Oleh: Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi JP Lukisan yang menjadi cover Edisi No 80 Tubuh Perempuan dalam Ekologi kali ini adalah “Tiga Tubuh Tanah” (akrilik di atas 140cmx140cm kanvas, tahun 2013) karya Idris Brandy. Tanah yang melahirkan segala makanan melalui tumbuhan dan mengandungkan air untuk tubuh, demikian juga, tubuh-tubuh bangkai yang memberikan gizi kesuburan pada tanah setelah kematiannya. Tubuh dan tanah adalah dua perihal yang merupakan rangkaian reinkarnasi dan melambangkan keterhubungan yang lekat. Seharusnya antara keduanya tak ada hirarki. Tetapi kebudayaan manusia meniscayakan di dalam dirinya fasisme manusia atas alam, hirarki tubuh atas tanah. Dan dia meletakkan tanah, binatang, perempuan dalam sistem “pelayanan” (services) atas idealitas kemanusiaan dan sebagai “sumber daya” (resources). Hubungan yang setara antara tubuh dan tanah, sebelumnya, tak lagi setara. Bahkan, binatang dan perempuan, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Kata-kata “buas” dan “predator”, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Peradaban mengenal makian-makian berikut: Dasar Anjing! Son of a Bitch! Lonthe! Asu! Bahkan tahi manusia yang menyuburkan juga menjadi basis makian dalam Shit! Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya” dan “ancaman” dari alam, binatang buas dan perempuan. Dus lahirlah diksi “bencana alam”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (misalnya melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban—kita mengenal beberapa banyak hewan mulai menjelang punah, sebagai contoh Harimau Sumatera, Serigala Siberia, Cheetah Iran, berbagai Burung Tropis Eksotis dan masih banyak lagi. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban sang manusia. Sebelumnya spesies manusia mengenal baik kondisi alam dan tanda-tandanya ketika alam mengabarkan berita-beritanya kepada manusia. Akan tetapi dengan semakin berkembanganya manusia dengan peradaban, dengan kebudayaannya, manusia semakin jauh dari alam. Spesies manusia membangun kebudayaan tanpa alamnya (culture without nature), dan manusia tak lagi sensitif terhadap swara alam. Bahkan pandangan dunia manusia telah menghilangan alam dalam axis mundi-nya. Alam tak lagi pusat wacana manusia. Manusialah, yang sekarang, menjadi pusat wacana bagi ekosistem. Dan lebih mengerikan, manusia menolak tubuhnya sendiri, dan hidup secara tidak organik. Manusia tergantung pada mesin-mesin, pada obat-obat, pada alat-alat, dan tubuh manusia berubah menjadi perkakas bagi egonya. Visi ini menjadi demikian destruktif terutama di negara-negara yang sedang berkembang, yang dilimpahi dengan kekayaan alam tak terbatas, seperti Indonesia. Tahun 2013 ini catatan kehilangan hutan di Indonesia merupakan catatan kehilangan terbesar dalam abad ini. Semuanya dipicu oleh pandangan dunia manusia yang tak lagi menjadikan alam sebagai pusat wacana karena alam adalah sumber kapital, tak lebih, tak kurang. Ini adalah kejahatan yang tak terpemerikan, yang tak terpemanai lagi, karena sesungguhnya manusia tak memiliki kesanggupan mengganti hutan itu, secara keseluruhan, dalam hitungan hidupnya. Manusia butuh generasi bergenerasi untuk dapat menumbuhkan kembali hutan. Ratusan tahun lamanya—minimal 300 tahun untuk membuat tanah subur kembali, dan manusia tak mampu melakukannya sendirian kecuali bahwa dia menitip warisan kepada anak cucunya untuk melakukan itu secara berjenjang, secara bergenerasi. Sementara peradaban manusia merusak kesuburan tanah hanya dalam hitungan hari, bahkan detik! Eksploitasi berlebih atas Bumi, atas Alam, juga piaraan atas hewan dengan cara-cara tak “manusiawi” (“hewani”) merupakan penanda bagaimana spesies manusia tak lagi mengenal tubuhnya sendiri sebagai salah satu spesies binatang yang tak bisa hidup tanpa mereka. Tubuh manusia, sesehatnya, adalah tubuh yang hidup dalam harmoni dengan alam. Tubuh-tubuh manusia sekarang berubah menjadi perkakas, menjadi mesin, bagi egonya, yang tak lagi digubris atau diurus oleh akal manusia sendiri untuk hidup alamiah bersama alam, bersama binatang, bersama ekosistem. Dus ada persoalan politis yang masuk dalam kesadaran ekologis manusia ketika itu menyangkut pandangan dunianya. Kesadaran ini tidak bisa dibangun tanpa membangun terlebih dahulu konstruksi alam dan deklarasi kesaling-tergantungan manusia (intra-inter-dependence). Rekonsiliasi antara manusia dan non manusia dan kekuasaan hegemonik spesies manusia ini sudah terbangun demikian kuat dalam struktur sains modern, dimana ilmu pengetahuan menjadikan alam sebagai “objek penelitian”, kemudian “objek eksploitasi” karena dia menawarkan “kapital”. Pengalaman-pengalaman spiritual atas alam, sensitifitas manusia atas alam, kemudian tak lagi masuk dalam hitungan nomenklatur kebudayaan dari berpengetahuan. Tubuh—sebagai manifestasi tanah—tak lagi bermakna bagi manusia, selain sebagai kapital dan perkakas ego. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|