ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Saraswati Dewi: Nyanyian Sukinah

15/9/2014

 
Saraswati Dewi
(Dosen Departemen Filsafat, FIB, Universitas Indonesia)
sarasdewi@yahoo.com
PictureDok. Pribadi
Apakah yang akan dipikirkan Kartini ketika ia melihat para perempuan-perempuan Rembang melakukan protes mempertahankan tanah pertaniannya yang direbut oleh penguasa? Mungkinkah suatu kebetulan bahwa makam Kartini di Desa Bulu terpaut hanya 10 km dari lokasi Ibu-ibu petani mempertahankan tanahnya di kaki Gunung Kendeng? Rembang dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi target pembangunan infrastruktur industri, khususnya pembangungan di wilayah hutan-hutan Gunung Kendeng yang tidak sepatutnya dilakukan. Dalam perjalanan menuju wilayah Pabrik Semen Indonesia saya menatap dengan sedih pepohonan Jati yang berusia puluhan tahun dihancurkan. Sementara pepohonan yang ada di sisi-sisi jalan menuju pabrik, terkulai kekeringan penuh dengan debu putih yang diakibatkan lalu lalang kendaraan proyek.

Sesampainya di lokasi tenda-tenda aksi, Ibu-ibu petani dari desa Tegaldowo dan Timbrangan menyambut dengan ramah. Tenda-tenda berwarna biru tua terbentang sebagai tempat pemukiman mereka selama 71 hari ini. Tenda-tenda tersebut terasa sangat panas khususnya di siang hari pada musim kemarau ini, sementara malam-malam mereka begitu dingin. Seorang anak mungil yang menemani perjuangan Ibunya tersenyum ke arah saya, tidak mengeluh, tidak tersirat lelah, hanya ada keluguan seorang anak-anak yang hidup di kaki pegunungan. Para penduduk di desa-desa ini memang hidup secara sederhana, mengandalkan hasil tani seperti jagung, kacang, dan berbagai buah-buahan sebagai bahan pangan mereka dan juga untuk diperdagangkan.

Ibu Sukinah, salah satu petani yang bersuara keras menolak pabrik PT. Semen Indonesia menjelaskan pada saya bahwa ia bahagia hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak memiliki tabungan di bank, tetapi ia hidup melalui hasil bumi dan ia merasa berkecukupan dengan keadaan itu. Di kala Ibu Sukinah beserta rombongan Ibu-ibu petani mendatangi Komnas HAM di Jakarta, ia bercerita bagaimana perasaannya ketika melihat kerlap-kerlip gedung pencakar langit di Ibukota, ia terpukau dengan segala kemewahan itu, tetapi ia tidak menginginkan hal tersebut. Ia merasa bahagia hidup sebagai petani, ia merasa bangga terhadap pekerjaannya. Ucapan Ibu Sukinah mengingatkan saya tentang ceramah yang dilakukan Vandana Shiva di Ubud perihal pertanian, ia mengatakan bahwa bertani adalah kegiatan yang terdekat dengan tiga kebahagiaan hidup, kebahagiaan antara sesama, dengan alam, dan pada akhirnya dengan Tuhan. Vandana Shiva menegaskan, ada wibawa dan kebanggaan dalam pekerjaan sebagai petani. Melalui aktivitas pertanian yang baik maka sesungguhnya kita bekerja sama dengan alam. Alam sebagai kreator, dan manusia sebagai co-kreator.

Menjelang sore hari, Ibu-ibu menyuguhkan saya dan mahasiswi saya pisang-pisangan yang mereka petik dengan tangan mereka sendiri. Kami menyantapnya dengan hati yang pedih, karena meski tengah hidup sukar di dalam tenda-tenda ini mereka bersusah payah untuk menjamu kami. Pembicaraan kami berkembang membahas bagaimana peliknya perjuangan yang mereka hadapi. Setiap acara temu pejabat daerah maupun pihak investor, mereka selalu diserang dengan dalih bahwa para petani tidak paham laporan Amdal dan petani merintangi upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan perekonomian di Rembang. Ibu Sukinah berkata dengan polos, bahwa Ibu-ibu petani memang tidak bersekolah, dan tidak bisa baca tulis, tetapi ia mengerti alam akan rusak bila pabrik tersebut berdiri. Kekhawatiran Ibu Sukinah memang benar, pembangunan pabrik semen di kawasan Watuputih ini tentu akan berdampak besar terhadap sistem ekologi setempat. Pabrik tersebut akan menyebabkan beberapa permasalahan seperti terenggutnya lahan tani, ternak, lalu menimbulkan polusi dan berbagai penyakit, tetapi yang terpenting adalah merusak sumber mata air di kawasan tersebut.

Dalam laporan yang dibuat oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, dijelaskan bahwa Kawasan Watuputih merupakan kawasan karst yang harus dilindungi. Dari sisi ekologis kawasan karst berfungsi vital sebagai penampung air tanah dalam tampungan yang besar, begitu juga sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa. Penambangan wilayah karst oleh pabrik semen akan menyebabkan kehancuran sungai fungsi hidrologi yang terdiri atas sungai bawah tanah dan sejumlah mata air. Sudah tertera dengan jelas berbagai peraturan RTRW yang menegaskan kawasan Watuputih sebagai kawasan lindung geologi seperti; Perda no. 14 tahun 2014, lalu Perda no. 6 tahun 2010 tentang Cekungan Air Tanah Watuputih sebagai kawasan resapan air yang menjadi kawasan lindung geologi, yang kemudian diperkuat dengan PP no. 26 tahun 2007 tentang RTRW Nasional pasal 53-60 yang mengatakan bahwa kawasan Watuputih merupakan penyuplai terbesar air bagi masyarakat di 14 kecamatan Kabupaten Rembang.

Ada lagu yang dinyanyikan oleh Made Mawut, yang terus terngiang-ngiang selama saya bertemu dengan Ibu-Ibu petani. Penyanyi Blues itu mengeluh, bagaimana segala sesuatu sekarang dikomersialisasikan, akhirnya uang yang punya kuasa. Uang membeli apapun, dan memaksa kita untuk menjual diri kita sendiri. Keserakahan terhadap uang yang menyebabkan krisis ini, krisis relasi kemanusiaan, krisis relasi lingkungan, jika kedua relasi tersebut—terhadap manusia dan alam mengalami krisis, pantaskah kita menyebut diri kita sebagi manusia yang bertuhan? Keserakahan merenggut segala yang terbaik dari manusia. Itu mengapa sesungguhnya tidak saja investor yang bersalah terhadap nasib-nasib para petani di Rembang, tetapi juga pemerintah daerah yang memangkas peraturan dan menerobos semua rancangan tata ruang, juga para akademisi atau kaum intelektual yang memperdagangkan ilmunya untuk mengesahkan dokumen-dokumen demi melancarkan proyek penambangan dan pabrik semen.

Menjelang matahari terbenam, ibu-ibu berkumpul di sekitar lesung. Silih berganti mereka menumbuk sehingga menjadi ritme tumbukan yang mengiringi nyanyian mereka. Menggunakan bahasa Jawa mereka bernyanyi tentang perjuangan mereka, keindahan alam pegunungan Kendeng, dan sukacita seorang petani. Di akhir nyanyian satu hal yang tertancap di hati saya, “janganlah kau melupakan lesung”. Teman-temanku dimanapun kamu berada, ada peperangan yang sedang terjadi. Benoa, Kendeng, Karawang hanya sebagian dari derita alam, satwa dan masyarakat adat. Tanah airmu sedang dijajah dan dirampok secara besar-besaran, Papua, Kalimantan, Sumatera dan lainnya. Saatnya pola pikir dan tindakan kita diubah, keadilan tidak saja untuk manusia, tetapi keadilan ekologis, untuk seluruh tatanan bio-komunitas. Segalanya telah dilimpahkan oleh alam, ia memberikan kita kehidupan ini, air yang jernih, udara yang segar, makanan yang menyejahterakan, pohon yang meneduhkan. Kini saatnya kita bersuara untuk alam!


Comments are closed.

    Author

    Dewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan

    Jurnal Perempuan terindeks di: 
    Picture
    Picture
    Picture

    Archives

    July 2018
    May 2018
    March 2018
    February 2018
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    June 2017
    November 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    May 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    September 2013
    August 2013
    July 2013
    June 2013
    April 2013
    March 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    June 2012

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com