ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Nyawa Sisa

10/4/2016

 
Sebastian Partogi
(Wartawan The Jakarta Post)
sebastianpartogi@gmail.com
Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh.
Seumur hidup, tubuhku sudah dipenuhi borok-borok tak terlihat yang sudah mulai mengelupas, berlendir dan dipenuhi belatung. Aku tidak membutuhkan lebih banyak lagi koreng di tubuhku. Daripada aku menunggu untuk menjadi mayat hidup, lebih baik jadi mayat asli sekalian. Kesunyian dan kegelapan yang ditawarkan kematian terlihat lebih menggoda.
Aku berlari untuk memutuskan semua aliran listrik yang menciptakan selubung kepadatan dalam senyawa tubuhku. Aku berlari untuk meluruhkan tubuh fana berisi partikel-partikel subatom berongga hampa ini. Aku berlari menuju kenihilan. Seluruh hidupku hanya berisi kehinaan. Kematian adalah sebuah kehormatan.
***
 
Namaku Reva Situmorang. Sejak dilahirkan, aku sudah merupakan kesalahan. Sialan! Mengapa anak perempuan lagi! Bahkan di tengah pecahnya tangisanku yang memekakkan telingaku sendiri, aku bisa mendengar suara teriakan itu meluncur keluar dari mulut kakekku. Sudah enam kali bikin anak ternyata keluarnya perempuan lagi! Dengar ya, Em, sebelum kau bisa melahirkan anak laki-laki, engkau masih utang terhadap keluarga Siagian!
Lalu aku mendengar suara kakekku berceloteh kembali. Kali ini ia berbicara pada ayahku. Makanya, pikirkan lagi lah, Jong. Apa sebaiknya kau ceraikan saja si Emanuela. Mamak sudah kenal seorang perempuan lain yang bernama Reva. Dia memang sudah agak tua, 34 tahun. Tetapi dia masih lajang dan bersedia menikahi duda yang beranak enam. Daripada dicap tak laku sama keluarganya. Dia bertubuh tambun dan subur. Pasti bisa menghasilkan anak lelaki dengan cepat. Tidak seperti si Emanuela yang sakit-sakitan dan lemah ini, makanya sudah anam kali melahirkan, anam-anamnya pulak menghasilkan perempuan. Makhluk yang tak berharga. Makhluk yang hanya menunggu dituhar!
Kelahiranku adalah sebuah kesalahan. Aku tidak diinginkan.
***
 
Setelah menangis meronta-ronta memohon agar ayah tidak menceraikannya dan berjanji akan memberikan anak lelaki sebagai anak ketujuh mereka, akhirnya ibuku dipertahankan. Mereka mencoba membuat anak lagi. Ternyata laki-laki. Mereka bersorak. Pada akhirnya, setelah enam kali kesalahan, muncullah barang yang diinginkan. Penerus marga Siagian.
Sementara aku diberi nama Reva oleh ibuku, seperti nama perempuan yang nyaris menjadi ibu tiriku. Kamu memang sumber sial. Karena kelahiranmu, ayahmu nyaris dipaksa menceraikan aku dan menikahi si Reva sialan itu! Aku kan hanya lulusan SMP karena orangtuaku menganggap perempuan itu hanyalah barang dagangan yang akan dituhar, lantas untuk apa menyekolahkan tinggi-tinggi. Aku tidak bisa mencari nafkah sendiri. Kalau suamiku menceraikan aku maka matilah aku. Kau, sumber bencana yang membuat nafasku nyaris berhenti saking takutnya! Anak berengsek!
***
 
Adik lelakiku si Bori selalu dimanjakan oleh ayah ibu. Semua keinginannya selalu dituruti. Ini terjadi hingga ia beranjak dewasa. Bahkan ketika ia merusak mobil dinas ayah dengan menabrakannya ke tembok gereja saat sedang mengemudikan mobil di bawah pengaruh alkohol, ia tidak dimarahi (ajaibnya, ia tidak tewas dalam kecelakaan ini).
Sementara aku selalu dimarah-marahi. Dianggap tak tahu diuntung. Kurang ajar! Mengapa kau pecahkan guci kesayangan mamak itu! Jangan banyak tingkah ya! Kalau mamak tahu ternyata keluarnya seonggok daging perempuan yang menyusahkan dan nyaris membuat mamak dicerai, sudah mamak gugurkan kau jauh-jauh hari dengan makan duren!
Aku juga selalu dihina oleh ayahku. Jelek sekali nih anak, kulitnya hitam dan gelap bagai Dakochan. Di keluarga Siagian tidak ada yang kulitnya segelap ini. Gimana mau dijual nantinya? Gimana mau ada keluarga yang memberikan sinamot mahal untuk menuhar dia? Jelek begini!
 
Suatu hari, saat aku berusia 20 tahun, Bori sengaja merobek buku kesayanganku untuk membuatku menangis. Aku marah dan menampar wajahnya. Ia membalas dengan mencekik leherku. Jangan macam-macam, wahai perempuan! Ingat tempatmu! Kamu tidak punya harga di mata kami, selain sebagai pelayan dan mesin pembuat anak! Ia mencekik leherku demikian keras sampai aku meronta-ronta dan memukul-mukul lengannya. Ketika ia sudah puas melihat wajahku yang semakin memerah bagaikan kepiting, ia melepaskan cengkeramannya. Seketika aku muntah.
***
 
Selepas aku lulus SMA, ayah dan ibu tidak mau menyekolahkan aku ke perguruan tinggi karena mereka sudah “kehabisan uang”. Di saat yang bersamaan, mereka tak berhenti membelikan Bori barang-barang mewah: mulai dari mobil terbaru, rumah pribadi dengan kolam renang sampai menyuplai dia dengan uang bulanan (Bori adalah seorang pengangguran. Dia drop out  dari kampus karena pernah ketahuan merokok ganja, setelah itu dia uring-uringan dan menolak kuliah).
Aku memutar akal, memutuskan les bahasa Inggris dan ternyata kemampuanku bagus. Aku kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sebuah tempat kursus di Jakarta. Di sana banyak guru yang bule. Seseorang yang bernama Peter mendekatiku. Dia ganteng, tinggi dan bertubuh gagah, dan sering melemparkan tatapan genit padaku. Lama-kelamaan ia sering mengajakku makan siang dan menghujaniku dengan berbagai rayuan gombal. Sebagai manusia yang tidak pernah diinginkan, memiliki seorang lelaki yang begitu perhatian membuatku mabuk kepayang.
***
 
