bahkan dari kecil saja kalau kita nangis, yang kita panggil pasti ‘mama’. kalau kita jatuh pasti mengadunya ke mama. 

Untuk saya mama itu adalah pedoman kehidupan saya. Ya, memang sering diingat ketika sedang meratapi nasib. Mama selalu berusaha ada di saat saya susah ataupun senang. Mama selalu ngajak anak-anaknya senang bareng-bareng. Tapi anaknya, kalau lagi senang lupa sama mamanya. Yang diajak justru temannya lagi, temannya lagi. Saya jadi teringat kelakuan saya di zaman dulu terhadap mama saya. Waktu remaja saya jarang ada di rumah, sering ngelawan. Apalagi kalau saya sudah main sampai malam, telepon mama tidak pernah saya angkat. Saya sengaja tidak angkat karena takut disuruh pulang. SMS mama biasanya berisi, “Pulang, Mbak”. Tapi bukannya pulang, saya justru bermalam di rumah teman. Besoknya ketika sampai rumah dan ketemu mama, mama sedikit mengomel atau mendekati saya untuk menasehati. Mama tidak pernah marah. Tapi kalau sudah cuek ke saya, nah, itu artinya mama sudah marah sekali sama saya. Kalau sudah begitu, rasanya tidak enak sekali. 

Kalau diingat-ingat tentang bagaimana kelakuan saya waktu dulu itu memang bikin kesal sendiri. Gimana mama ya, yang menghadapi saya ketika itu? Tapi itu kan dulu, waktu saya belum sadar. Sekarang saya banyak belajar dari mama. Apalagi pas saya sudah punya anak. Tadinya saya tidak pernah curhat dengan mama karena jarang sekali berada di rumah. Sekarang, mama jadi teman sharing tentang segalanya, tentang anak, tentang bagaimana membangun keluarga. Mama juga jadi cerita tentang kejadian-kejadian yang sebelumnya mama tutupin sejak saya kecil karena tidak ingin anak-anaknya resah, tentang keretakan rumah tangga mama. Ternyata mama bisa menjadi teman untuk saya. Telat sekali saya menyadarinya. Tapi tidak apa-apa. Kata mama, “Gak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik”.

Di momen seperti ini membuat saya flashback lagi ke masa lalu. Asal-muasal kenapa waktu remaja saya jarang ada di rumah, Itu karena dari kecil tidak pernah ada orang tua di rumah. Adanya bibi dan adik saya yang juga sibuk sekolah. Dulu waktu SD, ibu guru pernah bertanya, “Kamu kalau besar mau jadi apa?”. Saya menjawab, “Jadi pramugari seperti mama”. tapi mama jarang ada di rumah waktu saya kecil. Saya selalu sama bibi. Beranjak SMP, kalau guru tanya hal yang sama, jawaban saya berubah menjadi, “Pengusaha sukses”. Lalu, guru akan bertanya kembali, “Kenapa tidak jadi pramugari saja seperti mamanya?”. Saya hanya diam dan menggelengkan kepala saya. Di dalam hati saya menjawab, “Karena kalau jadi pramugari seperti mama nanti jarang ada di rumah”. Begitu pemikiran saya waktu saya remaja. Pemikiran egois yang membuat saya jadi tidak bisa dinasehati sama orang tua. Nyatanya pada saat itu, mama sedang terpuruk dan sedang berjuang keras untuk mempertahankan keluarga karena kesalahan yang papa saya buat. Mama berjuang mempertahankan hati yang hancur, status, dan perekonomian keluarga. Dan mama tidak ingin anak-anaknya ikut terpuruk dan kesusahan.

Kalau diingat saya jadi menyesal sendiri. Dulu waktu remaja sangat nakal dan tidak mendengarkan apa kata mama. Mama yang lagi terpuruk pun harus lebih bersabar menghadapi kelakuan saya yang tidak bisa dibilangin. She is my real Wonder Woman. Apa yang sudah dilalui bersama mama menjadi pelajaran berharga untuk saya.

