Undangan Menulis
TOR JP 97
Tenggat tulisan 26 Maret 2018
Tenggat tulisan 26 Maret 2018
Perempuan dan Hukum Pidana
Pengantar Masalah
Isu terkait hukum pidana mencuat akhir-akhir ini seiring dengan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rancangan Undang-Undang yang tengah dibahas DPR dan pemerintah tersebut mengundang penolakan sejumlah elemen masyarakat karena dinilai mengekang kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalkan setiap warga negara, terlebih perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marginal. Upaya menyusun KUHP baru telah digagas lebih dari setengah abad silam dalam Seminar Hukum Nasional tahun 1963. Perubahan atau KUHP yang baru dibutuhkan karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan di dalamnya terdapat banyak aturan yang represif warisan dari watak rezim kolonial. Alasan lain dibutuhkannya hukum pidana yang baru muncul karena perkembangan zaman dan adanya kebutuhan untuk memasukkan aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.
Gagasan tentang perlunya KUHP Nasional kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan tim perumus RUU KUHP. Pada 1993 tim perumus menyerahkan naskah lengkap RUU KUHP kepada Ismail Saleh, Menteri Kehakiman saat itu. Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, RUU KUHP tidak mengalami kemajuan, tidak ada perubahan substansial. Ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman, pembahasan RUU KUHP kembali berlanjut dan dihasilkan RUU KUHP tahun 2000 yang merupakan revisi atas RUU KUHP tahun 1993. RUU KUHP 2000 tersebut mendapat kritik dan masukan hingga kemudian direvisi dan pada Januari 2005 diserahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin. Pada Februari 2005 DPR dalam sidang paripurna menyetujui Program Legislasi Nasional dan RUU KUHP termasuk satu diantaranya. Namun baru pada 2013 DPR melakukan pembahasan RUU KUHP secara intensif. Pada 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah untuk membahas RUU KUHP (Elsam 2005, reformasikuhp.org 2015, tempo.co 2018). Saat ini sejumlah pasal belum disepakati antara pemerintah dan DPR, salah satunya pasal tentang perbuatan cabul. Sementara pasal tentang perluasan zina dan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah telah disetujui dalam pembahasan di tim perumusan dan tim sinkronisasi. Masa kerja Panitia Kerja RUU KUHP pun diperpanjang, pembahasan dilanjutkan dan ditargetkan selesai sebelum akhir April 2018.
Tujuan untuk memiliki Hukum Pidana yang lebih baik dari KUHP warisan kolonial Belanda tampaknya belum dapat terwujud. RUU KUHP yang sedang dibahas saat ini masih mengabaikan kepentingan perempuan dan kelompok marginal. Hal ini dapat dilihat terutama pada bab yang mengatur tentang kesusilaan, seperti pasal tentang zina, pemerkosaan, perbuatan cabul, perdagangan perempuan dan anak, berkeliaran untuk tujuan melacur, akses terhadap informasi dan layanan kontrasepsi, dan pengguguran kandungan atau aborsi. Pasal-pasal tersebut pada dasarnya terkait dengan otoritas tubuh dan seksualitas perempuan, sehingga suara dan pengalaman perempuan seharusnya menjadi pertimbangan dalam penyusunan aturan. Penempatan pasal kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan dan perdagangan perempuan dan anak dalam bab kesusilaan akan mengaburkan hakikat dari tindak pidana tersebut dan mereduksinya sebagai masalah pelanggaran rasa susila dan kesopanan masyarakat. Sementara tindak pidana tersebut sesungguhnya merupakan bentuk serangan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Selain itu, pengaturan perilaku seksual warga negara dengan standar moral yang bias gender, kelas, etnis dan keyakinan berpotensi mengkriminalkan kelompok rentan.
Terkait hukum, para ahli hukum feminis telah mengkritik netralitas hukum yang dipandang tidak mampu mengenali pengalaman perempuan terlebih melindungi kepentingan perempuan. Ideologi netralitas hukum tidak peka terhadap fakta perbedaan yang ada dalam masyarakat. Prinsip persamaan dan perlindungan hukum yang dikatakan sebagai netral sesungguhnya didasarkan pada standar nilai laki-laki. Hal ini mengingat hukum pada mulanya dibuat untuk mengatur urusan yang terjadi di ranah publik, dan di dalam sejarah, wilayah publik didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian hukum hanya mengenal pengalaman di wilayah publik, artinya pengalaman laki-laki. Hal ini mendorong para sarjana hukum feminis untuk mengembangkan teori hukum feminis (feminist legal theory) atau disebut juga sebagai pendekatan hukum berperspektif feminis (feminist jurisprudence). Pendekatan ini memberikan kritik pada tataran teoretik terkait interaksi antara hukum dan gender sekaligus menggunakan perspektif feminis dalam tataran praksis dengan menerapkannya dalam lingkup keluarga, lingkungan kerja dan kasus-kasus pidana untuk mendorong reformasi di bidang hukum.