Aku berjalan keluar dari apartemen Peter sambil menahan sakit di bibirku dan nyeri di sekujur badanku. Tadi, sebelum kami bersetubuh, ia mencium dan menggigit bibirku dengan begitu keras hingga berdarah. Lalu ia menghajarku berkali-kali sebelum akhirnya memerkosa diriku.
***
 
Akhirnya, ada juga lelaki yang mau membayar sinamot untuk menuhar anak jelek ini!
Sudah tiga tahun aku menikah dengan bang Richard. Aku pun telah melahirkan satu orang anak (perempuan) yang bernama Hotna. Sebelum kau melahirkan anak laki-laki, kau masih berutang kepada keluarga Sianturi. Kata-kata yang sama dengan apa yang pernah diucapkan kakekku kepada mama saat aku dilahirkan. Namun tidak mengapa. Bang Richard perangainya sungguh halus, bagaikan perempuan. Ia juga begitu lembut. Tidak apa-apa, sayang, aku masih bisa menunggu. Kalau kamu panik, kamu akan sakit dan akan semakin sulit mendapatkan anak lelaki.
Tidak seperti Peter, bang Richard pun bukan lelaki yang hasrat berahinya menggebu-gebu. Ia tidak terlalu senang berhubungan badan, dan pun ketika sedang melakukannya, kami saling memasuki dengan gerakan yang amat pelan dan lembut.
***
 
Tiba-tiba aku terbangun di tengah malam buta. Aku curiga oleh suara desahan yang liar serta tumbukan yang berbunyi berulang-ulang dari dalam kamar tamu rumah kami. Jangan-jangan ada perempuan lain. Jangan-jangan itulah alasan bang Richard tidak begitu bernafsu saat bersenggama denganku. Dengan mata masih terkantuk-kantuk dan pikiran yang bingung, aku berjalan keluar menuju kamar tamu dan membuka pintunya perlahan. Aku yakin bahwa aku takkan pingsan. Ada perempuan lain dan aku akan minggat malam ini juga untuk tinggal indekos. Pendapatanku sebagai guru les Inggris cukup bisa diandalkan.
Aku membuka pintu. Aku melihat bang Richard sedang bersetubuh...dengan seorang laki-laki. Aku pingsan.
***
 
Diagnosis itu datang dua bulan yang lalu, setahun setelah aku minggat dari rumah bang Richard. Ketika aku mulai curiga dengan kesehatanku dan anakku. Kami jadi sering batuk-batuk dan tak kunjung sembuh. Lebih jauh lagi, ada luka di sudut atas bibir anakku yang tak kunjung kering dan kemudian bernanah. Vonis itu pun dijatuhkan. Aku dan anakku terkena HIV. Kemungkinan dari suamiku yang homoseksual dan sering melakukan hubungan seks tidak aman. Aku menurunkan virus itu pada anakku saat sedang hamil.
Sejak itu, desas-desus cepat bergaung, terutama di gereja. Saat aku dan anakku pergi beribadah, orang-orang senantiasa menatap kami dengan jijik sambil bergumam-gumam... Itu pendosa yang kotor. Pasti doyan seks makanya kena HIV. Ditularkan ke anaknya lagi! Perempuan petaka!
Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku.

Pagi yang Abadi

7/4/2016

 
Bhadrika Dirgantara
bhadrikadirgantara@gmail.com
6 Januari 2016 (Pesan dari Rastri)
Sudah hukumnya, bahwa segala yang terang pasti akan redup, lalu tenggelam dalam gelap. Namun, tak ada hukum yang berlaku bagi seorang Bendhoro. ”Tak boleh ada gelap”, ujarnya. Maka ia memberikan dua pilihan, mati dan seluruh keluargamu mati, atau terus hidup dalam pasungan. Lalu senja datang, dan yang terang pasti menjadi gelap.
 
            Aku terduduk dalam diam. Hening tiba-tiba menyergap. Pesan darimu tak hanya memunculkan sunyi padaku. Nairi pun duduk dalam diam. Tak ada suara. Kami lenyap ditelan bingung.
            “Jadi…”, kalimat Nairi putus-putus, rokoknya terimpit di kedua bibirnya. Mencari korek. Situasi ini membuat kami butuh nikotin. Adiksi ini dapat menyelamatkanmu. “Menurut lo pesan ini maksudnya apa?”
            “Mungkin Bendhoro adalah Dani? Selamanya hidup dalam pasungan berarti Rastri harus tetap berhubungan dengan Dani?” kucoba menjawab. Mencocokkan ini dan itu.
            “Setelah semua yang terjadi kemarin? Setelah Dani mencekik Rastri?”
            “Entah.” Bingung menyergap.
            “Tapi mungkin benar. Dani punya power di sini. Rastri juga pasti bingung,” muka Nairi kusut. Selapis asap tipis dikuarkan.
 
            Ya, Rastri pasti bingung. Aku dan Nairi pun juga bingung. Yang tak bingung mungkin hanya sang Bendhoro. Maka kami berdua diam lagi. Mengisap rokok masing-masing dan bertarung dengan pikiran di kepala. Jadi begini, tadi sore Rastri mengirim pesan pada kami bertiga—Aku, Nairi, dan Arin—bahwa ia mengandung. Anak itu muncul begitu saja tanpa ia duga. Ia memang tak menggunakan kondom, namun ia percaya bahwa hitung-hitungan masa tak suburnya selalu benar. Sekarang mungkin ia salah hitung dan menjadi fatal. Fatal tak hanya karena ia mengandung. Fatal karena ia mengandung anak Bendhoro. Fatal pula karena Bendhoro bukan sekadar laki-laki, ia binatang jantan. Beberapa waktu lalu aku dan Nairi mendapat kabar bahwa Bendhoro menyerbu ke indekos Rastri. Mencekik Rastri atas perselingkuhannya dengan lelaki lain. Tapi bagi Rastri itu bukan perselingkuhan. Toh mereka telah memutuskan hubungan. Namun Bendhoro punya hukum yang berbeda. Ia punya logika yang berbeda. Baginya, Rastri tak pernah putus dengannya, Rastri hanya sedang bingung dan berkencan dengan laki-laki lain. Maka bingung itu bukan berarti hubungan mereka jadi sirna. Perkencanan itulah yang harus dihukum. Cekik-mencekik itu jadi hal yang wajar.
 
            Kini Rastri harus kembali dengan Dani. Dani memberinya dua pilihan yang mengikatnya habis-habisan. Entah apa ia anggap dirinya. Entah pejantan alfa atau ras arya. Dani telah membubuhkan benih pada rahim Rastri. Rastri kini mengandung. Hal itu yang ia jadikan kunci. Maka Rastri harus memilih dan Bendhoro menjadi brengsek: Kuadukan kehamilanmu itu pada keluargamu dan kuceritakan semua detail soal perselingkuhanmu, atau kau terus bersamaku selamanya dan kurahasiakan perihal bayi dalam perutmu itu. Manapun yang dipilih Rastri, ia akan tetap terkungkung dalam jeruji.
 
            “Dulu kita ngobrol soal kedaulatan tubuh perempuan, sekarang tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta,” ujar Rastri kemarin sore. Aku belum paham maksudnya saat itu, namun kini semua menjadi jelas.
            Jeruji itu lamat-lamat jadi nyata. Ah, aku jadi terpikir. Persoalan ini membuat pikiranku melompat-lompat dari urusan ini ke urusan itu, lalu urusan itu ke urusan ini. Aku jadi penasaran: entah bagaimana Bendhoro melihat luka. Buatku sakit tak hanya membekas di tengkuk (bagian itulah yang dicekik oleh Bendhoro). Jika Bendhoro melihat luka dengan cara demikian, maka ia telah menjelma menjadi pejantan yang subtil, meski ia mengaku alfa dan arya. Pilihan yang ia beri membuahkan luka bagimu. Bagaimana tidak, Rastri harus hidup dalam gelap selamanya. Pun tak hanya gelap. Ia terpasung.
            Maka ketika pesan Rastri berbunyi bahwa ia ingin tidur dan menangis di atas bantal, aku dan Nairi sekali lagi ditelan bingung. Sunyi menyergap berkepanjangan.
 
4 Januari 2016
Aku melumat habis sebatang rokok. Dani menenggak segelas ciu jeruk. Kami duduk berdua di kamar yang temaram. Biasanya, lampu kunyalakan seperti ini ketika lelakiku datang dan kami akan merayakan tubuh bersama. Namun sekarang aku duduk di bawah lampu temaram, duduk berdua sebagai sesama laki-laki (mungkin ia pikir aku yang laki-laki ini berbagi hukum dan logika yang sama dengannya) dan akan bicara soal tubuh orang lain. Tubuh temanku sendiri.
 
            “Gua minta maaf dulu nih San sama lu, sama Nai juga, karena udah bikin suasana jadi nggak enak.”
            Brengsek. Tentu kau harus minta maaf, dan yang terpenting, minta maaf pada Rastri. Bukan padaku atau pada Nairi. Toh ia yang kau cekik tadi sore. Tapi aku masih tak menjawab. Hanya menelan habis tubuhnya dengan tatapan.
            “Gua bingung soalnya. Dia bilang dia minta putus, gua belom iyain karena gua pikir dia lagi bingung aja. Tau-tau gua liat dia ada main sama si monyet.”
            Ah, si monyet. Lelaki alfa memang suka merendahkan yang lain.
            “Bukannya lu udah putus?” akhirnya aku bicara. Tentu masih main aman. Semua yang dapat dikorek harus dikorek.
            “Iya dia minta putus. Tapi nggak gua putusin. Ya gua masih sayang sama dia, San. Sayang banget. Tapi ya lu tau sendiri. Ngapain aja dia sama si monyet?”
 
            Aku menggunakan hak tolak. Aku tak menjawab. Kuasa ini tak ada padaku. Biarlah ini menjadi urusan mereka bertiga, pikirku. Biar Rastri dan “si monyet” menyelesaikan urusan ini dengan Dani. Namun kau tahu sendiri, Dani ini barbar. Lebih dari barbar, ia liar. Cekik-mencekik jadi hal yang banal ketika sang perempuan ia anggap binal. Namun itu pun bukan kekerasan. Bukan. (Setelahnya nanti Rastri bercerita bahwa Dani tak pernah minta maaf atas pencekikan itu). Bagi Dani itu penghukuman. Itu tindakan wajar. Toh perempuan itu miliknya.
 
            Belum aku bicara lagi, Dani telah terjatuh. Ciu itu memabukkannya. Ah, biarlah ia tiada bersama ciu itu. Namun ciu yang ia tenggak, bukan baygon atau arsenik. Maka ia akan bangkit kembali dan berulah lagi esok-esok hari. Jadilah, Ia menginap satu malam penuh. Bangun pada pagi hari dan berangkat kerja.
 
11 Januari 2016
Kami telah duduk berempat. Aku, Nairi, Arin, dan Rastri. Empat bungkus rokok bertebar di meja. Wajah-wajah dengan emosi berbeda. Aku bingung. Nairi bingung. Rastri kusut. Arin mencoba tetap bijak. Pertemuan serius seperti ini bukan yang pertama. Ketika orang tuaku tahu bahwa aku homoseksual dan aku dikecam habis-habisan, kami berkumpul. Ketika skizofrenia pacar Arin semakin kambuh dan hubungan mereka semakin membingungkan, kami berkumpul. Tapi aku tak pernah sebingung kali-kali lalu. Aku dan Nairi bertukar pandang sekejap. Kami berbagi rasa yang serupa.
 
