Undangan Menulis
TOR JP103
Tenggat 14 Oktober 2019
Tenggat 14 Oktober 2019
Perempuan Perdesaan
Pengantar Masalah
Di negara berkembang, perempuan yang tinggal di daerah perdesaan mewakili sekitar 43% dari tenaga kerja di sektor pertanian (UN Women). Dengan demikian perempuan perdesaan memiliki kontribusi penting dalam memastikan keamanan pangan keluarga dan komunitas serta memperkuat perekonomian negara. Meskipun memiliki peran besar, namun perempuan perdesaan masih menghadapi diskriminasi terkait budaya dan norma sosial yang membuat mereka berada dalam situasi rentan dan buruk.
Data yang ada menunjukkan kurang dari 13% pemilik lahan pertanian adalah perempuan (UN Women 2018). Sementara itu rumah tangga yang dikepalai perempuan perdesaan memiliki akses yang lebih terbatas dibandingkan rumah tangga yang dikepalai laki-laki terhadap dalam mengakses layanan produktif yang dibutuhkan oleh masyarakat perdesaan seperti pupuk, ternak, peralatan, varietas unggul, layanan penyuluhan dan pelatihan pertanian (FAO 2011). Di banyak negara perempuan perdesaan yang bekerja untuk mendapatkan upah lebih mungkin untuk bekerja musiman, paruh waktu dan mendapatkan upah yang rendah dibandingkan laki-laki (FAO 2011).
Desa-desa di Indonesia saat ini rentan terhadap gempuran eksploitasi. Desa menjadi arena ekspansi modal seperti pertanian skala luas, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan maupun pengavelingan pesisir dan laut. Akibatnya kerusakan lingkungan hidup perdesaan semakin cepat dan meluas. Desa mengalami krisis sosial dan ekologis. Situasi ini semakin parah dengan adanya krisis iklim yang dampaknya dirasakan langsung oleh petani dan nelayan. Dalam situasi krisis semacam ini, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan.
Perdesaan sebagai wilayah sosial, ekonomi dan politik mengalami perubahan dan tantangan yang memaksa perubahan dalam pola hidup masyarakat. Desa tak lagi diisi oleh kaum petani, tetapi juga calon tenaga kerja migran, atau buruh tani di desa atau bermigrasi ke kota. Ketika ruang hidup masyarakat hilang, dirusak dan dicemari, perempuan akan merasakan dampak yang paling besar. Perempuan yang memiliki kebutuhan besar atas air bersih akan terancam kesehatan reproduksinya ketika sungai atau sumber air di desanya tercemar. Kesulitan sumber air juga mengancam kehidupan keluarga. Situasi ini membuat perempuan perdesaan mengalami kesulitan berlapis baik kesulitan dalam mengelola sumber-sumber penghidupan dan juga menanggung beban kerusakan sumber daya alam di perdesaan.
Keberadaaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dipandang menandai babak baru tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa di Indonesia. Jika pada masa lalu desa diposisikan sebagai entitas yang sama dan menjadi objek pembangunan, maka desa yang diproyeksikan dalam undang-undang tersebut ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang mandiri dan partisipatif. Keberadaan sejumlah asas dalam Undang-Undang Desa yang melandasi pengaturan dan pembangunan desa seperti asas kesetaraan, partisipasi dan pemberdayaan dilihat sebagai peluang untuk mengimplementasikan prinsip keadilan gender dalam penyelenggaraan desa dan membuka ruang bagi keterwakilan, partisipasi dan keterlibatan perempuan. Selain itu UU Desa juga diharapkan dapat mengakomodasi suara, pengalaman dan hak-hak perempuan perdesaan yang selama ini terabaikan.
Namun, kesenjangan antara ide-ide normatif dalam UU Desa dengan pelaksanaannya masih terjadi. Dalam lima tahun terakhir ditemukan masih banyak persoalan yang muncul. Salah satu yang menonjol terkait pengelolaan dana desa, yakni adanya indikasi penyalahgunaan anggaran dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga semester pertama 2018 menyebutkan sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar 40,6 miliar rupiah. Sementara itu tingkat partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa masih sangat rendah.