Tidak sampai di sini saja rasa kagum saya kepada mama. Sekitar tiga tahun dua bulan yang lalu, ketika pertama kali tangan ini terborgol, saya menangis. Bukan karena narkotika yang tertangkap, tapi perasaan menyesal karena telah mengecewakan mama. Saat itu saya tidak kuat untuk menatap mata mama yang berkaca-kaca. Saya bingung dan langsung nangis seketika. Saya tidak peduli dilihat oleh banyak orang yang kunjungan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat terpuruk yang saya alami. Saya semakin bergetar ketika mama mulai peluk saya dengan erat. Saya merasa sangat bersalah, lebih merasa bersalah daripada dihukum sama hakim. Rasanya sakit sekali melihat mama menangis. Sambil dipeluk, mama berkata, “Mbak pasti kuat. Mbak gak boleh nyerah, gak boleh putus asa. Mbak anak mama yang paling kuat, pasti bisa melewati ini semua. Mbak yang pilih jalannya, harus tanggung resikonya.” Speechless banget mendengarnya. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Air mata yang turun justru semakin deras. 

Kalimat mama selalu saya pegang untuk menguatkan saya setiap kali saya mulai ragu dan sedih. Mama selalu hadir bahkan ketika saya berada di titik nol. Mama yang membuat saya bertahan. Mama yang akan mengulurkan tangannya untuk mengangkat saya, di saat orang lain tidak memedulikan saya. Selama saya di sini pun, mama tidak berhenti untuk mendukung saya. Inilah yang membuat saya ingin menjadi orang yang tabah, sabar, dan kuat seperti mama. Pedoman kehidupan saya.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat Dari Tini Chen: Kasih Mama Seperti Air Yang Mengalir Tiada Henti

4/11/2019

 
PictureDok. Freepik
Dalam masyarakat keturunan Tionghoa ada pepatah yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya: “Kasih ibu seperti air yang mengalir tiada berhenti. Kasih anak kepada ibu hanya seperti hembusan angin yang berlalu”.

Aku punya seorang mama yang cantik, tangguh, kuat, seorang mama yang tidak gampang menyerah pada keadaan apapun juga, seorang mama yang selalu berusaha memberikan yang terbaik buat anak-anaknya.

Mamaku selalu bercerita kalau mama sejak masa mudanya selalu menjadi anak yang dapat diandalkan orang tua, yang bekerja keras siang dan malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga, membiayai uang sekolah sendiri dan merawat adik-adik mama yang lain karena mama adalah anak pertama dalam keluarganya. Sampai mama menikah pun hari-harinya dilewati dengan penuh perjuangan. Punya papa yang seorang pejudi berat dan tidak bisa diandalkan, buat mama harus bekerja lebih keras lagi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mama adalah orang yang tidak pernah mau ataupun mengandalkan orang lain. Jadi, mama buka usaha dengan menjual bubur, masakan matang, kelapa parut, ayam potong, dan jual buah nanas. Setiap pukul 4.00 pagi mama sudah bangun untuk mempersiapkan barang dagangannya. Hingga pukul 9.00 pagi, mama baru selesai dagang, dan ia setelah itu ia baru bisa beristirahat. 

Tidak terasa 14 tahun berlalu dengan aktivitas yang selalu sama, sampai aku lulus dari SMP, mama memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Dia pergi ke Taiwan dan bekerja sebagai perawat orang tua. Mama pergi dengan membawa satu cita-cita: kelak mama akan membeli rumah yang besar dan punya usaha yang lebih baik untuk dijadikan investasi di masa tuanya. Mama adalah tipe orang yang tidak ingin menyusahkan anak-anaknya.