            “Jadi, Dani tahu kalau lo hamil?”, Arin membuka obrolan.
            “Iya.” Rastri. Ia membenarkan posisi duduknya.
            “Tahu dari lo?” Nairi.
            “Iya, dari gue”, Rastri.
            Ah, Dani punya satu kunci untuk memanggil senja. Kunci ini sejatinya milikmu. Ia takkan tahu jika kau tak melemparnya ke mukanya. Ah, yang jelata tentu tak dapat tak sopan pada Bendhoro. Jadi, baiklah, kunci yang kau miliki ini takkan ia ketahui keberadaannya tanpa kau berikan padanya. Pengetahuan tentang kunci ini sejatinya hanya milikmu. Lalu kenapa kau bercerita….
            “Itu kesalahan gue yang nggak gue pikirin dulu lebih jauh..”
            Mata itu berair. Ada sejentik yang mulai menitik.
            “Hubungan lo udah nggak sehat dari lama, Ras”, Arin memantik kreteknya, “Dani sempat nge-chat gue. Ngobrol panjang. Dia bilang kalo lo berdua nggak pernah putus, nggak peduli apa yang lo bilang.”
            “Nah itu kan. Kalau kayak gini, nggak akan pernah putus sampai dia bilang iya. Tapi kapan?”
            “Gue makin nggak paham sama logika Dani. Buat apa dia tetap pertahanin lo? Toh lo udah nggak ada rasa lagi sama dia.” Nairi mulai bicara.
            “Buat gue, Dani kayak sanggama sama mayat. Kayak laki yang sayang banget sama istrinya, istrinya mati dan mayatnya disimpan, terus selalu disetubuhi tiap malam. Tubuh tetap tubuh, namun ia dingin dan diam. Abadi.”
            “Bedanya ialah mayat tak lagi dapat mengungkap consent, Arin,” ujarku. Lembut.
            “Nah itu dia, Dani nggak mengenal consent. Kemarin dia sempat dateng ke kosan gue, maksa masuk dan ngajak ngobrol.”
            “Ke kosan? Kenapa lo nggak bilang kita?” panik itu tak dapat disembunyikan Nairi. Bagaimana tidak? Dua hari lalu Nairi yang mendapat pesan dari Rastri, “Ke kosan. Tolong. Gue dicekik Dani.” Maka Nairi dan aku berlari ke indekos Rastri. Sudah bagai kesetanan.
            “Handphone gue mati,” jawab Rastri. Ah, telepon genggamnya memang seringkali mati karena baterai yang mulai menggendut. Maka ia diceraikan dari dunia pada saat baterainya berulah, “Gue udah bilang nggak mau, tapi dia maksa. Gue ngajak ngobrol di tempat terbuka. Dia masih nggak mau. Jadilah gua dan dia ngobrol di kamar gue, tapi pintu nggak gue kunci.”
            Lalu?
            “Obrolan makin buntu. Gue udah coba sekuat yang gue bisa. Gue udah coba selicik yang gue bisa. Akhirnya dia sempat mau buka paksa celana gue. Gue udah bilang nggak mau tapi dia tetap maksa. Jadilah gua teriak nggak mau dan nendang dia. Dia mundur, tapi gue nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”
 
            Temanku akan diperkosa. Ini dia yang sering aku lihat di berita: sang perempuan akan diperkosa, namun publik tak percaya. Toh si perempuan mengizinkan ia masuk kamar, begitu mungkin kata orang-orang. Tapi ada hal yang tak kau pahami. Tubuhnya tumbuh dengan cerita yang berbeda dengan tubuhku dan tubuhmu. Apa yang tak kau rasa sendiri dengan tubuhmu tak dapat kau sergap dengan nalar begitu saja. Pengalaman yang berbeda membuahkan respons yang berbeda. Kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Gelap membuatmu redup dan ciut di hadapan kuasa. Sang Bendhoro telah memiliki kunci untuk memanggil senja. Senja yang akan membawamu pada gelap yang abadi. Pernahkah kau bertemu dengan lelaki yang demikian?
 
            Obrolan berlanjut. Aku lebih banyak diam dan mencoba mengumpulkan semua gambar soal Dani yang dipapar Rastri. Ternyata aku salah soal kandungan Rastri. Ini bukan soal Rastri yang terlalu percaya pada hitung-hitungan masa tak suburnya. Ada hal yang baru Rastri ceritakan pada kami. Ini mengubah semua pandanganku soal hitung-hitungan matematis itu. Mereka berdua memang tak mau pakai kondom. Namun Dani tak pernah mau keluar di luar. Rastri menyuruh Dani keluar di luar, tapi Dani tak mau. Maka kehamilan itu beberapa kali terjadi. Dulu Dani mematikan janin itu. Diaborsi saja, katanya. Itu beberapa kali. Namun kini ia menyuruh Rastri bertanggung jawab. Tahi kucing, ketika kau akan kehilangan kuasa, janin itu bahkan kau renggut untuk kuasa barumu. Maka Rastri diberi dua pilihan. Sialan memang, Dani pikir dirinya siapa? Seenaknya memberi pilihan begitu saja. Tuhan? Ah, bahkan tuhan menyediakan lebih banyak pilihan. Termasuk untuk tidak yakin akan kehadirannya. Namun Dani bukan tuhan. Ia merasa dirinya pejantan alfa dari ras arya. Kau harus takluk dan beriman padanya. Maka pilihannya dua, kuadukan kau pada bapakmu atau terus bersamaku. Dua-duanya sama saja. Jika bapak Rastri tahu tentang anak mereka berdua, mereka akan dikawinkan. Jika mereka bersama selamanya, mereka kawin. Dua-duanya berujung kawin. Bedanya yang satu keluarganya jadi hancur, yang satu tidak. Namun keduanya menghancurkan Rastri. Tubuhnya direnggut oleh pilihan.
 
            “Ya ini semua kan pilihan Rastri. Rastri sudah memilih dan ini semua konsekuensinya. Dani juga punya pilihan sendiri.” Dani membela diri. Ujaran ini ditiru oleh Rastri dan kami bertiga menguarkan komentar yang sama: sakit.
            Lalu kami bicara soal kunci yang harus menjadi entas. Toh jika kunci itu telah raib, Dani tak lagi punya bukti untuk menjebak Rastri dalam jeruji.
            “Gue percaya lo pasti kuat dan bisa”, Arin.
            Lalu. Lalu kami bicara lagi soal Dani. Tentang kuasa yang ia rasa ia miliki. Betapa obrolan ini melompat dari yang satu ke yang lain.
           
Ah, ini dia pertanyaanku untukmu. Mengapa Bendhoro dapat menjadi Bendhoro? Tidakkah ia menjadi Bendhoro karena rakyatnya tetap duduk tanpa kuasa? Kuasa jadi alat Bendhoro sebagaimana hukum menjadi alat negara. Tapi negara itu raksasa. Ia sebesar alamosaurus dan tak mungkin kau tumbangkan begitu saja. Bendhoro bukan raksasa. Ia bukan dinosaurus. Lantas mengapa ia tetap punya kuasa? Mengapa ia tetap dapat mempertahankan malam? Mungkin kau memang tinggal di belahan bumi yang berbeda sehingga gelap terus memasungmu. Mungkin ini semua bukan karena Bendhoro. Mungkin Bendhoro hanya manusia biasa tanpa kunci untuk memanggil gelap. Semesta mungkin membuatmu maujud pada kondisi yang ajaib. Mungkin kau berjumpa dengan gelap ketika kau ada di kutub bumi. Bayangkanlah, setengah tahun tanpa sinar matahari. Kau sepenuhnya menjadi abdi gelap. Atau jangan-jangan?
 
            Jangan-jangan, gelap bukan tiba karena kau bertemu senja. Jangan-jangan, kau bersembunyi di balik lemari dan mematikan lampu. Byar. Gelap seketika. Bendhoro pun dapat berjalan sesuka hati dalam rumah yang terkunci. Kuasanya terejawantah lagi. Toh tak ada orang yang melihat. Toh tuhan memilih untuk diam dan semesta tak menjawab apa yang kau minta. Namun siapa itu tuhan dan semesta? Bukankah dirimu?
Lalu kau bicara hukum. Hukum alam? Yang terang, kau bilang, akan menjadi gelap pada waktunya. Dan yang gelap akan kembali terang saat pagi menyapa. Namun pagi sekalipun takkan bisa menembus tirai dan lemari. Gelapmu akan jadi abadi ketika kau hanya berkejaran dengan Bendhoro dalam rumah gelap. Jadi pertanyaannya sebuah: bagaimana kuasa dapat ada di tangan Bendhoro?
 
            “Gue setuju sama Ikhsan dan gue pernah ngobrolin ini berdua.” Nairi, “Lo harus berhenti buat dia merasa nyaman. Berhenti kontak dia, berhenti respons dia, berhenti buka pintu buat dia. Kalo lo khawatir soal kehamilan lo yang bakal dia laporin, lo bisa gugurin dan dia nggak punya bukti”
            “Dan lo ngomong dulu sama keluarga lo soal Dani. Biar dia nggak punya back-up,” Arin, “kan dia dekat tuh sama bapak lo.”
            Ya. Entaskanlah apa yang dapat menjadi entas. Dengan cara itu kau akan jadi sintas.
            “Iya. Gue lagi usahain biar dia gugur.”
            Lalu obrolan berputar kembali. Rastri berdiri dan memeluk Arin. Lalu memelukku. Lalu memeluk Nairi. Mata itu berair lagi. Rintik-rintik menitik.
 
Malamnya Arin pulang, menjemput ibu. Aku, Rastri, dan Nairi kembali ke indekosku: persinggahan kami tiap malamnya. Lalu sampai. Nairi berganti baju dan berbaring di peraduan. Pulas seketika. Aku dan Rastri menyalakan rokok terakhir malam itu. Ada hal yang hanya kami obrolkan berdua. Bukan cerita atau narasi baru. Bukan pula detail yang sengaja dilewatkan. Hanya mengulang apa yang telah diceritakan. Sekejap kontemplasi.
            “Inget omongan gue soal kedaulatan tubuh?”
            “Ya.”
            “Tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta. Kedua pilihan ini sama-sama memasung.”
            Buatku yang hidup dengan tubuh yang berbeda, mungkin tak dapat kurasakan apa yang kau rasakan. Namun. Namun, buatku, apa yang disarankan Arin dan Nairi dapat membebaskanmu.
            “Iya, gue akan usaha, makasi..”
            Ujaran itu terputus. Pesan masuk ke telepon Rastri. Dari si brengsek.
            “Kamu dmn? Masih sama mereka bertiga?” Bahkan ia masih bertanya pada pukul 12 kurang. Hari akan berganti. Aku memandang Rastri. Ia memandang mataku balik. Pesan itu belum dibuka, hanya ia baca dari notifikasi yang melompat ke layar. Akankah kau balas?
            Ras, buatku, kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Ia bermusuhan dengan gelap, keduanya bisa saja berkelindan pada waktu-waktu sublim. Waktu yang digunakan untuk lelembut berkeliling desa dan orang-orang berkopiah menangis di depan tuhan. Entah pukul dua, entah pukul tiga. Keduanya bisa saja berkelindan. Ada waktu-waktu yang tak dapat kau tentukan batasnya. Mana gelap dan mana pagi. Namun keduanya saling melumat satu sama lain. Gelap memasungmu. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Matahari akan menerangi jalanmu dan buta menjadi sirna. Ketiadaan cahaya tak lagi menggerayangimu, toh ia telah hilang tersirap pagi. Akan tetapi, akankah pagi datang? Ini semua kembali padamu.
 
            Tapi tentu kau tak sendiri. Kami akan membantumu tetap berdiri dan berlari. Kami telah kenal dengan si bedebah ini. Ia merenggut ketubuhanmu. Ia merampas kebebasanmu. Ia memberikan pilihan yang keduanya memasungmu. Ia mencoba memerkosamu. Cekik-mencekik yang bagimu kekerasan yang binal, baginya penghukuman yang banal. Usaha membuka celanamu yang kau yakini sebagai percobaan pemerkosaan, ia anggap sebagai upaya untuk mencapai apa yang jadi miliknya. Ia tak mengenal consent. Ia melanggar privasimu. Ia jelata subtil yang berpikiran sumir, namun baginya ia pejantan alfa dari ras arya. Lantas mengapa kau harus bertahan? Toh kunci itu akan segera entas.
 
