Undangan Menulis
TOR JP94
Tenggat tulisan 26 Juni 2017
Tenggat tulisan 26 Juni 2017
Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran
Pekerja rumah tangga (PRT) memiliki peran penting bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi kehidupan sosial masyarakat dan ekonomi negara. Sayangnya, peran PRT jarang diperhitungkan, meskipun sebenarnya, pekerjaan rumah tangga—termasuk pekerjaan merawat atau mengasuh—merupakan aktivitas yang kompleks dengan implikasi mendalam bagi kesejahteraan pribadi, sosial dan ekonomi. Hal ini mengingat keberadaan PRT yang melakukan pekerjaan rumah tangga, memungkinkan anggota rumah tangga melakukan aktivitas sosial dan ekonomi di luar rumah yang pada gilirannya memungkinkan sektor publik berjalan dengan baik. Tanggung jawab pekerja rumah tangga meliputi, tetapi tidak terbatas pada: membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, berbelanja, merawat anak-anak, atau anggota keluarga yang sudah tua atau sakit, berkebun, menjaga rumah, mengemudi untuk keluarga, dan bahkan merawat hewan peliharaan pemilik rumah tangga. Seorang pekerja rumah tangga dapat bekerja secara penuh atau paruh waktu. Ia dapat dipekerjakan oleh satu rumah tangga atau oleh beberapa majikan. Ia mungkin tinggal menetap di rumah majikan atau mungkin tinggal di rumahnya sendiri. Seorang pekerja rumah tangga mungkin juga bekerja di negara lain sehingga kemudian disebut sebagai pekerja rumah tangga migran.
Pekerja rumah tangga termasuk dalam kategori pekerjaan informal dan merupakan kelompok pekerja yang paling rentan. Mereka bekerja untuk rumah tangga pribadi, sering kali dengan jam kerja yang panjang, menguras energi secara fisik, dengan gaji yang rendah, perlindungan yang terbatas, dan regulasi yang minim bahkan tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini semua berangkat dari anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan yang remeh atau dipandang rendah karena ketaktampakkannya. Ketaktampakkan pekerja rumah tangga berakar pada bagaimana ideologi gender tradisional yang mendasari pekerjaan—dengan menempatkan laki-laki di sektor publik atau produksi dan perempuan di sektor domestik atau konsumsi—digunakan untuk merasionalisasi kesenjangan ekonomi. Menurut Wong (2012) hal ini dikarenakan, pertama, rumah tangga secara konvensional dianggap sebagai keutamaan feminin, yang kemudian membatasi perempuan pada urusan rumah tangga dan tergantung pada laki-laki. Kedua, karena para ibu telah melakukan pekerjaan rumah tangga—tanpa dibayar, dengan asumsi bahwa hal itu dilakukan dengan sukarela—mereka tidak dikenali sebagai “pekerja sejati/sungguhan”, karena pekerjaan yang tidak dibayar tidak dipandang sebagai “pekerjaan”. Ketiga, pekerjaan ini sering dipandang secara alami sebagai pekerjaan perempuan. Karena pekerjaan ini dianggap dapat dikerjakan “secara alamiah”, sebagai lawan “dengan keterampilan/kemahiran” (yang membutuhkan pelatihan dan penghargaan), maka pekerjaan yang dilakukan perempuan tidak dihargai. Pandangan tradisional mengenai pekerjaan rumah tangga telah berkontribusi terhadap ketaktampakkan pekerja rumah tangga, yang dilanggengkan oleh relasi di dalam keluarga, masyarakat dan aturan yang sistematis, yang mewujud dalam bentuk upah yang rendah dan kadang tak layak bagi pekerja rumah tangga.
Saat ini setidaknya terdapat 67 juta pekerja rumah tangga di seluruh dunia, tidak termasuk pekerja rumah tangga anak dan jumlah ini terus meningkat di negara maju dan berkembang. Organisasi Buruh International (ILO) menyebutkan satu dari setiap 25 pekerja perempuan di dunia adalah pekerja rumah tangga. Meskipun sejumlah besar pria bekerja di sektor ini—seringkali sebagai tukang kebun, sopir atau kepala pelayan—tetapi sektor ini merupakan sektor yang sangat feminin, 80 persen dari semua pekerja rumah tangga adalah perempuan. Sementara di Indonesia berdasarkan hasil analisis data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2.555.000 PRT berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di dalam negeri di Indonesia dan 1,7 juta diantaranya bekerja di pulau Jawa (ILO 2013). Sementara itu dari sekitar 6,5 juta pekerja migran Indonesia, sekitar 80 persennya merupakan PRT migran (ILO 2012). Para pekerja rumah tangga di Indonesia pada umumnya adalah perempuan, berasal dari pedesaan dan berpendidikan rendah. Mayoritas PRT di Indonesia tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, lisan ataupun tertulis dengan majikan mengenai pekerjaan yang menjadi kewajibannya, jam kerja, hari libur mingguan dan upah yang akan diterima. Disamping itu PRT juga jarang memiliki jaminan perlindungan sosial (Migrant CARE & Jala-PRT 2016).
Lebih lanjut data Jala-PRT memperlihatkan hingga September 2016 terdapat 217 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Lita Anggraini Koordinator Nasional Jala-PRT (2017, wawancara) menegaskan bahwa dalam perspektif zero violence, bahkan satu kasus yang terjadi sesungguhnya merupakan persoalan serius, maka urgensi atas pentingnya payung hukum yang memberikan perlindungan pada PRT seharusnya tidak didasarkan pada banyaknya kasus yang muncul atau dilaporkan. Namun dengan berpijak pada prinsip kesejahteraan, maka pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan. Sementara di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diajukan sejak tahun 2004 hingga kini belum juga berhasil diundangkan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi ILO No. 189 yang memandatkan adanya perlindungan PRT dengan standar hak asasi manusia. Mandat ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) khususnya tujuan ke delapan yakni mewujudkan situasi kerja layak bagi semua pekerja.
Kajian JP94 akan membedah pelbagai persoalan terkait pekerja rumah tangga domestik dan migran dari matra ekonomi, sosiologi, antropologi, hukum, politik ekonomi dan kebijakan. Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 26 Juni 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Pekerja rumah tangga termasuk dalam kategori pekerjaan informal dan merupakan kelompok pekerja yang paling rentan. Mereka bekerja untuk rumah tangga pribadi, sering kali dengan jam kerja yang panjang, menguras energi secara fisik, dengan gaji yang rendah, perlindungan yang terbatas, dan regulasi yang minim bahkan tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini semua berangkat dari anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan yang remeh atau dipandang rendah karena ketaktampakkannya. Ketaktampakkan pekerja rumah tangga berakar pada bagaimana ideologi gender tradisional yang mendasari pekerjaan—dengan menempatkan laki-laki di sektor publik atau produksi dan perempuan di sektor domestik atau konsumsi—digunakan untuk merasionalisasi kesenjangan ekonomi. Menurut Wong (2012) hal ini dikarenakan, pertama, rumah tangga secara konvensional dianggap sebagai keutamaan feminin, yang kemudian membatasi perempuan pada urusan rumah tangga dan tergantung pada laki-laki. Kedua, karena para ibu telah melakukan pekerjaan rumah tangga—tanpa dibayar, dengan asumsi bahwa hal itu dilakukan dengan sukarela—mereka tidak dikenali sebagai “pekerja sejati/sungguhan”, karena pekerjaan yang tidak dibayar tidak dipandang sebagai “pekerjaan”. Ketiga, pekerjaan ini sering dipandang secara alami sebagai pekerjaan perempuan. Karena pekerjaan ini dianggap dapat dikerjakan “secara alamiah”, sebagai lawan “dengan keterampilan/kemahiran” (yang membutuhkan pelatihan dan penghargaan), maka pekerjaan yang dilakukan perempuan tidak dihargai. Pandangan tradisional mengenai pekerjaan rumah tangga telah berkontribusi terhadap ketaktampakkan pekerja rumah tangga, yang dilanggengkan oleh relasi di dalam keluarga, masyarakat dan aturan yang sistematis, yang mewujud dalam bentuk upah yang rendah dan kadang tak layak bagi pekerja rumah tangga.
