Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa sepuluh tahun sudah berlaku Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disingkat UU PKDRT. UU PKDRT disahkan pada tanggal 22 September 2004. Sebuah undang-undang yang lahir atas keinginan negara untuk melindungi hak asasi manusia di lingkup rumah tangga khususnya perempuan. Bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Lahirnya undang-undang ini memberi angin segar kepada masyarakat umum bahwa negara melindungi warga negaranya sampai di wilayah privat, yakni rumah tangga. Konsekuensi dari pemberlakuan undang-undang ini, hal-hal yang dahulu dianggap tabu dan aib dibicarakan di luar rumah sekarang bisa menjadi delik pidana. Bagi pelakunya bisa dikenakan sanksi penjara untuk menciptakan efek jera. Semangat pemberlakuan undang-undang PKDRT adalah menitikberatkan pada upaya perlindungan terhadap perempuan atau istri, karena merupakan pihak yang paling sering dirugikan akibat perlakuan laki-laki atau suami. Sejak kelahirannya undang-undang PKDRT tak sedikit mengalami kendala dan masalah. Hal ini bisa dipahami karena budaya masyarakat Indonesia dimana kebanyakan suku-sukunya menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Kaum perempuan atau istri lebih dianggap sebagai konco wingking yang wilayah kerjanya hanya meliputi kasur, dapur, sumur (wilayah domestik). Cara pandang dan kultur seperti ini menempatkan kedudukan dan posisi perempuan dalam subordinasi laki-laki. Kuatnya budaya patriarkal dan berkembangnya sistem kekeluargaan yang patrilineal menjadi penghambat dalam membuka kesadaran masyarakat luas bahwa KDRT adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Kita bisa melihat bagaimana sejumlah argumentasi yang mengatasnamakan agama menyatakan bahwa memukul istri bukanlah kekerasan karena hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa sayang dan melindungi perempuan atau istri melakukan kesalahan berikutnya. Suatu hal yang di luar nalar, bagaimana perbuatan memukul dikatakan sebagai tindakan sayang. Sebuah ironi memang. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, perempuan atau istri korban KDRT yang rata-rata tidak mempunyai akses ekonomi karena dilarang bekerja setelah berumah tangga takut melaporkan kekerasan yang menimpanya. Bisa dimaklumi bagaimana mereka para istri atau perempuan lebih memilih diam dan tidak melapor karena selain berhadapan dengan pandangan minor membuka aib keluarga, perempuan juga tak berani melihat masa depan mereka yang suram tanpa bantuan ekonomi dari para suami atau laki-laki. Alasan-alasan di atas menyebabkan mayoritas perempuan korban KDRT menyelesaikan masalahnya tidak ke ranah hukum dengan melaporkan pelaku KDRT. Tetapi mereka lebih memilih berdamai dengan pelaku atau suami. Jikapun mereka sulit menerima kembali pelaku sebagai suami dan kepala rumah tangganya maka hal terbanyak yang ditempuh adalah lewat gugatan cerai di Pengadilan Agama. Hal lain yang mempersulit adalah belum adanya kepastian bagi para perempuan korban untuk mendapatkan perlakuan adil dalam hukum. Ketika mereka melapor, alih-alih mendapat perlindungan dan keadilan, banyak istri atau korban KDRT justru dikriminalisasi oleh suaminya dengan cara melaporkan balik si korban. Banyak pasal yang digunakan untuk membuat tuduhan balik dan menjerat si istri, seperti: pasal pencurian dalam rumah tangga, pasal penelantaran anak dan yang paling sering dikenakan adalah pasal pencemaran nama baik. Bukan karena kebetulan jika para perempuan frustasi dan kalah dalam upayanya mencari keadilan karena faktanya banyak Aparat Penegah Hukum (APH) kita yang tidak memiliki sensivitas dan responsif terhadap korban. Rumitnya prosedur mendapatkan bantuan hukum bagi perempuan yang secara ekonomi lemah dan dilemahkan karena sudah tidak mendapat nafkah dari suami adalah serangkaian persoalan pula. Pelaksanaan undang-undang PKDRT harus berhadapan dengan sejumlah persoalan baik di ranah budaya, hukum dan abainya aparat penegak hukum dalam mengawal pelaksanaan undang-undang. Perubahan cara pandang dan pemberlakuan undang-undang PKDRT jelas merupakan tantangan. Di usianya yang kesepuluh, kiranya perlu dilakukan kajian ulang secara mendalam. Sehingga UU PKDRT tak hanya indah dikonsep tetapi pahit dalam fakta dan realitas. Agar upaya pembelaan terhadap para korban KDRT tidak menyisakan persoalan dan berujung kebuntuan. Jakarta, 8 April 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|