Selama tiga tahun mama pergi bekerja di Taiwan, seminggu sebelum aku menikah, mama akhirnya terpaksa pulang karena statusnya imigran gelap. Mama tertangkap polisi jadi mama dipulangkan ke Indonesia. Mama pulang dengan tangan kosong. Impian untuk membeli rumah pun hilang karena selama tiga tahun bekerja, gaji mama selalu diminta sama papaku yang seorang pejudi ini. Awalnya, mama pergi dengan berbadan gemuk, ketika pulang badannya kurus. Setelah aku menikah, mama memilih untuk tinggal bersamaku. 

Selama aku menikah, aku dianugerahi empat anak oleh Tuhan. Anak-anakku dari bayi selalu bersama mama. Mereka selalu diberikan kasih sayang oleh mama. Bisa dibilang: selalu dimanja. Apapun yang cucunya inginkan, mama selalu kasih. Tidak pernah ada kata “tidak” dari mulut mama. Sampai aku dan suamiku tertangkap dan mendekam di penjara, mama tetap selalu sabar dalam situasi apapun. Suamiku dipenjara selama satu tahun dua bulan. Dan, selama itu mama berjuang sendiri untuk merawat anak-anakku, membiayai sekolah anakku, membiayai kebutuhanku dan kebutuhan suamiku selama di penjara. Setelah suamiku bebas mama masih tetap berjuang untuk membiayai kebutuhanku di tempat ini. Ia selalu menanti kepulanganku.

Sampai pada Selasa malam, 13 Agustus 2019, mama jatuh sakit tidak sadarkan diri. Ia koma. Tiga hari kemudian, Jumat, 16 Agustus 2019, pukul 09.00 pagi mama telah pergi jauh ke tempat yang tidak bisa aku gapai. Mama tidak akan kembali lagi. Dunia seakan runtuh setelah mendengar kabar itu karena aku belum siap mama pergi. Aku belum membahagiakan mama. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan bersama mama. Tapi mau bagaimana lagi? Tuhan berkehendak lain.

Kini yang aku tahu hanya perjuangan mama sudah berakhie. Pengorbanan mama sudah terlalu banyak buat aku. Waktunya mama istirahat dengan tenang di sana. Satu hal yang aku tahu: mama dan kenangannya selalu hidup di hatiku. Aku adalah orang yang sangat beruntung karena Tuhan memberikan aku seorang Wonder Woman dan itu adalah mama.

Sekarang aku ingin menjadi perempuan yang tangguh, kuat, tidak mudah putus asa, dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Aku ingin menjadi seorang mama yang selalu dibanggakan oleh anak-anakku. Sama persis seperti mamaku yang sekarang ada di surga.

Kalau ditanya orang, “Achen siapa idolamu?”, aku akan menjawab dengan pasti: “Mama”. karena tidak ada yang seperti mama di dunia ini. Mama adalah yang terbaik dan tidak bisa digantikan oleh apapun dan siapapun. 

Terima kasih mama sudah melahirkan aku, sudah menyayangi aku, sudah berkorban banyak bagiku. Aku cinta mama. Biar Tuhan memberikan tempat yang terbaik untuk mama.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat Dari Tini Chen: Seandainya Ada Mesin Waktu, Aku Ingin Kembali Ke Masa Remaja

4/11/2019

 
PictureDok. Freepik
Tuhan adalah pencipta langit dan bumi. Apapun yang ada di dunia ini semuanya milik Tuhan, begitu juga dengan waktu. Apabila Tuhan bertanya kepadaku: Apa yang kamu pilih, hidup yang sekarang atau hidup yang dulu? Aku pasti akan menjawab: hidupku yang dulu. Hidupku yang dulu jauh lebih bahagia daripada yang sekarang. Meskipun dulu juga banyak rintangan dan cobaan yang harus aku lalui. Seandainya waktu bisa diputar kembali, ingin sekali aku kembali ke sepuluh tahun yang lalu ketika aku berumur 17 tahun. Pada waktu itulah kenangan-kenangan indah terjadi, yang tidak bisa tergantikan oleh apapun.