            “Nggak gue bales ya”, ujar Rastri. Mantap. Tak ada ragu melintas.
            Aku mengangguk. Akhirnya.
 
Selesaikah masalah? Itu pun yang aku tak tahu. Kita semua mungkin telah terjebak pada labirin tak berujung ini. Buntu bagi kita semua. Mungkin gelap itu memang akan meninggalkanmu dalam jeruji. Mengungkungmu dalam pasungan yang bahkan tak dapat kau buka oleh ciptamu.
            Atau.
            Atau mungkin Bendhoro memang seorang yang sakit. Ia akan berkali-kali muncul lagi dan berkali-kali harus kita tepis lagi. Mungkin ia memang akan terus mengejarmu dan menjadikanmu liyan dari dirimu sendiri. Mungkin ia takkan paham bahwa tubuhmu menguarkan cerita tentang yang tak kau ingini.
            Atau.
            Atau kau berhasil keluar dari labirin ini. Ujungnya tak pernah terlihat karena gelap dulu senantiasa menyergap. Namun kau telah memanggil fajarmu sendiri. Maka. Maka larilah. Selamatkanlah. Di ujung jalan itu, kutunggu undangan darimu: pemakaman kuasa Bendhoro di bawah pagi yang abadi.
            Atau.
 
Cerita pendek ini saya tulis untuk seorang teman yang namanya saya sulap menjadi Rastri. Saat saya menulis ini, Rastri sedang berusaha mengentaskan kunci “Bendhoro” dalam tubuhnya dan bicara pada keluarganya soal segala perlakuan “Bendhoro” padanya agar ia dapat berdaulat kembali atas tubuhnya. “Bendhoro” masih menjadi brengsek dan mencoba segala cara agar Rastri dapat menjadi miliknya kembali. Semoga Semesta memberkati segala hal yang adil; bagi saya, pembebasan Rastri pada pagi yang abadi ialah hal yang niscaya. 

Black Box

4/4/2016

 
Hikmat Gumelar
Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor. Pernah kuliah di Universitas Padjajaran Bandung serta aktif di dunia penulisan dan penerbitan.
Depan pagar putih 1,25 m x 1 m, Surti berhenti. Ia lihat lagi arloji. Dua kurang seperempat. Tapi mustahil masih jaga. Biasa juga paling telat jam sepuluh sudah masuk kamar. Surti pun menghembus nafas panjang. Hati-hati buka pintu besi. Sukses tanpa derit. Ia lalu buka pantopel. Sijingkat ke pintu muka. Memutar anak kunci. Pun hati-hati. Klik. Daun pintu putih didorong pelan. Surti terkesiap. Cahyaning ternyata tengah duduk di sofa. Dan di ujung dekat pintu kamarnya.
“Kok ibu masih merajut?”
 
Jam dinding berdetak nyaring.
“Kenapa itu?”
Surti menunduk. Jalan lurus empat langkah. Belok kanan ke kamarnya sambil agak buang muka ke ruang tengah. Ibunyamenguntit dengan kornea gerak ke kanan hingga mencapai sudut kelopak. Ia letakkan rajutan sweeter yang baru mulai. Jalan dua langkah. Tegak di pintu. Surti tengah membuka blazer ungu. Cermin meja rias memperlihatkan wajahnya.
“Tadi pagi matamu tidak seperti itu.”
 
Sambil memasukan blazer ke tempat cucian, Surti buka mulut,
“Polisi.”
“Polisi?”
Surti mengiyakan sambil menyalakan kipas angin yang berdiri antara tempat tidur dan meja rias. “Apa yang aneh?”
“Kok apa yang aneh?” lontar sang ibu sambil melangkah dan lalu duduk di sudut kasur.” Pulang dini hari.  Dan dengan itu. Kelopak matamu. Bengkak dan lebam. Dan itu karena polisi. Itu apa tidak ganjil?”
“Polisi kan memang begitu pekerjaannya. Bikin muka orang benjol.”
“Apa yang telah kau lakukan, Nak? Apa kesalahanmu?”
“Ibu gimana si? Apa yang dipukuli itu selalu yang salah, selalu yang berdosa? Buka dong jendela. Lihat dunia. Jalanan serba macet. Penuh teror. Manusia rontok digerus horor. Krrrrrek! Krrrrrrrek! Neraka!”
“Astagfirullah.”
 
“Ibu tahu kan Munir mati diracun? Ibu tahu kan Munir tak Cuma hidup untuk keluarganya? Rayuan-rayuan hidup serba mudah. Mewah. Megah. Wah. Dia tolak. Ditempuhnya jalan yang langka ditempuh orang. Jalan sepi dan perih. Dengan motor bebek tua, si ringkih penyakitan itu menempuh labirin gelap. Mencari-cari orang hilang. Membongkar penculikan. Mengejar para jagal. Menumbangkan ketakutan. Menguburkan keputusasaan. Menumbuhkan keberanian, harapan, impian.”
 
“Hiya, hiya. Orang bilang begitu. Tapi matamu itu. Kenapa?”
“Tuan Presiden berbusa. Janji akan ngusut tuntas kasus itu. Dan itu diuarkannya di muka publik. Tapi nonsens! Lihat saja. Yang diadili seorang pilot. Cuma seorang pilot. Dia memang piawai menerbangkan pesawat. Tapi pembunuhan di langit Hungaria itu bukan tindakan kriminal di terminal. Mustahil dilakukan seekor cacing. Maka buruh pabrik, tukang ojek, seniman, mahasiswa, dosen, wartawan, dan sebagainya, menyatu. Berduyun ke istana. Demo. Kelewatan kalau Surti cuma mencari dan membetulkan kalimat yang bengkok. Yang bengkok dalam hidup kan harus juga diluruskan. Masa Cuma duduk. Melamun. Ga malu apa?”
 
