TOR JP101
Call for Paper
Tenggat 20 April 2019
Perempuan dan Demokrasi
Pengantar Masalah
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2017 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama sejumlah kementerian menunjukkan adanya peningkatan, yakni mencapai angka 72,11 dibandingkan tahun 2016 sebesar 70,09. Meskipun demikian, variabel kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat menunjukkan penurunan. IDI 2017 juga memperlihatkan indikator lain yang perlu diperhatikan yakni persentase perempuan yang terpilih terhadap total anggota DPRD provinsi.
Terkait perempuan, IDI menunjukkan bahwa keterwakilan dan keterlibatan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif belum sesuai harapan. Sementara partisipasi perempuan dalam politik dan kehidupan publik merupakan salah satu prasyarat demokrasi. Selain itu keterwakilan perempuan di lembaga pengambil keputusan politik sekaligus keberadaannya sebagai pembuat kebijakan menjadi penting mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan berbeda dengan laki-laki. Keterwakilan perempuan telah menjadi diskursus global sejak tahun 1995 pada Konferensi Perempuan sedunia yang keempat di Beijing, yang menghasilkan Beijing Platform for Action. Hal ini ditegaskan kembali dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di Indonesia keterwakilan perempuan telah diatur dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik.
Demokratisasi di Indonesia setelah Reformasi 1998 telah membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Jumlah perempuan di legislatif, khususnya di DPR mengalami peningkatan dari 9% pada pemilu 1999 menjadi 17% pada pemilu 2014. Namun persentase tersebut masih jauh dari angka 30%, yakni jumlah minimum yang diperkirakan dapat menghasilkan perubahan arah kebijakan politik.
Hari ini keterwakilan perempuan telah diterima sebagai prasyarat yang harus diikuti. Partai politik yang berkontestasi dalam pemilu berupaya untuk memenuhi ketentuan kuota 30% perempuan dalam daftar calon tetap (DCT). Namun mengapa jumlah perempuan yang lolos menjadi anggota legislatif belum mencapai angka minimal tersebut? Salah satu sebabnya diduga karena belum ada kebijakan afirmatif yang efektif di internal partai. Akibatnya bukan hanya jumlah perempuan yang terpilih tidak mencapai angka ideal yang diharapkan, mereka yang terpilih menjadi anggota parlemen pun belum dapat efektif dalam mewakili aspirasi, suara, dan kepentingan perempuan.
Namun perlu dicatat bahwa beberapa kebijakan yang dilahirkan pada periode 2004 hingga 2014 telah menghasilkan produk perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan perempuan, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi berbagai tantangan. Anggota legislatif perempuan juga menghadapi tantangan politik terkait aspek institusi politik baik sistem pemilu maupun kebijakan internal partai. Di dalam DPR pun, suara legislator perempuan masih berada dalam kontrol fraksi dan politik yang maskulin. Tekanan gerakan perempuan di luar parlemen tetap memiliki arti penting untuk mendukung dan mengawal politik perempuan di parlemen.
Demokrasi Indonesia pasca 1998 tumbuh menjadi demokrasi elektoral yang berbiaya politik besar. Hal ini dapat dilihat dari biaya pendirian partai politik yang tinggi dan biaya pencalonan legislatif dan kampanye yang mahal. Partai politik kemudian diisi dan dikontrol oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang untuk mendanai biaya politik elektoral yang tinggi tersebut. Koalisi politik pun dibangun sebagai sarana untuk memuluskan jalan bagi pimpinan atau pengurus partai guna mendapatkan kekuasaan dan jabatan (menteri, gubernur, bupati, dan lainnya) yang dapat menjadi mesin uang untuk pemilu selanjutnya. Kesamaan ideologi, nilai atau visi politik tidak menjadi dasar dalam pembentukan koalisi. Koalisi yang cair, cenderung oportunis dan gampang bubar ini membuat pemilih kesulitan untuk meminta pertanggungjawaban masing-masing partai atau pimpinannya. Dalam konteks ini, politik elektoral berada dalam kontrol kekuatan yang disebut sebagai kekuatan oligarki.
Oleh karena itu, wajah DPR saat ini diisi oleh kalangan yang memiliki latar belakang sebagai elite ekonomi (pengusaha) dan memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik. Lembaga pemerintah dan kebijakan yang dihasilkan menjadi rentan terhadap kepentingan oligarki. Praktik korupsi politik menyebar dan menjadi persoalan besar di Indonesia. Pemilu seharusnya menawarkan pilihan yang beragam di antara gagasan-gagasan yang bersaing. Namun yang terjadi saat ini pilihan itu menyusut, perbedaan antar partai menjadi kabur, dan pemilih tidak dapat meminta pertanggungjawaban politisi atas tindakan mereka.
