Undangan Menulis
TOR JP93
Tenggat tulisan 5 April 2017
HKSR dan Kebijakan Pembangunan
Tenggat tulisan 5 April 2017
HKSR dan Kebijakan Pembangunan
Diskursus mengenai Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) atau Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) telah mengemuka lebih dari dua puluh tahun yang lalu sejak dibahas pada Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ICPD) tahun 1994 di Kairo dan Konferensi Dunia tentang Perempuan yang Keempat (Fourth World Conference on Women) tahun 1995 di Beijing. HKSR mencakup hak semua individu untuk membuat keputusan mengenai aktivitas seksual dan reproduksi mereka; bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Secara khusus, akses atas HKSR memastikan individu dapat memilih apakah, kapan, dan dengan siapa terlibat dalam aktivitas seksual; untuk memilih apakah dan kapan mempunyai anak; dan untuk mengakses informasi dan sarana untuk melakukannya.
Meskipun 20 tahun lebih sudah berlalu sejak konferensi yang pertama kali secara eksplisit mengakui hak reproduksi sebagai hak asasi manusia sekaligus menandai perubahan cara pandang dunia dalam melihat isu populasi, namun data-data yang ada memperlihatkan bahwa banyak orang, terutama mereka yang paling terpinggirkan, masih kesulitan mendapatkan akses atas HKSR. Di tataran regional maupun global, statistik terkait rasio kematian ibu, tingkat melahirkan remaja, angka kebutuhan keluarga berencana (KB) atau kontrasepsi yang tidak terpenuhi dan indikator HKSR yang lain masih menjadi keprihatinan serius. Di sejumlah negara termasuk Indonesia bahkan sterilisasi sukarela, kontrasepsi darurat dan aborsi yang aman sering dilarang atau sulit diakses. Di Indonesia, berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yakni 305/100.000 kelahiran hidup. Menurut BPS dan UNICEF (2016) yang menggunakan data Susenas 2008-2012 dan sensus penduduk 2010, sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Sedang hasil Susenas 2015 memperlihatkan adanya peningkatan unmet need, kebutuhan KB yang tidak terlayani. Peningkatan unmet need untuk membatasi jumlah anak melonjak dari 8,32% pada tahun 2014 menjadi 13,02% pada 2015. Sementara unmet need untuk mengatur jarak kelahiran naik dari 2,66% menjadi 5,31%. Data-data ini tentu bukan kabar yang baik.
HKSR adalah hal mendasar bagi perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang produktif, sehat dan sejahtera. HKSR mencakup sejumlah isu termasuk akses universal atas layanan kesehatan seksual dan reproduksi, pendidikan seksual komprehensif, dan penghapusan kekerasan berbasis gender dan praktik yang membahayakan seperti pernikahan paksa dan pernikahan anak serta sunat perempuan. HKSR juga memungkinkan perempuan dan anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dan masuk ke dunia kerja yang pada gilirannya akan membantu perempuan menjadi lebih berdaya dan kehidupannya lebih sejahtera. Karena itu, akses atas HKSR akan mendorong kesetaraan gender. Sebaliknya pengabaian terhadap pemenuhan HKSR dan keterkaitannya dengan isu yang lain seperti penghapusan kemiskinan, kedaulatan pangan, hak asasi manusia, keadilan sosial, keadilan ekologi bahkan perubahan iklim akan membuat pemerintah mengeluarkan ongkos yang besar karena hal tersebut akan menciptakan ketimpangan kekuasaan, memperluas kesenjangan, dan mengukuhkan ketidakadilan, yang akan berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Maka jelas bahwa HKSR merupakan isu kunci pembangunan.
Di tataran global inisiatif untuk memasukkan HKSR ke dalam agenda pembangunan telah dilakukan sejak 2012 dan setelah melalui proses negosiasi yang panjang melalui sejumlah panel, akhirnya beberapa agenda HKSR diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustanaible Development Goals (SDGs). Tujuan ketiga (menggalakkan hidup sehat dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua usia) dan tujuan kelima (mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan) berkaitan secara langsung dengan HKSR. Selain pada kedua tujuan tersebut, elemen HKSR juga dapat ditemukan pada tujuan keempat, keenam, kedelapan, kesepuluh dan keenambelas. Dalam konteks Indonesia, HKSR belum terartikulasi secara eksplisit dan belum menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan. Dalam beberapa hal HKSR masih dipandang sebagai tabu dan kultur patriarki masih sangat kuat. Norma adat dan peraturan di tingkat lokal yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan masih ada dan dipraktikkan sementara orang-orang yang “berbeda” secara seksual masih mengalami diskriminasi bahkan kekerasan. Isu HKSR juga menjadi sangat sensitif ketika agama atau aturan adat dan bahkan kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip HKSR. Karena itu dibutuhkan sinergi, kerja sama dan aliansi yang kuat dari berbagai elemen dan lintas gerakan untuk memastikan HKSR menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan mengingat HKSR merupakan isu lintas sektor. Kajian JP93 akan membedah pelbagai pertanyaan kunci terkait HKSR dan kebijakan pembangunan dari berbagai matra seperti filsafat, antropologi, politik ekonomi, sosiologi, kesehatan, pendidikan, dan kebijakan dengan basis riset.
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 5 April 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Meskipun 20 tahun lebih sudah berlalu sejak konferensi yang pertama kali secara eksplisit mengakui hak reproduksi sebagai hak asasi manusia sekaligus menandai perubahan cara pandang dunia dalam melihat isu populasi, namun data-data yang ada memperlihatkan bahwa banyak orang, terutama mereka yang paling terpinggirkan, masih kesulitan mendapatkan akses atas HKSR. Di tataran regional maupun global, statistik terkait rasio kematian ibu, tingkat melahirkan remaja, angka kebutuhan keluarga berencana (KB) atau kontrasepsi yang tidak terpenuhi dan indikator HKSR yang lain masih menjadi keprihatinan serius. Di sejumlah negara termasuk Indonesia bahkan sterilisasi sukarela, kontrasepsi darurat dan aborsi yang aman sering dilarang atau sulit diakses. Di Indonesia, berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yakni 305/100.000 kelahiran hidup. Menurut BPS dan UNICEF (2016) yang menggunakan data Susenas 2008-2012 dan sensus penduduk 2010, sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Sedang hasil Susenas 2015 memperlihatkan adanya peningkatan unmet need, kebutuhan KB yang tidak terlayani. Peningkatan unmet need untuk membatasi jumlah anak melonjak dari 8,32% pada tahun 2014 menjadi 13,02% pada 2015. Sementara unmet need untuk mengatur jarak kelahiran naik dari 2,66% menjadi 5,31%. Data-data ini tentu bukan kabar yang baik.
HKSR adalah hal mendasar bagi perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang produktif, sehat dan sejahtera. HKSR mencakup sejumlah isu termasuk akses universal atas layanan kesehatan seksual dan reproduksi, pendidikan seksual komprehensif, dan penghapusan kekerasan berbasis gender dan praktik yang membahayakan seperti pernikahan paksa dan pernikahan anak serta sunat perempuan. HKSR juga memungkinkan perempuan dan anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dan masuk ke dunia kerja yang pada gilirannya akan membantu perempuan menjadi lebih berdaya dan kehidupannya lebih sejahtera. Karena itu, akses atas HKSR akan mendorong kesetaraan gender. Sebaliknya pengabaian terhadap pemenuhan HKSR dan keterkaitannya dengan isu yang lain seperti penghapusan kemiskinan, kedaulatan pangan, hak asasi manusia, keadilan sosial, keadilan ekologi bahkan perubahan iklim akan membuat pemerintah mengeluarkan ongkos yang besar karena hal tersebut akan menciptakan ketimpangan kekuasaan, memperluas kesenjangan, dan mengukuhkan ketidakadilan, yang akan berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Maka jelas bahwa HKSR merupakan isu kunci pembangunan.
Di tataran global inisiatif untuk memasukkan HKSR ke dalam agenda pembangunan telah dilakukan sejak 2012 dan setelah melalui proses negosiasi yang panjang melalui sejumlah panel, akhirnya beberapa agenda HKSR diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustanaible Development Goals (SDGs). Tujuan ketiga (menggalakkan hidup sehat dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua usia) dan tujuan kelima (mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan) berkaitan secara langsung dengan HKSR. Selain pada kedua tujuan tersebut, elemen HKSR juga dapat ditemukan pada tujuan keempat, keenam, kedelapan, kesepuluh dan keenambelas. Dalam konteks Indonesia, HKSR belum terartikulasi secara eksplisit dan belum menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan. Dalam beberapa hal HKSR masih dipandang sebagai tabu dan kultur patriarki masih sangat kuat. Norma adat dan peraturan di tingkat lokal yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan masih ada dan dipraktikkan sementara orang-orang yang “berbeda” secara seksual masih mengalami diskriminasi bahkan kekerasan. Isu HKSR juga menjadi sangat sensitif ketika agama atau aturan adat dan bahkan kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip HKSR. Karena itu dibutuhkan sinergi, kerja sama dan aliansi yang kuat dari berbagai elemen dan lintas gerakan untuk memastikan HKSR menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan mengingat HKSR merupakan isu lintas sektor. Kajian JP93 akan membedah pelbagai pertanyaan kunci terkait HKSR dan kebijakan pembangunan dari berbagai matra seperti filsafat, antropologi, politik ekonomi, sosiologi, kesehatan, pendidikan, dan kebijakan dengan basis riset.
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 5 April 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan