Apa yang anda sukai dari puisi? Keindahan kata dan kedalaman makna? Itu adalah aspek personal dari apresiasi seseorang terhadap puisi. Tetapi apakah puisi juga mencerminkan kehalusan budi para penyukanya? Kaisar Nero diceritakan membakar Roma sambil baca puisi. Plato bahkan menganggap puisi sebagai ilusi yang buruk. Tetapi Dante mengarungi Divine Comedy-nya dengan inspirasi Virgil. Puisi adalah cara menghasilkan dunia “di dalam diri sendiri”. Bukan untuk mengasingkan diri dari dunia luar, melainkan untuk memiliki dunia sendiri, yaitu dunia batin yang tak tunduk pada hukum pasar. Demikian halnya kata-kata. Ia terbit dari situasi eksistensial, yaitu situasi yang menghasilkan pertanyaan hidup paling otentik: cinta, keadilan, kematian, kehendak bebas, dst. Karena itu, puisi, filsafat dan kampus, seharusnya hidup dalam satu nafas, yaitu kejujuran. Feminisme mengajarkan hal yang sama, “ethics of care”. Birokratisasi kesenian adalah pemalsu kreativitas. Komoditisasi puisi adalah pemalsuan eksistensi. Tetapi gejala ini yang justru melebar dalam banyak forum kebudayaan kita. Intinya adalah keinginan untuk selebritisasi. Maka tak heran bila seni dan acara berpuisi, di kampus sekalipun, berubah menjadi “peristiwa komoditisasi”. Entah untuk promosi lembaga, entah untuk ketenaran seseorang. Pada level birokrasi negara, ada upaya untuk menghasilkan kreativitas sebagai produk ekonomi. Publik menyebutnya “industri kreatif”. Tetapi selalu ada soal yang tak pernah diperiksa: bahwa kreativitas adalah hasil pendalaman eksistensial, bukan sekedar proposal pameran. Artinya, pada batin yang kering nilai, tak mungkin tumbuh idealisasi kesenian. Konsistensi kesenimanan tentu diuji dalam godaan materil yang amat serius. Tetapi seharusnya ada kemampuan sublimasi seorang seniman untuk teguh pada integritas nilai yang ia pilih. Tanpa itu, kreativitas hanya hasil manipulasi sensasi konsumsi. Sesungguhnya, belajar filsafat adalah belajar menghasilkan diri yang otentik. Itu adalah tindakan puitis. Pada kemampuan abstraksi, anda menikmati kebebasan pikiran. Pada kemampuan kritisisme, anda berhadapan dengan tuntutan keterlibatan etis. Feminisme adalah etika keterlibatan. Filsafaf dan puisi memicu refleksi. Puisi dan feminisme menuntun refleksi pada perbuatan: yang adil, yang setara, yang jujur. Pada manusia puitis, mengendap filsafat kejernihan: Pectus est, quod disertum facit. Hati membuat manusia bertutur jernih. Hari ini adalah Hari Puisi Sedunia. Mari menjernihkan hati. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|