Setiap pagi pukul 4.30 pagi, papa sudah pergi ke pasar untuk jualan. Sedangkan aku bangun pukul 6.30 pagi. Sebelum mandi dan pergi bekerja, banyak tugas rumah yang menumpuk telah menunggu untuk aku kerjakan. Aku hanya tinggal sama papa. Sedangkan mama kerja di Taiwan. Mau atau tidak mau semua pekerjaan rumah aku yang kerjakan. Sebelum aku mulai beres-beres, paling enak menyalakan musik terlebih dahulu agar di rumah terasa tidak terlalu sepi dan aku jadi tambah semangat. 

Setelah selesai beres-beres waktunya aku mandi dan bergegas pergi bekerja. Aku bekerja di toko sepatu dari pukul 9.00 pagi hingga pukul 9.00 malam. Waktu dan hari yang terasa melelahkan. Tapi rasa lelahku akan hilang setelah teman-teman menjemputku. Setiap hari pukul 20.30 malam, teman-temanku yang kebanyakan adalah laki-laki itu datang untuk menjemputku. Tempat parkir di toko sampai penuh karena mereka yang datang. Bos aku pun sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Karena bosku juga termasuk atasan yang pengertian, ia langsung menyuruhku menutup toko. 

Sebelum pulang ke rumah, aku pasti menyempatkan untuk pergi nongkrong bersama teman-temanku di tongkrongan anak muda. Pemilik tongkrongan tersebut sangat ramah dan dia juga dekat dengan pengunjung yang datang. Dia pasti sudah menyiapkan tempat buat kami.

Di hari minggu, aku dan teman-teman pasti berkumpul dan pergi jalan-jalan ke pantai, mendaki gunung, atau ke tempat karaoke, dari pagi hingga malam. Orang-orang sering bertanya kepadaku kenapa temannya laki-laki semua? Aku hanya menjawab karena laki-laki itu tidak cerewet, tidak biang gosip, dan tidak bikin pusing. Aku tidak peduli dengan pendapat orang yang bilang aku adalah perempuan nakal atau apapun itu. Karena berteman dengan mereka membuat aku bahagia. Mereka selalu ada buat aku di kala senang ataupun sedih. Mereka sudah seperti keluargaku sendiri yang bisa aku jadikan teman, sahabat, papa, dan juga pacar (pacar pura-pura kalau keadaan mendadak).

Tidak terasa Hari Valentine sudah tiba. Orang-orang berbondong-bondong ke toko boneka, membeli kado untuk pacarnya atau untuk acara tukar kado dengan sahabatnya. Ada yang beli bunga, boneka, pajangan bola kristal, dan cokelat, begitu juga dengan aku. Masih ingat dalam memoriku saat aku berjalan menuju rumah sepulang kerja, ada seorang laki-laki dengan motor menyusul dari belakang. Di tangannya ada sepucuk bunga mawar merah dan diberikannya kepadaku. Ternyata laki-laki itu sahabatku. Bukan hanya itu yang aku terima. Aku menerima bunga-bunga lain yang berdatangan dari sahabat, mantan, sampai dari laki-laki yang dia-diam menyukai aku. Cokelat-cokelat juga menumpuk di lemari es, hingga aku mual melihatnya. Tapi yang paling indah adalah ketika malam Valentine ada teman laki-lakiku yang datang dan mengajakku jalan-jalan ke pantai. Aku berpikir dalam hati, mengapa temanku ini mau mengajakku ke pantai malam-malam. Ternyata dia tiba-tiba berlutut di hadapanku sambil memegang 1 rangkaian bunga mawar warna merah muda. Dia bertanya apakah aku mau menjadi pacarnya. Sangat manis, seperti pangeran di negeri dongeng. Tapi sayang sekali aku enggan mengambil tawarannya mengingat ia adalah mantan pacar temanku. 

