Undangan Menulis
TOR JP 84 Februari 2015
Budaya, Tradisi, Adat & Status Perempuan
Budaya, Tradisi, Adat & Status Perempuan
Jalan, jejak dan praktik budaya, tradisi, adat dan hukum informal masih melekat, menyatu dan ada dalam praktik masyarakat Indonesia ‘modern’. Jejak dari bahaya beberapa praktik tradisi seperti kawin-paksa, tes keperawanan, sunat perempuan, dan lain-lain bahkan masih utuh dipraktikkan di kota-kota yang diklaim sebagai lebih modern dari lokus-lokus masyarakat tradisional. Indonesia dibuat kaget oleh institusi kepolisian yang mewajibkan tes keperawanan pada calon polisi wanita pada November 2014 lalu. Tak hanya tes keperawanan yang mencederai hak perempuan tetapi praktik sunat perempuan juga masih subur di berbagai belahan dunia, dan praktik budaya ini telah menyumbang ¾ persen dari penyebab kematian anak-anak perempuan di Afrika, Asia Tengah dan Selatan. Praktik sunat perempuan juga masih ada di Indonesia. Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyatakan bahwa “kebebasan atas nilai budaya, tradisi dan adat yang melindungi moral tertentu harus berlandaskan pada prinsip bahwa ia tidak berbasis pada satu tradisi tunggal dan atau yang melanggar hak asasi manusia perempuan” (ICCPR, 13 Nov 2012). Hampir seluruh agama-agama di dunia tak bebas dari jejak praktik-praktik yang membahayakan nyawa anak-anak perempuan, perempuan dan minoritas seksual.
Hak agama dan hak budaya umumnya diekspresikan secara kolektif dan komunal, yang kemudian, pada tingkat tertentu, tak lagi ramah dan peduli pada perempuan dan minoritas rentan. Supremasi hak-hak individual dicurigai sebagai sesuatu yang berbau “barat” dan kemudian tidak kompatibel dan sesuai dengan kondisi Indonesia meski Indonesia telah mengadopsi sistem hukum dan kenegaraan demokratis yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Ketegangan antara hak individu dan hak komunal ini tak hanya melibatkan matra gender, tetapi juga matra ras/etnis dan kelas sosial, ekonomi dan politik. Dan dalam hierarki matra tersebut, kemudian perempuan diwajibkan untuk loyal pada agama atau kepercayaan atau sistem budaya yang bisa jadi merugikan dan bahkan melanggar hak-haknya. Kesetiaan perempuan dalam medan diskursif ini kemudian diuji dan melahirkan ekspresi-ekspresi yang terpolarisasi. Dalam kajiannya Bronwyn Winter (“Religion, Culture and Women’s Rights: Some general Political and Theoritical Consideration” dalam Women’s Studies International Forum, Vol 29, Issue 4, July-August 2006, hal 381-393), menarasikan bagaimana kemudian HAM perempuan banyak terdistorsi, bias, dan mengalami pelanggaran hebat dalam praktik dan ritual agama dan sejumlah kepercayaan. Misalnya seperti praktik: pernikahan dini, sunat perempuan (membunuh hampir ¾ anak-anak di Afrika), pemaksaan pakaian tertentu pada perempuan (misalnya jilbab pada perempuan di Aceh), pembunuhan perempuan untuk kehormatan keluarga (honor killing), dan lain-lain.
