Delapan belas tahun yang lalu, saat feminisme masih dianggap kata yang tabu, seorang teman yang kebetulan adalah pustakawan, memperkenalkan saya kepada Jurnal Perempuan. Sebuah kekosongan seolah terisi. Media massa di Indonesia tidak sedikit saat itu. Namun, berita-berita tentang perempuan seringkali timpang. Berita pemerkosaan masih sering menyalahkan perempuan. Tokoh-tokoh yang diangkat adalah lelaki, sedangkan bila tokoh perempuan diangkat pun, kecantikan dan peran mereka terhadap keluargalah yang ditonjolkan. Jurnal Perempuan telah memulai. Menampilkan perempuan tidak semata sebagai tubuh indah yang dikagumi, atau sosok yang hanya menjadi pendamping lelaki. Tetapi sebagai perempuan dengan berbagai kerumitan, dinamika, keberagaman. Karena perempuan tidak hanya satu atau dua. Karena perempuan mempunyai keunikan sendiri. Mungkin Jurnal Perempuan tidak mempunyai oplah ratusan ribu atau jutaan seperti media massa lainnya. Mungkin, jurnal ini tidak sepopuler berbagai majalah atau jurnal populer lain. Namun, seorang Nabi seringkali menghadapi berbagai halangan, berbagai kesendirian dan kesepian. Karena ia melawan arus. Sebuah hal yang tidak mudah. Seorang Nabi seringkali mengalami pengucilan bahkan penganiayaan dalam masyarakatnya sendiri. Tentu saja, Jurnal Perempuan bukanlah Nabi. Tapi visi dan misi yang disampaikan menyerupai Nabi; tanpa harus dinobatkan sebagai Nabi, tanpa harus dikultuskan atau membangun sebuah fundamentalisme baru. Justru karena itulah, Jurnal Perempuan harus tetap hidup. Harus tetap berlanjut. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|