Terkait hukum pidana, para ahli hukum feminis membongkar adanya diskriminasi dalam hukum pidana terhadap perempuan yang menjadi terdakwa atau ketidakmampuan hukum pidana untuk memberikan perlindungan yang layak bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kritik feminis terhadap hukum pidana berfokus terutama pada area yang membutuhkan perhatian seperti pemerkosaan dan prostitusi. Dalam perkembangannya para feminis menemukan bahwa bahkan dalam pasal atau aturan hukum pidana yang tidak secara langsung terkait dengan pembedaan jenis kelamin (seperti pasal/aturan tentang prostitusi) atau terkait dengan isu krusial bagi perempuan (seperti pasal/aturan tentang pemerkosaan) juga didasarkan pada asumsi tentang gender. Akibatnya, meski tampak netral gender, namun perumusan dan penerapan hukum pidana pada kenyataannya mungkin mendiskriminasi perempuan atau memperkuat stereotip tentang perilaku perempuan dan laki-laki yang sesuai. Para feminis juga berfokus pada soal kekerasan dalam rumah tangga (Nicolson & Bibbings 2000). Di Indonesia, upaya yang dilakukan feminis untuk mendorong hukum pidana yang ramah perempuan terwujud antara lain dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam konteks pembahasan revisi KUHP yang tengah bergulir dan disinyalir mengabaikan suara, pengalaman juga kepentingan perempuan dan kelompok marginal, maka penting untuk melakukan kajian tentang perempuan dan hukum pidana. JP97 akan mengkaji persoalan perempuan dan hukum pidana dari matra filsafat, hukum, kriminologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dan politik.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP96 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 26 Maret 2018 dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi Pemred [email protected] atau [email protected]
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Isu terkait hukum pidana mencuat akhir-akhir ini seiring dengan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rancangan Undang-Undang yang tengah dibahas DPR dan pemerintah tersebut mengundang penolakan sejumlah elemen masyarakat karena dinilai mengekang kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalkan setiap warga negara, terlebih perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marginal. Upaya menyusun KUHP baru telah digagas lebih dari setengah abad silam dalam Seminar Hukum Nasional tahun 1963. Perubahan atau KUHP yang baru dibutuhkan karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan di dalamnya terdapat banyak aturan yang represif warisan dari watak rezim kolonial. Alasan lain dibutuhkannya hukum pidana yang baru muncul karena perkembangan zaman dan adanya kebutuhan untuk memasukkan aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.
Gagasan tentang perlunya KUHP Nasional kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan tim perumus RUU KUHP. Pada 1993 tim perumus menyerahkan naskah lengkap RUU KUHP kepada Ismail Saleh, Menteri Kehakiman saat itu. Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, RUU KUHP tidak mengalami kemajuan, tidak ada perubahan substansial. Ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman, pembahasan RUU KUHP kembali berlanjut dan dihasilkan RUU KUHP tahun 2000 yang merupakan revisi atas RUU KUHP tahun 1993. RUU KUHP 2000 tersebut mendapat kritik dan masukan hingga kemudian direvisi dan pada Januari 2005 diserahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin. Pada Februari 2005 DPR dalam sidang paripurna menyetujui Program Legislasi Nasional dan RUU KUHP termasuk satu diantaranya. Namun baru pada 2013 DPR melakukan pembahasan RUU KUHP secara intensif. Pada 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah untuk membahas RUU KUHP (Elsam 2005, reformasikuhp.org 2015, tempo.co 2018). Saat ini sejumlah pasal belum disepakati antara pemerintah dan DPR, salah satunya pasal tentang perbuatan cabul. Sementara pasal tentang perluasan zina dan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah telah disetujui dalam pembahasan di tim perumusan dan tim sinkronisasi. Masa kerja Panitia Kerja RUU KUHP pun diperpanjang, pembahasan dilanjutkan dan ditargetkan selesai sebelum akhir April 2018.