“Astagfirullah. Sadar, Nak.
Eling.”
“Justru karena sadar, Bu. Justru karena eling, Surti ikut.”
“Tapi kamu lain.”
“Lain?”
“Hiya. Kamu lain.”
“Apa maksud Ibu?”
“Lho. Masa kamu lupa. Kamu beda dari mereka. Kamu kan anak- anak.”
“Astaga! Hantu itu! Bu, jangan kira Surti tidak tahu. Surti tahu kok masa lalu kita. Orang sudah ribuan kali bilang. Tengah malam itu seorang lelaki yang dituduh PKI diburu. Dia masuk Kebun Kacang, kampung kita dulu. Bapak kaget dengar sepatu-sepatu lars. Bangun. Keluar. Ditangkap. Dituduh PKI. Dan hilang sampai sekarang. Kita selamat. Malam itu kita nginap di Pasar Minggu, di rumah Bude Mar yang mau menikahkan mbak Indah. Besoknya, saat Surti ke pasar sama Bude Mar, Pak Yono datang. Membisikkan kabar itu. Ibu lantas pulang. Tiga hari kemudian, berulang. Sepatu-sepatu lars menyerbu tengah malam. Pagar roboh. Pintu digedor. Ibu dituduh Gerwani. Ditangkap. Diangkut truk. Tujuh tahun hidup dari bui ke bui. Begitu kan. Surti bukan lagi anak bau minyak telon, Bu.”
 
“Ya! Ya! Kamu sudah besar. Sudah sarjana. Sudah menerjemahkan banyak buku. Tapi ngerti apa kamu tentang masa lalu itu? Enteng betul kamu katakan itu. Sepertinya itu dongeng kancil dan mentimun. Lihat. Baju hangat. Sweeter. Sekarang memang tengah malam. Tapi siang hari pun sama. Aku selalu begini. Dibungkus sweeter dan baju hangat. Padahal ini Jakarta. Hawanya hawa dari tungku menyala. Ikan pari! Seluruh badanku rusak dicambuk ekor ikan pari! Kemudian ini. Kaos kaki ini. Kamu lihat siang malam sama. Aku selalu memakainya juga. Memang kakiku tak sampai ditembak seperti kaki tawanan lain. Tak sampai digergaji seperti kaki beberapa dari mereka. Tapi serdadu bunting. Serdadu busung. Meja. Dua serdadu bunting dan busung itu. Duduk di atasnya. Duduk di atas meja yang dua kakinya menekan dua jempolku. Mereka belum puas. Tang. Satu demi satu. Berkali-kali. Tang. Tang. Mencabuti kuku-kuku kakiku! Masih belum puas juga. Air keras! Air keras! Dan ingat. Kapan itu. Aku minta cincinmu dilepas. Kamu marah. Aku juga. Bahkan lebih. Lebih dari marah. Tapi tidak bisa. Dua cincin tembaga. Kancing-kancing baju dibuka. Satu demi satu. Juga beha. Kabel melilit dua cincin tembaga. O, Gusti. Mereka lingkarkan itu di sini. Di kedua puting susuku! Dan stop kontak ditekan. Listrik pun ngalir! Arrrg! Arrrrrg! Serdadu bau arak tiba-tiba datang. Matanya mata burung hantu. Terus nusuk susuku. Aku diseret ke gedung tempat selusin serdadu mabuk. Botol berserak. Salah seorang memecahkannya. Prang! Beling berhamburan. Serdadu itu megang leher botol pecah. Menghampiriku. Menempelkannya ke urat leherku. Memaksaku berdiri di atas meja. Memaksaku buka seluruh pakaian. Tanganku gemetar. Ujung botol pecah tambah nekan. Satu demi satu pakaian jatuh. Serdadu lain ambil celana dalamku dengan ujung bedil.
 
“Revolusi! Revolusi belum selesai!”
Aku nunduk. Jantung seperti pecahan botol itu. Remuk digerus sepatu lars.
“Kami sudah lama ndak ketemu istri. Ndak goyang. Kamu pasti ngerti kan. Wuiih! Itu lebih berat dari sekarat. Nah, biar sama rata sama rasa. Iya toh. Hiburlah kami. Coba mainkan tarian harum bunga.”
 
Aku seperti disambar geluduk. Tubuhku rasanya hangus.
 
“Ayo, Sundal! Apa mau dikremus? Mainkan yang kamu mainkan di Lubang Buaya itu! Bikin lagi pesta itu di sini! Hei, Sundal! Kamu congek, ya. Mainkan tarian harum bunga itu!”
 
Gigiku tambah kuat gigit bibir hingga berdarah. Tetesannya bikin meja jadi hamparan bara. Aku berdiri atas bara. Tawa dan celetukan jorok meniupinya hingga nyala. Lidah api jilati betis. Paha. Selangkangan. Tapi salah seorang tiba-tiba menyuruhku turun. Aku hembuskan nafas panjang. Tapi aku lantas disuruh merangkak ngitari ruangan berdinding kayu itu. Aku pun merangkak. Berulang pantat ditendang. Aku terus merangkak.
 
“Stop! Sapi juga bisa capek. Iya toh. Nah, sekarang berdiri. Berdiri ngadep dinding. Sesiku. Sesiku dari dinding kataku! ¨
 
Aku pun manut. Aku tidak ngerti apalagi yang akan mereka lakukan. Kepalaku balon. Kosong. Tiba-tiba suara desing lewati dua daun telingaku. Dan di depan mataku, nancap dua pisau! Dua pisau nancap! Aku jatuh. Tidak ngerti berapa lama aku pingsan. Aku hanya ingat aku siuman karena badan sangat dingin. Gatal-gatal. Bau memualkan nusuk hidung. Mata perlahan terbuka. Lantas terbelalak. Sekujur badan kuyup bubur tinja! Bubur tinja! Aku muntah. Dua serdadu terbahak. Ludahnya mucrat melumur mukaku. Mereka lantas menyeretku ke ruang lain lagi. Ditaruh di kursi. Tanganku diikat di belakang. Kakiku diikat pada dua kaki kursi. Diikat tambang injuk. Dua serdadu tadi tegak di samping kiri dan kananku. Dua ujung bedil nekan dua pelipisku. Dor! Dor! Pelipisku bolong. Nyawaku putus. Begitu kukira. Tapi tidak. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang tahanan dibawa masuk. Tahanan yang mukanya sudah hancur itu, ditelanjangi. Disuruh telentang. Disuruh ngangkang. Dan tujuh serdadu seperti binatang. Tidak. Bukan ‘seperti’. Lebih dari binatang. Gantian merkosanya! Perutku yang sudah tiga bulan ngandung terasa sakit. Sangat sakit. Aku tak ingat persisnya. Darah tiba-tiba ngalir dari selangkangan.
 
