Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Jurnal Perempuan pertama kali terbit memang pada bulan Agustus 1996. Namun pada tanggal 25 Juli 1996, Jurnal Perempuan mendapatkan izin untuk terbit sebagai jurnal. Pada zaman Orde Baru semua majalah dan jurnal memerlukan izin dan pengurusannya dirasakan sangat merepotkan. Perlu dipahami bahwa zaman tersebut adalah zaman yang mengontrol ketat informasi apalagi yang berkaitan dengan politik. Jurnal Perempuan memberikan alasan ketika itu, bahwa jurnal ini adalah jurnal “wanita” sebab kata politik apalagi feminis tentu akan menjadi masalah besar. Meski pada waktu itu Jurnal Perempuan ingin sekali memiliki izin resmi seperti majalah-majalah lainnya, namun pada akhirnya karena perjalanan izin yang melelahkan, Jurnal Perempuan cukup berbahagia dengan terbitnya ISSN. Memang agak mengkhawatirkan karena ISSN pada waktu itu tentu tidak dianggap cukup. Namun, kami merasa aman sebab setiap kali kami menyebutkan jurnal kami adalah tentang “wanita”, pihak yang berotoritas terlihat santai dan menganggap ini paling bacaan ringan ibu-ibu tentang rumah tangga atau alat kecantikan. Kami pun pada waktu itu tidak terlalu marah, karena kami paham benar bila kami menunjukkan sedikit emosi, maka akan berurusan panjang. Jadi, kami hanya tersenyum kecil dan mengangguk perlahan. Apalagi ketika mereka melihat bahwa nama saya tertera sebagai penanggung jawab atas jurnal tersebut, mereka bercanda dan tertawa senang bahwa pemimpin redaksinya bernama “Gadis”. Amat mengesalkan memang, tapi semua perjuangan ada pengorbanannya meski harus menahan emosi. Dan rupanya rasa emosi yang ditahan tersebut berlanjut ketika harus menawarkan kesana-kemari jurnal kami agar dapat dipasarkan di toko-toko buku termuka. Saya ingat ketika saya datang ke sebuah toko buku terkenal dan duduk menunggu dipanggil di bagian penawaran buku. Kebetulan ruangan tersebut tidak ber-AC dan penuh asap rokok, rupanya jarang sekali agen buku yang berjenis kelamin perempuan, rata-rata pria yang merokok pula. Sudah lama menunggu baru nama saya dipanggil, “Gadis”, dan kembali orang yang memanggil tersenyum-senyum. “Wah ini majalah yang ditunggu-tunggu isinya semua tentang wanita..wanita memang harus pintar dandan dan masak…” Tanggapan saya pada waktu itu, saya tidak ingin berpanjang lebar berdiskusi tentang feminisme dengan orang ini, yang penting bagaimana Jurnal Perempuan dapat dijual di toko ini. Tanpa melihat jurnal yang saya pegang, orang tersebut memberikan izin dan seminggu kemudian Jurnal Perempuan terpajang di toko buku tersebut. Ada perasaan bangga melihat Jurnal Perempuan terpajang di rak-rak toko buku ketika itu, meski dijejerkan di bagian buku masak-memasak dan keperluan kewanitaan lainnya. Sepanjang jalan pulang, giliran saya tersenyum senang, memang apa yang saya idamkan bahwa Jurnal Perempuan dapat sejajar berjejer dengan jurnal politik, jurnal ekonomi atau majalah Tempo tidak terpenuhi, tapi satu tahap telah terlewati, satu langkah kecil telah dimulai dan segudang ide bermunculan. Bermula Hanya Dengan Sebuah Ide Jurnal Perempuan memang lahir dengan hanya sebuah kekuatan ide. Tak ada uang, tak ada iklan berjejer dan tak ada konglomerat yang mau berinvestasi menerbitkan jurnal yang hanya membicarakan soal-soal perempuan. Jadi tidak mengherankan awal terbit Jurnal Perempuan, kantor pun tidak ada, hanya sebuah ruang studi saya yang dijadikan tempat rapat, editing, berdebat dan menulis. Pada bulan-bulan pertama memang yang rapat, mengedit, berdebat dan menulis, ya, hanya saya sendiri ditemani kursi-kursi kosong. Baru beberapa waktu kemudian, Jurnal Perempuan berkembang perlahan-lahan dan mendapatkan dukungan dari The Ford Foundation. Saat itu Jurnal Perempuan sudah memiliki “kantor” di belakang halaman rumah saya