Apakah arti dari “arti”? Itu pertanyaan Hilary Putnam. The Meaning of ‘Meaning', paper yang ia tulis 40 tahun lalu itu, menjadi klasik dalam obsesi filsafat analitik. Bahwa ada pengetahuan objektif, dan karena itu yang benar hanya ada bila kita mengerti isi pikiran itu'. Mengerti sesuatu berarti ‘melihat’ kebenaran sebagai objektif, yaitu dengan menunjukkan referensinya di alam realitas. Secara teknis filsafat Putnam disebut “semantic externalism”. Yaitu argumen tentang eksistensi suatu konsep dalam realitas. Bahwa makna dan kebenaran tak hanya bermukim di kepala, melainkan hadir dalam realitas. Tentu, dalam latar belakang anti metafisika, kita memperoleh daya kritis dari filsafat Putman. Tetapi bagi saya, komitmen filosofis Putman memperlihatkan suatu “misi emansipatoris” yang kuat: yaitu kehendak untuk mempersiapkan dunia menemui kebenaran dan keadilan yang nyata bagi semua orang, pada setiap situasi kongkrit kehidupan. Seperti tercermin dalam bukunya Realism With Human Face, ada refleksi kemanusiaan yang kuat untuk terlibat dalam perjuangan hak asasi manusia. Itulah sebabnya ia mengaktifkan diri dalam aktivitas Amnesty Internasional. Filsafat dan dan realitas keadilan, filsafat dan aktivitas kemanusiaan, mengikat kita dalam komitmen awal filsafat: memajukan peradaban. Karena itu, selalu ada kehangatan humaiora yang melampaui kedinginan metode filsafat. Kita hidup kini di era “after deconstruction”. Dan dalam upaya memahami dunia yang korosif ini, filsafat menumbuhkan ulang tema humaniora: pada krisis toleransi di Eropa hari-hari ini, pada duel ideologi yang keras dalam pemilu di Amerika Serikat, juga pada cekcok politik identitas Jakarta menjelang pilkada. Pada kondisi kembalinya “absolutisme”, kita membaca filsafat Putman sebagai undangan untuk berpikir kritis. Memang, kolegialitas filsafat adalah komitmen pada kritisisme. Bukan demi arogansi profesi atau ambisi politik, melainkan pada upaya berkelanjutan untuk terus memelihara akal sehat publik. Kemarin, ada berita duka di lingkungan filsafat dunia: Hilary Putnam, guru besar filsafat Universitas Harvard, meninggal dunia pada usia menjelang 90 tahun. Putnam wafat. Ia meninggalkan “the earth”. Tapi filsafatnya meninggalkan metode “twin earth thought experiment”. Ia melatih kita berpikir, agar tak mudah berbohong. Selamat jalan Pak. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|