Saat ini setidaknya terdapat 67 juta pekerja rumah tangga di seluruh dunia, tidak termasuk pekerja rumah tangga anak dan jumlah ini terus meningkat di negara maju dan berkembang. Organisasi Buruh International (ILO) menyebutkan satu dari setiap 25 pekerja perempuan di dunia adalah pekerja rumah tangga. Meskipun sejumlah besar pria bekerja di sektor ini—seringkali sebagai tukang kebun, sopir atau kepala pelayan—tetapi sektor ini merupakan sektor yang sangat feminin, 80 persen dari semua pekerja rumah tangga adalah perempuan. Sementara di Indonesia berdasarkan hasil analisis data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2.555.000 PRT berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di dalam negeri di Indonesia dan 1,7 juta diantaranya bekerja di pulau Jawa (ILO 2013). Sementara itu dari sekitar 6,5 juta pekerja migran Indonesia, sekitar 80 persennya merupakan PRT migran (ILO 2012). Para pekerja rumah tangga di Indonesia pada umumnya adalah perempuan, berasal dari pedesaan dan berpendidikan rendah. Mayoritas PRT di Indonesia tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, lisan ataupun tertulis dengan majikan mengenai pekerjaan yang menjadi kewajibannya, jam kerja, hari libur mingguan dan upah yang akan diterima. Disamping itu PRT juga jarang memiliki jaminan perlindungan sosial (Migrant CARE & Jala-PRT 2016).
Lebih lanjut data Jala-PRT memperlihatkan hingga September 2016 terdapat 217 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Lita Anggraini Koordinator Nasional Jala-PRT (2017, wawancara) menegaskan bahwa dalam perspektif zero violence, bahkan satu kasus yang terjadi sesungguhnya merupakan persoalan serius, maka urgensi atas pentingnya payung hukum yang memberikan perlindungan pada PRT seharusnya tidak didasarkan pada banyaknya kasus yang muncul atau dilaporkan. Namun dengan berpijak pada prinsip kesejahteraan, maka pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan. Sementara di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diajukan sejak tahun 2004 hingga kini belum juga berhasil diundangkan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi ILO No. 189 yang memandatkan adanya perlindungan PRT dengan standar hak asasi manusia. Mandat ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) khususnya tujuan ke delapan yakni mewujudkan situasi kerja layak bagi semua pekerja.
Kajian JP94 akan membedah pelbagai persoalan terkait pekerja rumah tangga domestik dan migran dari matra ekonomi, sosiologi, antropologi, hukum, politik ekonomi dan kebijakan. Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Mengapa dan bagaimana kerja perawatan atau pengasuhan (care work) dianggap tidak penting? Bagaimana konsep ekonomi feminis melihat ini?
- Apa dan bagaimana peran pemerintah dan DPR dalam memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga baik dalam negeri maupun migran? Sejauhmana peran dan upaya yang telah dilakukan pemerintah dan DPR? Apa dan bagaimana terobosan yang harus diupayakan pemerintah dan DPR untuk menciptakan standar kerja yang layak? Sejauhmana Indonesia menjadi negara yang aman bagi PRT?
- Bagaimana situasi kerja yang dihadapi PRT? Bagaimana relasi kerja yang dibangun dengan pengguna jasa PRT/majikan? Bagaimana dan mengapa diskriminasi dan kekerasan dialami PRT?
- Bagaimana pengorganisasian pekerja rumah tangga dalam memperjuangkan hak-haknya? Apa dan bagaimana hambatan dan strategi yang dihadapi dan digunakan? Bagaimana dan mengapa pengorganisasian dan penguatan PRT berperan dalam upaya perlindungan PRT?
- Bagaimana karakteristik rumah tangga yang mempekerjakan pekerja rumah tangga? Bagaimana nilai dan relasi kerja yang dibangun antara pengguna jasa dan PRT?
- Bagaimana peran dan kontribusi lembaga/perusahaan penyalur pekerja rumah tangga dalam upaya perlindungan PRT dan penciptaan situasi kerja yang layak bagi PRT? Bagaimana regulasi pemerintah dalam mengatur peran penyalur PRT? Sejauhmana peran lembaga/perusahaan penyalur PRT dibutuhkan?
- Sejauhmana proses advokasi RUU Perlindungan PRT berjalan? Bagaimana dan mengapa proses legislasi menjadi mandeg? Apa dan bagaimana terobosan hukum yang perlu diupayakan?
- Bagaimana dan sejauhmana upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah dengan negara-negara tujuan PRT migran? Sejauhmana kerja sama yang dibangun untuk memberikan perlindungan bagi PRT migran?
- Apa, bagaimana dan sejauhmana peran dan kontribusi PRT bagi kehidupan dan kesejahteraan keluarganya? Bagi komunitas atau masyarakat di sekitarnya? Bagi negara? Bagaimana relasi PRT dalam keluarga?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 26 Juni 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan