Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan masuk kategori daerah termiskin di Indonesia, demikian penjelasan Kepala Bappeda Kabupaten Pangkep, Syahban Sammana dalam sebuah acara Training Kepemimpinan Perempuan yang diselenggarakan oleh YKPM bekerjasama dengan Institut KAPAL Perempuan. Mayoritas penduduk miskin di wilayah Kabupaten Pangkep tersebar di empat kecamatan kepulauan dan masuk dalam kategori daerah tertinggal. Daerah tersebut yakni Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kecamatan Liukang Tangaya, Kecamatan Liukang Kalukuang Massalima (Kalmas), dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. Sebagai bentuk kepedulian dan pengabdian masyarakat, YKPM Sulawesi Selatan yang merupakan mitra Institut KAPAL Perempuan melakukan pendampingan terhadap Kabupaten Pangkep dengan fokus pendampingan pada perempuan (ibu-ibu) miskin penerima manfaat program perlindungan sosial. Dalam melakukan pendampingan terhadap perempuan miskin penerima manfaat program perlindungan sosial di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, yakni di 4 (empat) desa: Mattiro Kanja, Mattiro Uleng, Mattiro Baji dan Mattiro Bombang yang mencakup 10 wilayah kepulauan, meliputi: pulau Salemo, Sagara, Sabangko, Sakuala, Sapuli, Satando, Saugi, Sabutung, Bangko-Bangkoang dan Kulambing ditemukan sebuah isu krusial yaitu banyaknya perkawinan di usia anak. Perkawinan di usia anak yang terjadi di wilayah ini dikarenakan banyaknya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh akhirnya mereka harus mengurus anak dan rumah tangga. Karena anggapan ini pulalah maka banyak kasus putus sekolah pada anak perempuan di kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan ini. Rismawati, salah seorang anggota Sekolah Perempuan Pulau menjelaskan bahwa sebenarnya dia bercita-cita melanjutkan sekolahnya sampai ke perguruan tinggi. Tapi apalah daya, setelah lulus SD dia hanya diberi kesempatan melanjutkan pendidikan Kejar Paket B. Setelah selesai menempuh Kejar Paket B, dia tidak diizinkan oleh orang tuanya melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yakni mengikuti Kejar Paket C. Alasan orang tuanya karena mereka tidak ada biaya. Dan walaupun sudah mencoba bernegosiasi dengan orang tua untuk bekerja agar dapat membiayai sekolah menempuh Kejar Paket C secara mandiri, tetapi orang tuanya belum juga mengabulkan permintaannya. Kali ini alasan mereka kembali ke alasan semula bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga. Kejadian yang lebih ironis dialami oleh Dewi. Dewi sudah dinikahkan oleh orang tuanya sejak usia 9 tahun. Kala itu dia bahkan belum mengalami masa menstruasi. Betapa hancur hatinya, mengingat cita-citanya melanjutkan sekolah dan mewujudkan impiannya menjadi seorang Polwan harus kandas di tengah jalan. Dan sekarang di usianya yang sangat belia dia harus melayani laki-laki yang belum pernah dikenalnya sebagai suami. Karena kegigihannya menolak melayani suami, diusia 13 tahun barulah dia bisa terbebas dari kewajibannya menjadi istri setelah dia mengajukan gugatan cerai. Dan betapa menyedihkan bahwa di usia 13 tahun dia sudah menyandang status sebagai janda. Beberapa cerita di atas hanyalah sekelumit cerita sedih perempuan-perempuan pulau yang bertaruh memperjuangkan nasibnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan terbebas dari belenggu pernikahan usia anak. Kini, Risma dan Dewi serta perempuan pulau lainnya di Kabupaten Pangkep tidak lagi meratapi kesedihan karena sekarang mereka telah tergabung dan belajar di Sekolah Perempuan Pulau. Kisah sedih dan masalah-masalah yang mereka hadapi karena terlahir sebagai perempuan bukan lagi dianggap masalah pribadi mengingat masalah-masalah tersebut juga menjadi masalah bersama, masalah perempuan pulau dan masalah sosial yang harus dipecahkan dan diperjuangkan bersama. Lewat Sekolah Perempuan Pulau, para perempuan merajut asa menggapai cita-cita menjadi perempuan merdeka. Dalam bahasa Bugis mereka menggambarkan semangatnya, Perempuan pulau bisa tonji! (perempuan pulau juga bisa! red.) Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|