Praktik tafsir atas agama yang lebih berbahaya, bahkan, juga menjadi tren pada dekade terakhir, seperti penembakan atas Malala yang menurut Taliban diharamkan bagi anak perempuan untuk sekolah. Tafsir, produksi legal, dan praktik atas sistem agama dan kepercayaan seringkali mencederai hak asasi manusia anak-anak perempuan. Forum Keyakinan, Kepercayaan & Pemajuan Hak Perempuan dan UNHC-HR (United Nations High Commissioner for Human Rights) menyatakan bahwa dunia harus melawan praktk diskriminasi dan intoleransi yang terus menaik dalam dekade terakhir atas nama agama dan aliran kepercayaan. Termasuk di dalamnya adalah melawan tradisi dan sistem kebudayaan yang jelas-jelas melanggar HAM Perempuan. Tradisi, kepercayaan dan nilai telah berubah sepanjang zaman, dan tak bisa lagi ditafsirkan sebagai praktik tunggal dan universal karena setiapnya berdiri dalam konteks masing-masing. Adaptasi HAM dalam praktik-praktik tersebut tidak mudah karena sistem agama dan kepercayaan dianggap sebagai tunggal dan universal—padahal praktiknya sangat kontekstual dan terikat budaya setempat. Hal ini kemudian memicu usaha-usaha untuk membuka ruang tafsir yang lebih ramah HAM perempuan. Ini kemudian membawa kemajuan, seperti dipromosikannya perempuan untuk dapat sekolah, atau menjadi hakim di Indonesia—sebuah hal yang mustahil terjadi di Timur Tengah, misalnya. Gerakan seperti Musawah, Kesetaraan, yang dipimpin oleh perempuan Muslim secara publik telah berhasil mengintegrasikan pengajaran Islam, hak universal manusia, nilai kesetaraan dan keadilan. Pendekatan mereka sangat sederhana, yaitu “agama tak lagi merupakan hambatan bagi kesetaraan perempuan dan sumber kebebasan bagi manusia”. (dc)
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 20 Januari 2015
dikirim pada Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP84 (yaitu: Budaya, Tradisi, Adat dan Status Perempuan), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis. Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Hak agama dan hak budaya umumnya diekspresikan secara kolektif dan komunal, yang kemudian, pada tingkat tertentu, tak lagi ramah dan peduli pada perempuan dan minoritas rentan. Supremasi hak-hak individual dicurigai sebagai sesuatu yang berbau “barat” dan kemudian tidak kompatibel dan sesuai dengan kondisi Indonesia meski Indonesia telah mengadopsi sistem hukum dan kenegaraan demokratis yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Ketegangan antara hak individu dan hak komunal ini tak hanya melibatkan matra gender, tetapi juga matra ras/etnis dan kelas sosial, ekonomi dan politik. Dan dalam hierarki matra tersebut, kemudian perempuan diwajibkan untuk loyal pada agama atau kepercayaan atau sistem budaya yang bisa jadi merugikan dan bahkan melanggar hak-haknya. Kesetiaan perempuan dalam medan diskursif ini kemudian diuji dan melahirkan ekspresi-ekspresi yang terpolarisasi. Dalam kajiannya Bronwyn Winter (“Religion, Culture and Women’s Rights: Some general Political and Theoritical Consideration” dalam Women’s Studies International Forum, Vol 29, Issue 4, July-August 2006, hal 381-393), menarasikan bagaimana kemudian HAM perempuan banyak terdistorsi, bias, dan mengalami pelanggaran hebat dalam praktik dan ritual agama dan sejumlah kepercayaan. Misalnya seperti praktik: pernikahan dini, sunat perempuan (membunuh hampir ¾ anak-anak di Afrika), pemaksaan pakaian tertentu pada perempuan (misalnya jilbab pada perempuan di Aceh), pembunuhan perempuan untuk kehormatan keluarga (honor killing), dan lain-lain.
Praktik tafsir atas agama yang lebih berbahaya, bahkan, juga menjadi tren pada dekade terakhir, seperti penembakan atas Malala yang menurut Taliban diharamkan bagi anak perempuan untuk sekolah. Tafsir, produksi legal, dan praktik atas sistem agama dan kepercayaan seringkali mencederai hak asasi manusia anak-anak perempuan. Forum Keyakinan, Kepercayaan & Pemajuan Hak Perempuan dan UNHC-HR (United Nations High Commissioner for Human Rights) menyatakan bahwa dunia harus melawan praktk diskriminasi dan intoleransi yang terus menaik dalam dekade terakhir atas nama agama dan aliran kepercayaan. Termasuk di dalamnya adalah melawan tradisi dan sistem kebudayaan yang jelas-jelas melanggar HAM Perempuan. Tradisi, kepercayaan dan nilai telah berubah sepanjang zaman, dan tak bisa lagi ditafsirkan sebagai praktik tunggal dan universal karena setiapnya berdiri dalam konteks masing-masing. Adaptasi HAM dalam praktik-praktik tersebut tidak mudah karena sistem agama dan kepercayaan dianggap sebagai tunggal dan universal—padahal praktiknya sangat kontekstual dan terikat budaya setempat. Hal ini kemudian memicu usaha-usaha untuk membuka ruang tafsir yang lebih ramah HAM perempuan. Ini kemudian membawa kemajuan, seperti dipromosikannya perempuan untuk dapat sekolah, atau menjadi hakim di Indonesia—sebuah hal yang mustahil terjadi di Timur Tengah, misalnya. Gerakan seperti Musawah, Kesetaraan, yang dipimpin oleh perempuan Muslim secara publik telah berhasil mengintegrasikan pengajaran Islam, hak universal manusia, nilai kesetaraan dan keadilan. Pendekatan mereka sangat sederhana, yaitu “agama tak lagi merupakan hambatan bagi kesetaraan perempuan dan sumber kebebasan bagi manusia”. (dc)
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 20 Januari 2015
dikirim pada Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP84 (yaitu: Budaya, Tradisi, Adat dan Status Perempuan), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis. Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan