"Saya melihat kepala teman saya digondol anjing." “Sungai dekat rumah saya tersumbat karena timbunan mayat." "Bapak dan paman dikeroyok massa, dan dibantai di depan mata saya". (Inilah kisah dari beberapa saksi kepada saya tentang periode kelam di Indonesia, periode dimana terjadi salah satu pembunuhan massal terbesar di dunia.) Kebanyakan dari orang-orang ini menyatakan bahwa inilah pertama kali mereka telah menguak kejadian ngeri ini kepada orang lain, di luar keluarga mereka. Sebagian besar menyimpan kisah ini untuk diri mereka sendiri selama bertahun-tahun. Tragedi yang terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu, telah dibungkam. Ketakutan masih dominan diantara para korban, dan para preman masih berkeliaran dengan bebas untuk melecehkan mereka. Front Anti komunis Indonesia (FAKI) menyerang pertemuan para keluarga korban di Yogyakarta pada 27 Oktober tahun lalu. Baru-baru ini, pada tanggal 16 Februari, FPI membubarkan pertemuan para eks tapol di Semarang Jawa Tengah. Padahal, mereka adalah para manula yang sedang menjenguk sahabat yang sedang sakit. Inilah kriminalitas yang sempurna: saat korban disulap menjadi pesakitan, dan keluarganya dirundung teror dan ketakutan. Para pembantai bukan lagi penjahat, tetapi pahlawan yang dielukan. Apalagi bila korbannya perempuan. Karena kasus pemerkosaan juga seringkali menyudutkan korban. Sudah bukan rahasia, para tapol perempuan sering mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual di penjara. Pekerjaan rumah para kriminal selain menyembunyikan kejahatan adalah melestarikan hierarki, dimana sang korban selalu berada para posisi dan status sosial tak berdaya, sehingga mereka tidak bisa berontak atau menuntut haknya. Hal serupa juga sempat saya alami. Papa saya ditahan oleh Suharto pada 1966-1969 karena keterlibatannya dalam organisasi kiri. Seperti perempuan lain yang harus berjuang saat suami mereka hilang atau ditahan, mama menghidupi anak-anaknya sendiri selama beberapa tahun. Namun, mungkin inilah salah satu bukti kekuatan perempuan. Bagi mereka yang ayahnya hilang atau ditahan, sang ibu biasanya dengan gigih dan cepat mempertahankan keluarga dan anak-anaknya. Sebaliknya, bila ibu yang ditahan atau hilang, keluarga seringkali tercerai-berai. Dalam hal ini, sebagai orang tua tunggal, perempuan memang masih lebih mandiri. Papa meninggal pada bulan September 1998, beberapa bulan setelah Suharto lengser, namun buku pelajaran di sekolah-sekolah masih saja memuat sejarah bohong tentang kejadian ini. Kebohongan yang akhirnya diyakini oleh banyak orang, tidak terkecuali oleh beberapa anggota keluarga korban sendiri. Banyak dari mereka yang menolak orang tua atau sanak saudaranya hanya karena mereka mendapat gelar “komunis”. Bahkan setelah Suharto mati, rekayasanya masih bertahan. Masih menghantui para korban dan keluarganya. Karena itulah, saya begitu ingin menulis tentang kisah keluarga saya, tapi mama melarang, karena takut akan dampak dari tulisan saya. Dan saya menurut, karena saya tahu betapa pedih hidupnya setelah papa ditangkap. Keinginan itu saya pendam. Kata “komunis” masih dianggap sebagai penyakit ganas yang tidak saja menurun tapi juga menular. Tapi film The Act of Killing (TOAK) membuat keinginan saya bangkit kembali. Tentu saja film The Act of Killing bukanlah fillm yang pertama kali menggambarkan tentang pembunuhan massal itu. Telah ada beberapa film lain yang merekam tentang kejadian ini seperti Shadowplay, Forty Years of Silence dan Kado buat Rakyat Indonesia. Apa yang berbeda dari film ini? Bila film sebelumnya menguak kesaksian dan penderitaan para korban, TAOK menyajikan pengakuan para jagal, yang dengan bangga berkoar tentang berbagai pembunuhan dan kesadisan yang telah mereka lakukan. Bila setelah menonton film-film sebelumnya, banyak orang bisa berkata: “Begitulah komunis, mereka akan mengada-ada.” Film TAOK bisa membungkam kesinisan ini. Karena kalau para penjagal sendiri telah menyatakan di depan kamera tentang kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, bagaimana mereka bisa mengabaikan kesaksian para korban? Karena itu, saya cukup terkejut dengan beberapa komentar yang menyatakan bahwa TAOK hanyalah film yang memanjakan dan bahkan merayakan kesaksian para jagal. Karena justru rasa kepahlawanan para jagal dipertanyakan dalam film ini. Dan justru dengan film ini kita lebih menyadari bahwa kesaksian kebanyakan korban dalam film-film sebelumnya belumlah apa-apa. Kebrutalan yang luar biasa dikuak oleh TAOK dengan berbagai pengakuan jagalnya. Film ini telah membuat saya lebih mengerti ketakutan dan penderitaan mama. Namun bersamaan dengan itu, saya juga bertambah yakin untuk tidak lagi menuruti ketakutan mama, yang membuat bungkam tidak saja dirinya sendiri tapi juga saya. Karena ketakutan adalah salah satu senjata yang ampuh dari para penguasa. Dengan ketakutan, para penguasa tidak perlu berbuat apapun untuk mempertahankan cengkeraman mereka. Ketakutan akan bekerja untuk mempertahankan ideologi dan manipulasi penguasa. Seperti juga yang terjadi pada saya, yang telah dibungkam karena ketakutan mama. Karena itu, film TAOK punya arti tersendiri yang begitu dalam, bagi saya. Film ini telah membuat keterbungkaman saya terusik. Dengan melawan kebungkaman saya sendiri, saya berharap bisa membuka kebungkaman-kebungkaman yang lain. Karenanya, selain kisah keluarga saya sendiri, saya juga mengumpulkan kisah-kisah insan lain, yang anggota keluarganya telah menjadi korban keganasan militer dan penguasa Orde Baru pada tahun 1965. Kita, yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya, karena teror yang berkelanjutan, sekarang menolak diam. Karena dengan menolak diam, kita ikut melawan manipulasi sejarah yang masih merayakan pembunuhan massal. Manipulasi yang ikut mendukung kepercayaan: Bila membunuh 1 atau 2 orang, anda adalah kriminal. Bila membunuh ratusan atau ribuan orang, anda adalah pahlawan. Dan bila membumihanguskan seluruh manusia di dua kota, dan menyisakan 1 keluarga saja, anda adalah Tuhan. London, 30 Maret 2014 2/4/2014 02:57:17 am
Ibu Soe yang baik saya hanya ingin menyatakan, jika Anwar Kongo yang jadi Jagal dalam film The Act of Killing, keterangannya diragukan, bahkan bukanlah jagal di masa itu. Hanya orang yang mendengar cerita dari mulut ke mulut lantas ingin terkenal dengan mengaku sebagai jagal. Ibu boleh datang ke Medan untuk riset tentang hal tersebut, bisa hubungi saya nantinya, tks Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|