dan tidak akan saya lupa ketika staf Ford Foundation datang berkunjung. Ibu Lia dan ibu Bianti bertanya kepada saya kira-kira Jurnal Perempuan mau seperti apa? Saya jawab dengan penuh percaya diri ingin seperti majalah Prisma. Mereka begitu baik mengiyakan mimpi-mimpi saya meski kita sama-sama tahu tidak mungkin jurnal yang melabelkan diri feminis dan pertama di Indonesia bisa “survive”. Maka saya sungguh heran dan amat bersyukur bahwa Jurnal Perempuan bisa mencapai usianya yang ke-17 tahun hari ini. Tidak ada yang menyangka dan tidak ada yang percaya termasuk saya sendiri bahwa sebuah penerbitan tanpa modal bisa terus hidup dan eksis. Jurnal Perempuan hanya memiliki kekuatan ide. Pendiri-pendiri Jurnal Perempuan seperti Ibu Ida Dhani, Ibu Toeti Heraty dan Pak Asikin Arif (Alm) dan saya sendiri, semua berlatar belakang pengajar Filsafat UI. Hanya Ibu Toeti Heraty yang mempunyai pengalaman bisnis, namun Ibu Toeti mengundurkan diri dari organisasi kami di tahun 2000. Tak lama kemudian Pak Asikin meninggal dunia dan tinggal Ibu Dhani yang sudah mulai sepuh. Namun semangat dan kekuatan ide di Jurnal Perempuan terus berkobar dengan bergabungnya Karlina Supelli bahkan laki-laki pun ikut memperkuat gerakan feminis seperti Nur Iman Subono dan Rocky Gerung, kesemuanya juga berlatar belakang pendidikan Filsafat dan pengajar di UI. Tenaga-tenaga muda dari berbagai bidang banyak yang singgah di Jurnal Perempuan, ada yang menetap dan ada yang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Namun rata-rata meski tidak lagi di Jurnal Perempuan masih tetap membantu sebisa mereka. Sedangkan mereka yang menetap tetap aktif, kreatif dan berdedikasi mengelola Jurnal Perempuan seperti Mariana Amiruddin, Deedee Achriani dan kini Dewi Candraningrum. Selain segudang ide, Jurnal Perempuan memang memiliki segudang semangat. Akan tetapi, setiap tahun kami selalu dihantui apakah Jurnal Perempuan akan berlanjut dan apakah tahun ini nafas Jurnal Perempuan yang terakhir. Banyak masalah yang dihadapi Jurnal Perempuan soal dana, tenaga dan pengelolaan manajemen yang terus menerus perlu disempurnakan. Apalagi bila harus memikirkan ongkos percetakan, listrik dan kontrakan rumah yang setiap tahun harus diperbaharui. Setiap akhir tahun kami selalu deg-degan, adakah dana untuk meneruskan Jurnal Perempuan di tahun depan? Adakah tenaga yang masih mau membantu kami? Adakah organisasi dan institusi yang masih mau mendukung kami? Dukungan Terhadap LSM Saya pikir kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak hanya dialami oleh Jurnal Perempuan. Hampir semua LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat mengalaminya. LSM di Indonesia masih barang baru dan belum memiliki sistim manajemen profesional yang memadai. Misalnya memiliki kecanggihan di bidang promosi, pencarian dana dan penggalangan dana masyarakat yang canggih. Sebagian besar masyarakat pun masih belum mau berinvestasi pada LSM. LSM masih dicap sebagai tukang “ngomel”, suka berdemo dan membuat keributan. Padahal LSM tidak sama dengan kelompok preman yang suka melarang-larang orang berkeyakinan lain, menutup-nutup usaha orang dengan paksa. LSM yang bergerak di bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat, sebagian besar mendukung demokrasi, toleransi dan keadilan gender. Tentu patutlah LSM-LSM seperti ini didukung oleh masyarakat bahkan didukung oleh korporasi seperti di negara-negara maju. Pemerintah di negara maju menghimbau korporasi untuk menyumbang kepada LSM, dan bila perusahaan tersebut memberikan dana kepada LSM, mereka diberikan kompensasi keringanan pajak. Tidak terbatas pada perusahaan, demikian pula individu yang memberikan dana ke LSM juga mendapatkan kompensasi keringan pajak. Jadi kerja LSM benar-benar dihargai dan dianggap bermartabat. Pada