Jika demokrasi dilihat sebatas yang terjadi di parlemen, maka definisi demokrasi menjadi sempit. Demokrasi bukan hanya sebatas pemilu, ia mencakup adanya kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, berserikat, adanya perlindungan bagi minoritas, serta mencakup aspek sosial dan ekonomi, bukan hanya politik. Sejumlah kalangan bahkan memandang bahwa demokratisasi Indonesia saat ini sedang mengalami kebuntuan. Fenomena ini dapat dilihat misalnya pada penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang kian masif. UU ITE telah menjerat Baiq Nuril, perempuan penyintas kekerasan seksual yang divonis bersalah dan diganjar hukuman alih-alih mendapatkan perlindungan.
Demokrasi Indonesia cenderung terpusat pada Jakarta dan yang terjadi di Jawa, sehingga aspirasi di tingkat lokal sering kali diabaikan. Sementara tantangan dan perjuangan demokrasi juga terjadi di tingkat lokal. Di daerah dapat ditemukan kasus masyarakat yang berusaha memperjuangkan hak-hak sosialnya justru rentan menghadapi ancaman kriminalisasi, seperti perempuan Kendeng di Jawa Tengah, aktivis Eva Bande di Sulawesi Tengah. Otonomi daerah sebagai buah dari reformasi dirayakan hanya sebatas pilkada langsung, meski seharusnya perlu dilihat manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, perlindungan dan pemajuan HAM, hak atas pembangunan, dan pemajuan hak-hak perempuan.
Untuk itu Jurnal Perempuan membuka ruang diskusi tentang perempuan dan demokrasi. Penting untuk mengkaji bagaimana agenda feminis atas demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini? Bagaimana makna demokrasi bagi pemikiran feminis, khususnya di Indonesia? Kami mengundang para peneliti dan penulis untuk mengkaji isu ini dengan perspektif feminis dan berbasis riset.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP101 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Kerangka Waktu
Semua tulisan diharapkan dikirim ke redaksi Jurnal Perempuan selambatnya pada hari Sabtu, 20 April 2019. Artikel harap dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi pemred/redaksi di [email protected] atau [email protected].
Etika & Pedoman Publikasi Ilmiah Jurnal Perempuan
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2017 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama sejumlah kementerian menunjukkan adanya peningkatan, yakni mencapai angka 72,11 dibandingkan tahun 2016 sebesar 70,09. Meskipun demikian, variabel kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat menunjukkan penurunan. IDI 2017 juga memperlihatkan indikator lain yang perlu diperhatikan yakni persentase perempuan yang terpilih terhadap total anggota DPRD provinsi.
Terkait perempuan, IDI menunjukkan bahwa keterwakilan dan keterlibatan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif belum sesuai harapan. Sementara partisipasi perempuan dalam politik dan kehidupan publik merupakan salah satu prasyarat demokrasi. Selain itu keterwakilan perempuan di lembaga pengambil keputusan politik sekaligus keberadaannya sebagai pembuat kebijakan menjadi penting mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan berbeda dengan laki-laki. Keterwakilan perempuan telah menjadi diskursus global sejak tahun 1995 pada Konferensi Perempuan sedunia yang keempat di Beijing, yang menghasilkan Beijing Platform for Action. Hal ini ditegaskan kembali dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di Indonesia keterwakilan perempuan telah diatur dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik.
Demokratisasi di Indonesia setelah Reformasi 1998 telah membuka akses bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Jumlah perempuan di legislatif, khususnya di DPR mengalami peningkatan dari 9% pada pemilu 1999 menjadi 17% pada pemilu 2014. Namun persentase tersebut masih jauh dari angka 30%, yakni jumlah minimum yang diperkirakan dapat menghasilkan perubahan arah kebijakan politik.
Hari ini keterwakilan perempuan telah diterima sebagai prasyarat yang harus diikuti. Partai politik yang berkontestasi dalam pemilu berupaya untuk memenuhi ketentuan kuota 30% perempuan dalam daftar calon tetap (DCT). Namun mengapa jumlah perempuan yang lolos menjadi anggota legislatif belum mencapai angka minimal tersebut? Salah satu sebabnya diduga karena belum ada kebijakan afirmatif yang efektif di internal partai. Akibatnya bukan hanya jumlah perempuan yang terpilih tidak mencapai angka ideal yang diharapkan, mereka yang terpilih menjadi anggota parlemen pun belum dapat efektif dalam mewakili aspirasi, suara, dan kepentingan perempuan.
Namun perlu dicatat bahwa beberapa kebijakan yang dilahirkan pada periode 2004 hingga 2014 telah menghasilkan produk perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan perempuan, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi berbagai tantangan. Anggota legislatif perempuan juga menghadapi tantangan politik terkait aspek institusi politik baik sistem pemilu maupun kebijakan internal partai. Di dalam DPR pun, suara legislator perempuan masih berada dalam kontrol fraksi dan politik yang maskulin. Tekanan gerakan perempuan di luar parlemen tetap memiliki arti penting untuk mendukung dan mengawal politik perempuan di parlemen.
Demokrasi Indonesia pasca 1998 tumbuh menjadi demokrasi elektoral yang berbiaya politik besar. Hal ini dapat dilihat dari biaya pendirian partai politik yang tinggi dan biaya pencalonan legislatif dan kampanye yang mahal. Partai politik kemudian diisi dan dikontrol oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang untuk mendanai biaya politik elektoral yang tinggi tersebut. Koalisi politik pun dibangun sebagai sarana untuk memuluskan jalan bagi pimpinan atau pengurus partai guna mendapatkan kekuasaan dan jabatan (menteri, gubernur, bupati, dan lainnya) yang dapat menjadi mesin uang untuk pemilu selanjutnya. Kesamaan ideologi, nilai atau visi politik tidak menjadi dasar dalam pembentukan koalisi. Koalisi yang cair, cenderung oportunis dan gampang bubar ini membuat pemilih kesulitan untuk meminta pertanggungjawaban masing-masing partai atau pimpinannya. Dalam konteks ini, politik elektoral berada dalam kontrol kekuatan yang disebut sebagai kekuatan oligarki.
Oleh karena itu, wajah DPR saat ini diisi oleh kalangan yang memiliki latar belakang sebagai elite ekonomi (pengusaha) dan memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik. Lembaga pemerintah dan kebijakan yang dihasilkan menjadi rentan terhadap kepentingan oligarki. Praktik korupsi politik menyebar dan menjadi persoalan besar di Indonesia. Pemilu seharusnya menawarkan pilihan yang beragam di antara gagasan-gagasan yang bersaing. Namun yang terjadi saat ini pilihan itu menyusut, perbedaan antar partai menjadi kabur, dan pemilih tidak dapat meminta pertanggungjawaban politisi atas tindakan mereka.
Jika demokrasi dilihat sebatas yang terjadi di parlemen, maka definisi demokrasi menjadi sempit. Demokrasi bukan hanya sebatas pemilu, ia mencakup adanya kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, berserikat, adanya perlindungan bagi minoritas, serta mencakup aspek sosial dan ekonomi, bukan hanya politik. Sejumlah kalangan bahkan memandang bahwa demokratisasi Indonesia saat ini sedang mengalami kebuntuan. Fenomena ini dapat dilihat misalnya pada penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang kian masif. UU ITE telah menjerat Baiq Nuril, perempuan penyintas kekerasan seksual yang divonis bersalah dan diganjar hukuman alih-alih mendapatkan perlindungan.
Demokrasi Indonesia cenderung terpusat pada Jakarta dan yang terjadi di Jawa, sehingga aspirasi di tingkat lokal sering kali diabaikan. Sementara tantangan dan perjuangan demokrasi juga terjadi di tingkat lokal. Di daerah dapat ditemukan kasus masyarakat yang berusaha memperjuangkan hak-hak sosialnya justru rentan menghadapi ancaman kriminalisasi, seperti perempuan Kendeng di Jawa Tengah, aktivis Eva Bande di Sulawesi Tengah. Otonomi daerah sebagai buah dari reformasi dirayakan hanya sebatas pilkada langsung, meski seharusnya perlu dilihat manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, perlindungan dan pemajuan HAM, hak atas pembangunan, dan pemajuan hak-hak perempuan.
Untuk itu Jurnal Perempuan membuka ruang diskusi tentang perempuan dan demokrasi. Penting untuk mengkaji bagaimana agenda feminis atas demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini? Bagaimana makna demokrasi bagi pemikiran feminis, khususnya di Indonesia? Kami mengundang para peneliti dan penulis untuk mengkaji isu ini dengan perspektif feminis dan berbasis riset.
Keterangan Jurnal Perempuan
Jurnal Perempuan merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari). Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoretis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian multi dan interdisipliner.
Jurnal Perempuan telah terakreditasi secara nasional dengan No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016. Semua tulisan yang dimuat di JP101 akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diunggah di website www.indonesianfeministjournal.org
Kerangka Waktu
Semua tulisan diharapkan dikirim ke redaksi Jurnal Perempuan selambatnya pada hari Sabtu, 20 April 2019. Artikel harap dikirim melalui: http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/about/submissions, dengan terlebih dahulu membuat akun penulis JP. Jika mengalami kesulitan, dapat menghubungi pemred/redaksi di [email protected] atau [email protected].
Etika & Pedoman Publikasi Ilmiah Jurnal Perempuan
- Artikel merupakan hasil kajian dan riset yang orisinal, otentik, asli dan bukan merupakan plagiasi atas karya orang atau institusi lain. Karya belum pernah diterbitkan sebelumnya.
- Artikel merupakan hasil penelitian, kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, ide tentang perempuan, LGBT, dan gender sebagai subjek kajian.
- Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, sejumlah 10-15 halaman (5000-7000 kata), diketik dengan tipe huruf Calibri ukuran 12, Justify, spasi 1, pada kertas ukuran kwarto dan atau layar Word Document dan dikumpulkan melalui alamat email pada ([email protected]).
- Sistematika penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul komprehensif dan jelas dengan mengandung kata-kata kunci. Judul dan sub bagian dicetak tebal dan tidak boleh lebih dari 15 kata. Nama ditulis tanpa gelar, institusi, dan alamat email dicantumkan di bawah judul. Abstrak ditulis dalam dua bahasa: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia secara berurutan dan tidak boleh lebih dari 100-150 kata, disertai 3-5 kata kunci. Pendahuluan bersifat uraian tanpa sub bab yang memuat: latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, dan metode penelitian. Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan. Pembahasan disajikan dalam sub bab-sub bab dengan penjudulan sesuai dalam kajian teori feminisme dan atau kajian gender seperti menjadi ciri utama JP. Penutup bersifat reflektif atas permasalahan yang dijadikan fokus penelitian/kajian/ temuan dan mengandung nilai perubahan. Daftar Pustaka yang diacu harus tertera di akhir artikel.
- Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai catatan tubuh (body note), sedangkan keterangan yang dirasa penting dan informatif yang tidak dapat disederhanakan ditulis sebagai Catatan Akhir (endnote).
- Penulisan Daftar Pustaka adalah secara alfabetis dan mengacu pada sistem Harvard Style, misalnya (Arivia 2003) untuk satu pengarang, (Arivia & Candraningrum 2003) untuk dua pengarang, (Candraningrum, Dhewy & Pratiwi 2016) untuk tiga pengarang, dan (Arivia et al. 2003) untuk empat atau lebih pengarang. Contoh:
- Arivia, G 2003, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
- Amnesty International (AI) 2010, Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia, diakses pada 5 Maret 2016, jam 21.10 WIB, http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ngos/AmnestyInternational_for_PSWG_en_Indonesia.pdf
- Candraningrum, D (ed.) 2014, Body Memories: Goddesses of Nusantara, Rings of Fire and Narrative of Myth, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
- Dhewy, A 2014, “Faces of Female Parliament Candidates in 2014 General Election”, Indonesian Feminist Journal, vol. 2 no. 2, h. 130-147.
- “Sukinah Melawan Dunia” 2014, KOMPAS, 18 Desember, diakses 20 Desember 2014, http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/14020061/Sukinah.Melawan.Dunia
- Kepastian pemuatan diberitahukan oleh Pemimpin Redaksi dan atau Sekretaris Redaksi kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat akan dibalas via email dan tidak akan dikembalikan. Penulis yang dimuat kemudian akan mendapatkan dua eksemplar JP cetak.
- Penulis wajib melakukan revisi artikel sesuai anjuran dan review dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari.
- Hak Cipta (Copyright): seluruh materi baik narasi visual dan verbal (tertulis) yang diterbitkan JP merupakan milik JP. Pandangan dalam artikel merupakan perspektif masing-masing penulis.