Tujuan untuk memiliki Hukum Pidana yang lebih baik dari KUHP warisan kolonial Belanda tampaknya belum dapat terwujud. RUU KUHP yang sedang dibahas saat ini masih mengabaikan kepentingan perempuan dan kelompok marginal. Hal ini dapat dilihat terutama pada bab yang mengatur tentang kesusilaan, seperti pasal tentang zina, pemerkosaan, perbuatan cabul, perdagangan perempuan dan anak, berkeliaran untuk tujuan melacur, akses terhadap informasi dan layanan kontrasepsi, dan pengguguran kandungan atau aborsi. Pasal-pasal tersebut pada dasarnya terkait dengan otoritas tubuh dan seksualitas perempuan, sehingga suara dan pengalaman perempuan seharusnya menjadi pertimbangan dalam penyusunan aturan. Penempatan pasal kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan dan perdagangan perempuan dan anak dalam bab kesusilaan akan mengaburkan hakikat dari tindak pidana tersebut dan mereduksinya sebagai masalah pelanggaran rasa susila dan kesopanan masyarakat. Sementara tindak pidana tersebut sesungguhnya merupakan bentuk serangan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Selain itu, pengaturan perilaku seksual warga negara dengan standar moral yang bias gender, kelas, etnis dan keyakinan berpotensi mengkriminalkan kelompok rentan.
Terkait hukum, para ahli hukum feminis telah mengkritik netralitas hukum yang dipandang tidak mampu mengenali pengalaman perempuan terlebih melindungi kepentingan perempuan. Ideologi netralitas hukum tidak peka terhadap fakta perbedaan yang ada dalam masyarakat. Prinsip persamaan dan perlindungan hukum yang dikatakan sebagai netral sesungguhnya didasarkan pada standar nilai laki-laki. Hal ini mengingat hukum pada mulanya dibuat untuk mengatur urusan yang terjadi di ranah publik, dan di dalam sejarah, wilayah publik didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian hukum hanya mengenal pengalaman di wilayah publik, artinya pengalaman laki-laki. Hal ini mendorong para sarjana hukum feminis untuk mengembangkan teori hukum feminis (feminist legal theory) atau disebut juga sebagai pendekatan hukum berperspektif feminis (feminist jurisprudence). Pendekatan ini memberikan kritik pada tataran teoretik terkait interaksi antara hukum dan gender sekaligus menggunakan perspektif feminis dalam tataran praksis dengan menerapkannya dalam lingkup keluarga, lingkungan kerja dan kasus-kasus pidana untuk mendorong reformasi di bidang hukum.
Terkait hukum pidana, para ahli hukum feminis membongkar adanya diskriminasi dalam hukum pidana terhadap perempuan yang menjadi terdakwa atau ketidakmampuan hukum pidana untuk memberikan perlindungan yang layak bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kritik feminis terhadap hukum pidana berfokus terutama pada area yang membutuhkan perhatian seperti pemerkosaan dan prostitusi. Dalam perkembangannya para feminis menemukan bahwa bahkan dalam pasal atau aturan hukum pidana yang tidak secara langsung terkait dengan pembedaan jenis kelamin (seperti pasal/aturan tentang prostitusi) atau terkait dengan isu krusial bagi perempuan (seperti pasal/aturan tentang pemerkosaan) juga didasarkan pada asumsi tentang gender. Akibatnya, meski tampak netral gender, namun perumusan dan penerapan hukum pidana pada kenyataannya mungkin mendiskriminasi perempuan atau memperkuat stereotip tentang perilaku perempuan dan laki-laki yang sesuai. Para feminis juga berfokus pada soal kekerasan dalam rumah tangga (Nicolson & Bibbings 2000). Di Indonesia, upaya yang dilakukan feminis untuk mendorong hukum pidana yang ramah perempuan terwujud antara lain dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam konteks pembahasan revisi KUHP yang tengah bergulir dan disinyalir mengabaikan suara, pengalaman juga kepentingan perempuan dan kelompok marginal, maka penting untuk melakukan kajian tentang perempuan dan hukum pidana. JP97 akan mengkaji persoalan perempuan dan hukum pidana dari matra filsafat, hukum, kriminologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dan politik.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP96 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 26 Maret 2018 dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi Pemred [email protected] atau [email protected]
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.