usianya yang ke-17 tahun ini sebenarnya Jurnal Perempuan patut bersyukur. Sebab dukungan masyarakat (relawan-relawan yang bermunculan di Jurnal Perempuan), pemerintah dan korporasi meningkat. Masyarakat mendukung dengan menjadi SJP (Sahabat Jurnal Perempuan), program yang memastikan mereka bukan hanya berlangganan tapi juga mendukung kegiatan-kegiatan Jurnal Perempuan. Korporasi mulai tertarik dengan penerbitan Jurnal Perempuan dan mulai pula mendukung kegiatan-kegiatan Jurnal Perempuan dengan menjadi SJP- Perusahaan, meskipun baru 1 perusahaan yang berhasil kami raih. Pemerintah pun sudah menjadi mitra kami dalam berdiskusi dan bekerja sama memajukan hak-hak perempuan. Tentu kami berterima kasih tak terhingga dengan dukungan semua pihak. Bila Hillary Clinton mengatakan “It takes a village to raise a child”, maka saya berpikir perlu juga satu kampung, bangsa dan dunia untuk mendukung pengetahuan perempuan. Jurnal Perempuan tidak akan dapat melakukan kegiatan pencerahan dan kesetaraan sendirian. Kami memerlukan sahabat yang peduli dengan penerbitan Jurnal Perempuan. Dukungan Pengetahuan Perempuan Apakah yang istimewa dari pengetahuan perempuan? Pengetahuan perempuan sangat penting sebab pengetahuan perempuan diformulasikan lewat pengalaman kehidupan perempuan. Jurnal Perempuan tidak pernah terlepas dari bagian gerakan, cerita dan pengalaman perempuan. Setiap edisi yang kami hadirkan mengungkapkan apa yang kami temukan di lapangan, apa yang dikeluh kesahkan dan diimpikan oleh perempuan Indonesia. Setiap pengumpulan data dan pemformulasian pengetahuan yang dituangkan di Jurnal Perempuan disusun dengan bahasa dan kognisi yang sensitif pada kepentingan perempuan. Gerakan pengetahuan perempuan memang baru dimulai pada tahun 1970-an dan masih merupakan hal yang baru di dunia akademisi. Namun, pengetahuan gender kini sudah merasuk di semua bidang ilmu. Pengetahuan gender ini pula yang menimbulkan teori-teori lainnya yang berkepentingan dengan kelompok-kelompok marjinal seperti etnis dan agama minoritas serta gay, lesbian dan transgender. Selama 17 tahun Jurnal Perempuan telah bergumul dengan teori, kisah kehidupan dan aksi-aksi perempuan yang hampir semuanya diliputi ketegangan dan kepedihan. Persoalan trafficking, kekerasan domestik, poligami, pengontrolan tubuh dan pakaian perempuan serta kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal dan merugikan perempuan. Selama 17 tahun Jurnal Perempuan menyaksikan kehidupan perempuan yang bergulir dari satu masa ke masa lainnya. Tak semuanya mengandung kesedihan, ada yang cukup menggembirakan dan berhasil diperjuangkan. Ketika Jurnal Perempuan memfasilitasi dan mengorganisir demonstrasi Suara Ibu Peduli, membantu dan menegakkan demokrasi serta mencanangkan Reformasi dengan amunisi “nasi bungkus”. Ketika Jurnal Perempuan ikut menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban trafficking di Batam dan Malaysia, melihat kegembiraan mereka kembali ke kampung halaman mereka setelah disekap dan dijadikan budak seks. Ketika Jurnal Perempuan ikut menentang kekerasan berbasis agama dan terus menyuarakan masyarakat yang toleran. Sebuah kelompok yang dulu begitu menindas dengan alasan agama, kini tidak lagi diterima dengan mudah dan bahkan bisa dilawan. Perlawanan terhadap kelompok penindas harus terus dilakukan tanpa lelah. Dari seluruh pengalaman dan jejak-jejak perjuangan keadilan dan kesetaraan, Jurnal Perempuan berusaha mengungkapkannya dalam audio, video dan penulisan di Jurnal Perempuan. Menulis adalah senjata kami, pena adalah goresan hati kami, jurnal adalah persembahan kami untuk bangsa ini. Selamat ulang tahun Jurnal Permpuan!
LRC-KJHAM
21/8/2013 07:53:21 am
Selamat Ulang tahun untuk Jurnal perempuan, Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|