Perempuan perdesaan bukanlah subjek yang pasif. Perempuan perdesaan memiliki kebertahanan dan strategi untuk bertahan. Kelompok perempuan di perdesaan juga berupaya untuk menumbuhkan kesadaran sesama perempuan, membangun solidaritas lintas batas, melakukan pengorganisasian dan aksi, menempuh jalur hukum, mencari keadilan dan membangun gerakan yang dilakukan di sejumlah wilayah.
Perempuan perdesaan tidak hanya mampu bertahan tetapi sesungguhnya merupakan subjek penting dalam kehidupan masyarakat perdesaan. Oleh sebab itu, perspektif feminisme juga dibutuhkan untuk membedah persoalan masyarakat perdesaan, khususnya dalam relasinya dengan perempuan perdesaan. Identitas perempuan perdesaan yang tak seragam, relasi kuasa yang cenderung timpang, budaya patriarki yang masih kuat, dan persoalan kelas adalah sejumlah aspek yang perlu diperhatikan dalam mendorong kesejahteraan dan kedaulatan desa. Teori-teori pembangunan dengan sejumlah pendekatan yang mengabaikan pengalaman dan perspektif perempuan perdesaan terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi perempuan dan warga desa secara keseluruhan. Pendekatan feminis interseksional dapat membantu kita untuk memeriksa cara-cara pola penindasan bersinggungan dengan kelompok yang terpinggirkan seperti dalam isu perempuan perdesaan.
Dalam konteks ini Jurnal Perempuan memandang penting untuk membuka ruang diskusi tentang perempuan perdesaan dengan berpijak pada pengalaman perempuan. JP103 akan mengkaji persoalan perempuan perdesaan dengan pendekatan multidisipliner dan menggunakan perspektif gender/feminis dengan berbasis riset.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP103 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 14 Oktober 2019 dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi Pemred [email protected] atau [email protected]
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Di negara berkembang, perempuan yang tinggal di daerah perdesaan mewakili sekitar 43% dari tenaga kerja di sektor pertanian (UN Women). Dengan demikian perempuan perdesaan memiliki kontribusi penting dalam memastikan keamanan pangan keluarga dan komunitas serta memperkuat perekonomian negara. Meskipun memiliki peran besar, namun perempuan perdesaan masih menghadapi diskriminasi terkait budaya dan norma sosial yang membuat mereka berada dalam situasi rentan dan buruk.
Data yang ada menunjukkan kurang dari 13% pemilik lahan pertanian adalah perempuan (UN Women 2018). Sementara itu rumah tangga yang dikepalai perempuan perdesaan memiliki akses yang lebih terbatas dibandingkan rumah tangga yang dikepalai laki-laki terhadap dalam mengakses layanan produktif yang dibutuhkan oleh masyarakat perdesaan seperti pupuk, ternak, peralatan, varietas unggul, layanan penyuluhan dan pelatihan pertanian (FAO 2011). Di banyak negara perempuan perdesaan yang bekerja untuk mendapatkan upah lebih mungkin untuk bekerja musiman, paruh waktu dan mendapatkan upah yang rendah dibandingkan laki-laki (FAO 2011).
Desa-desa di Indonesia saat ini rentan terhadap gempuran eksploitasi. Desa menjadi arena ekspansi modal seperti pertanian skala luas, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan maupun pengavelingan pesisir dan laut. Akibatnya kerusakan lingkungan hidup perdesaan semakin cepat dan meluas. Desa mengalami krisis sosial dan ekologis. Situasi ini semakin parah dengan adanya krisis iklim yang dampaknya dirasakan langsung oleh petani dan nelayan. Dalam situasi krisis semacam ini, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan.
Perdesaan sebagai wilayah sosial, ekonomi dan politik mengalami perubahan dan tantangan yang memaksa perubahan dalam pola hidup masyarakat. Desa tak lagi diisi oleh kaum petani, tetapi juga calon tenaga kerja migran, atau buruh tani di desa atau bermigrasi ke kota. Ketika ruang hidup masyarakat hilang, dirusak dan dicemari, perempuan akan merasakan dampak yang paling besar. Perempuan yang memiliki kebutuhan besar atas air bersih akan terancam kesehatan reproduksinya ketika sungai atau sumber air di desanya tercemar. Kesulitan sumber air juga mengancam kehidupan keluarga. Situasi ini membuat perempuan perdesaan mengalami kesulitan berlapis baik kesulitan dalam mengelola sumber-sumber penghidupan dan juga menanggung beban kerusakan sumber daya alam di perdesaan.
Keberadaaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dipandang menandai babak baru tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa di Indonesia. Jika pada masa lalu desa diposisikan sebagai entitas yang sama dan menjadi objek pembangunan, maka desa yang diproyeksikan dalam undang-undang tersebut ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang mandiri dan partisipatif. Keberadaan sejumlah asas dalam Undang-Undang Desa yang melandasi pengaturan dan pembangunan desa seperti asas kesetaraan, partisipasi dan pemberdayaan dilihat sebagai peluang untuk mengimplementasikan prinsip keadilan gender dalam penyelenggaraan desa dan membuka ruang bagi keterwakilan, partisipasi dan keterlibatan perempuan. Selain itu UU Desa juga diharapkan dapat mengakomodasi suara, pengalaman dan hak-hak perempuan perdesaan yang selama ini terabaikan.
Namun, kesenjangan antara ide-ide normatif dalam UU Desa dengan pelaksanaannya masih terjadi. Dalam lima tahun terakhir ditemukan masih banyak persoalan yang muncul. Salah satu yang menonjol terkait pengelolaan dana desa, yakni adanya indikasi penyalahgunaan anggaran dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga semester pertama 2018 menyebutkan sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar 40,6 miliar rupiah. Sementara itu tingkat partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan desa masih sangat rendah.
Perempuan perdesaan bukanlah subjek yang pasif. Perempuan perdesaan memiliki kebertahanan dan strategi untuk bertahan. Kelompok perempuan di perdesaan juga berupaya untuk menumbuhkan kesadaran sesama perempuan, membangun solidaritas lintas batas, melakukan pengorganisasian dan aksi, menempuh jalur hukum, mencari keadilan dan membangun gerakan yang dilakukan di sejumlah wilayah.
Perempuan perdesaan tidak hanya mampu bertahan tetapi sesungguhnya merupakan subjek penting dalam kehidupan masyarakat perdesaan. Oleh sebab itu, perspektif feminisme juga dibutuhkan untuk membedah persoalan masyarakat perdesaan, khususnya dalam relasinya dengan perempuan perdesaan. Identitas perempuan perdesaan yang tak seragam, relasi kuasa yang cenderung timpang, budaya patriarki yang masih kuat, dan persoalan kelas adalah sejumlah aspek yang perlu diperhatikan dalam mendorong kesejahteraan dan kedaulatan desa. Teori-teori pembangunan dengan sejumlah pendekatan yang mengabaikan pengalaman dan perspektif perempuan perdesaan terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi perempuan dan warga desa secara keseluruhan. Pendekatan feminis interseksional dapat membantu kita untuk memeriksa cara-cara pola penindasan bersinggungan dengan kelompok yang terpinggirkan seperti dalam isu perempuan perdesaan.
Dalam konteks ini Jurnal Perempuan memandang penting untuk membuka ruang diskusi tentang perempuan perdesaan dengan berpijak pada pengalaman perempuan. JP103 akan mengkaji persoalan perempuan perdesaan dengan pendekatan multidisipliner dan menggunakan perspektif gender/feminis dengan berbasis riset.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP103 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 14 Oktober 2019 dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi Pemred [email protected] atau [email protected]
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan
Kesediaan Anda sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.