Itu belum sudah. Itu baru saat diinterogasi. Bagaimana 11 tahun hari-hari dalam bui? Dan dari mana malapetaka itu? Anak buah bapakmu getol bolos. Jarang ngajar. Ngajarnya pun tak karuan. Malah banyak murid SMP itu digamparnya. Guru lain ngadu ke bapakmu sebagai kepala sekolah. Bapakmu yang sebetulnya sudah tahu, mengingatkannya. Dia bukan nerima. Malah dendam. Itu yang membuat bapakmu di-PKI-kan. Setelah itu, di ruang tamu rumah dulu, dia minta aku jadi istrinya yang kedua. Tentu aku nolak. Dia mendesak. Membual akan ceraikan istrinya. Bualan itu dilontar sambil megang tanganku. Aku sontak menamparnya. Dia marah. Nubruk. Aku berkelit. Mukanya membentur pegangan kursi.
 
“Ingat! Saudaraku petinggi. Kamu teriak, nasibmu akan seperti suamimu!”
“Aku tak peduli. Teriak. Dia takut. Ngacir sambil mendesis, awas kamu!”
“Kamu tidak tanya kenapa si Yono pagi sekali datang ke Pasar Minggu? Dari mana dia tahu tengah malam bapakmu ditangkap padahal rumahnya jauh?”
“Surti tahu. Surti tahu siapa Pak Yono. Dia yang membuat para serdadu itu menangkap bapak dan ibu. Yang membuat hidup kita melata. Karena itu, waktu awal kuliah, Surti sudah bulat mau bunuh dia. Tapi waktu wudhu di mesjid kampus, tiba-tiba Gandhi membayang. Matanya yang teduh berkata, “Jika satu mata dibayar satu mata, seluruh dunia jadi buta.” Surti tidak tahu kenapa tiba-tiba begitu. Surti Cuma merasa mata perlahan terbuka. Niat membunuh perlahan padam. Tapi Soekarno benar. Jasmerah. Maka gelap harus disingkap. Kebenaran terungkap. Keadilan tegak. Untuk itulah, Surti pun ikut turun ke jalan.”
 
“Tapi kamu jangan lupa dua orang tuamu.”
“Sama Ibu. Sama Bapak. Gimana bisa lupa? Gila apa.”
“Kalau gitu, mestinya kamu sadar kamu beda.”
“Astaga! Ke situ lagi. Keadaan sudah berubah. Sekarang bukan 65, 2005.”
“Kamu ngotot mendesakkan keadaan sudah berubah. 1965 jadi 2005. Itu perubahan angka-angka. Keadaan tidak. Yang berubah itu cuma angka-angka. Masa lalu itu bukan angka-angka yang ditulis anak-anak di pasir pantai. Masa lalu itu akar sebuah pohon. Menentukan batang. Menentukan dahan. Menentukan ranting. Menentukan daun-daun. Tapi akar itu pun ditentukan tanah. Nah, bagaimana tanah saat ini? Tiap sejengkal saja keluar rumah, orang-orang hujamkan anak panah. Bahkan di dalam rumah, badanku selalu dirajam. Serdadu tidak pernah mati. Mereka terus hidup. Berbiak. Gelayutan di bulu mata. Teriak-teriak mukuli gendang telinga. Loncat-loncat di atas perut. Mondar-mandir keluar masuk selangkangan. Merogoh jantung. Merogoh hati. Mengiris-ngirisnya. Puluhan tahun begitu. Itulah sejarah! Itulah kebenaran! Dan itu baru secuil! Dan itu mustahil.
 
“Ceritakan! Jangan henti! Ayo terus! Harus! Kamu harus terus! Uuuwaah! Huuuuh! Aku tak tahan lagi. Tapi mereka tak peduli. Mereka terus maksa aku mengatakan yang sama sekali tak kutahu. Terus maksa aku mengatakan yang mereka mau. Aku tak tahan lagi. Sangat ngeri. Apalagi satu malam, Kah, itu. Botol! Botol! Mereka mau masukan benda itu ke selangkanganku. Aku mendengking. Begitu saja satu alamat kusebut. Aku tahu mereka. Tapi mereka tak mengenalku. Begitu. Begitu saja kukatakan. Dan memang. Mereka tak mengenalku. Aku juga. Tapi, mereka itu seorang ibu dan bayi dalam gendongannya. Mata keduanya itu merah.
 
“Astaga!”
“Iya, Nak. Maaf. Maafkan dosa ibumu.”
“Ibu nunjuk juga? Gila!” Surti bangkit dari kursi. Lari. “Ibu lebih jahat dari Pak Yono!”
 
Cahyaning bangun sambil memanggil Surti. Tapi pintu muka keras dibanting. Ia memburu. Keluar. Mengejar. Mengejar sambil terus memanggil-manggil si anak semata wayang. Anjing menyalak. Anjing lain menyahut. Anjing-anjing saling sahut-sahutan. Orang-orang terjaga. Beberapa keluar. Cahyaning tak peduli. Mereka bisik-bisik. Cahyaning terus mengejar anaknya hingga terpeleset di mulut gang. Kepalanya membentur bak sampah. Ratusan kembang api tiba-tiba mewarnai langit jelang subuh. Sekalian lantas raib. Gelap.**

Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 44, 2005

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com