Teman-temanku ini aneh. Setiap ada cowok yang mau mendekati aku, mereka pasti bertanya-tanya terlebih dahulu mengenai bibit, bebet, bobotnya. Mungkin mereka tidak mau melihat aku sedih dan hanya mau melihat aku bahagia. Kalau aku mau mendeskripsikan sahabatku melalui tulisan, tak cukup satu buku. Jika diceritakan pun bisa sampai seharian.

Apabila suatu saat nanti Tuhan berikan aku kesempatan untuk berkumpul dengan mereka lagi, aku ingin mengatakan kalau aku sangat merindukan mereka. Aku ingin berterima kasih kepada mereka karena sudah berikan aku kenangan yang tak terlupakan. Kalian memang sahabat terbaikku. Aku belum bisa menemukan sahabat seperti kalian. Aku ingin kita seperti dulu lagi, bersama-sama menciptakan kenangan yang indah lagi seperti dulu.

Aku sayang dan rindu kalian, sahabatku.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat Dari Dinda: Kami Mengkhayal Banyak Hal Di Dalam Penjara

4/11/2019

 
PictureDok. Freepik
Tawa dan tangis menemani obrolan kami setiap malam. Malam ini, seorang di antara kami membuka obrolan, “Tadi gue telepon nyokap, eh nyokap gue lagi arisan di Bandung. Jadi kangen jalan-jalan ke Bandung gak sih, guys?”. Seorang lainnya menjawab, “Gue mah cuma kangen tidur di spring bed ukuran king! Sendirian pula”. Begitulah keluh kesah dari mulut teman-teman saya saat bercerita. Pasti tahu dong bagaimana tidur di atas spring bed empuk, sendirian, ditambah sejuknya AC di dalam kamar. Nah, itu yang paling diidam-idamkan oleh mayoritas penghuni di sini.

Seorang teman yang baru saja bergabung dari lapak seberang nyeletuk, “Enak kali ya mengkhayal lagi di pantai, merasakan sepoi-sepoi angin pantai. Kangen gak sih, lo?”. Yang lainnya menimpali, “Kalau gue sih lebih kangen tidur dipeluk laki.” Sontak semua orang jadi tertawa mendengar banyolan teman kita yang kalau ngomong tidak jauh-jauh dari selangkangan.

Untuk saya sendiri, yang paling saya rindukan adalah kebebasan. Cukup lama saya terkekang oleh kehidupan di sini. Kehidupan yang tidak bebas sama sekali. Mau ketemu nyokap, teman, atau siapapun harus menelpon mereka terlebih dahulu. Lalu bertanya kapan mereka ke sini? Sibuk atau tidak? Gue bahkan pernah memohon supaya mereka bisa mengunjungi gue di sini. Begitu rumitnya jikalau saya ingin bertemu dengan mereka. Iya, kalau mereka memang sedang tidak sibuk dan bisa langsung ke sini, tidak jarang saya diberikan harapan palsu oleh mereka yang katanya, “Iya besok ke sana ya”. Nyatanya, besok mereka tidak datang, ditelepon tidak diangkat. Sedih rasanya. Kalau dulu di luar, mau ketemu mereka, betapapun sibuknya mereka masih bisa janjian bertemu di suatu tempat.

Belum lagi kalau saya lagi ingin makan sesuatu. Kalau di luar, kita bisa langsung datang ke tempat makan yang jual makanannya, pesan dan langsung bisa makan. Makanannya juga pasti masih panas. Nah, kalau di sini harus dipesan dulu makannya. Pesannya juga di koperasi dengan harga yang terkadang bisa tiga kali lipat lebih mahal. Sudah begitu, kita harus menunggu pesanannya datang. Ketika pesanannya sudah sampai di tangan, makannya sudah dingin. Kita tidak bisa makan makanannya ketika masih panas seperti saat di luar penjara. Tapi karena terlalu ingin, tetap kami makan dengan kondisi dingin. 

Akhirnya, saya dan teman saya hanya bisa mengkhayal apa yang kami rindukan dan menunggu sampai kami dapat merealisasikannya suatu saat nanti. Karena, pasti suatu saat nanti itu akan datang.



Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com