Suatu pagi di LIPI. Saya memulai presentasi: Do you speak feminism? Satu ruangan 'bengong'. Padahal itu seminar akademik tentang "Politik Keadilan". Saya paham, bahwa feminisme masih merupakan bahasa asing di kampus-kampus kita. Jadi, bila kalangan akademisi saja masih buta huruf tentang sejarah ketidakadilan, apalagi birokrasi, parlemen dan sistem peradilan kita. Feminisme adalah sinopsis dari konstruksi besar ketidakadilan. Hanya pada pengalaman perempuanlah seluruh praktik diskriminasi membekas. Seorang perempuan tidak lahir merdeka. Ia lahir dalam stigma: bahwa ia berkedudukan di bawah laki-laki. Bahwa ia bukan penyandang hak politik. Bahwa ia bukan pengucap ayat-ayat surga. Bahwa ia bukan pemikir rasional. Bahwa ia harus submisif dalam seks. Bahwa ia bukan dirinya..! Imperatif ini bekerja dalam psikologi politik kekuasaan: bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual. Bahwa kamera infotainmen adalah mata laki-laki. Bahwa perkosaan tak mungkin berkali-kali. Bahwa sogokan seks adalah hak pembimbing akademik. Bahwa APBN bukan urusan perempuan. Kita sedang memajukan demokrasi. Membangun institusi-institusinya. Tetapi kultur politik justru tumbuh dalam suasana patriarkis, feodalistik dan doktriner. Feminisme adalah pikiran tentang keadilan, justru karena pengalaman perempuan telah menempuhnya panjang dalam sejarah. Peradaban telah berbuat curang kepada separuh umat manusia, hanya karena ia bukan laki-laki. Doa pagi seorang laki-laki di sebuah budaya bunyinya sungguh mencengangkan: "Tuhan, terima kasih karena aku tak dilahirkan sebagai budak, dan tak dilahirkan sebagai perempuan". Tetapi tentu kita tahu siapa yang melahirkannya. Dalam sebuah sidang Mahkamah Konstitusi, sebagai saksi ahli saya menguraikan dalil "feminist legal theory". Seorang pengacara protes. Ia jijik dengan istilah itu karena menganggapnya itu urusan homo dan lesbi. Hakim tak berusaha meluruskan. Agaknya ia juga tak paham. Saya katakan, saya tak mengganti kelamin. Saya hanya mengganti cara berpikir. Ruang pengadilan seharusnya berisi argumen hukum, bukan khotbah moral. Sesungguhnya, pada tubuh perempuan, melekat seluruh jenis ketidakadilan: ekonomi, politik, seksual, hukum, kultur, teologi. Dari sinisme akademisi hingga perda-perda misoginis, diskriminasi itu membuat kita buta huruf tentang peradaban. Perempuan tak lahir merdeka. Ia lahir untuk memerdekakan dirinya. Dengan itu ia memerdekakan peradaban. Jurnal Perempuan adalah sebuah tata bahasa untuk mengakhiri diskriminasi itu. Jurnal Perempuan adalah sebuah politik penguatan: bahwa perempuan adalah dirinya sendiri. Selamat Ulang Tahun JP.
Hayati Nur
26/7/2014 09:28:34 am
HBD @Jurnalperempuan semoga semakin manfaat
Nina Nayoan
27/7/2014 02:36:33 am
Terimakasih atas refleksi yang memerdekakan ini. Salut atas pilihan utk memperjuangkan visi feminis, kendati penulis seorang laki-laki. Feminis memang bukan terutama soal perempuan tapi soal keadilan dan ketidakadilan. Dan bicara ketidakadilan faktor "kuriarkhi" tidak hanya patriarchy mesti disorot sebagai akar sebab ketidakadilan itu. Perempuan juga, sadly to say, kadang atau sering menindas pula sesama perempuan bergantung lokasi sosialnya dimana ia menempatkan atau ditempatkan dirinya. Banyak perempuan di posisi policy maker melanjutkan misi 'tuanisme/kuriarki' yg opresif dan tak berdampak pada merubah ketidakadilan yg dialami perempuan. Maka perlu diubah tidak hanya mind set patriarkis tapi juga kuriarkhis , inilah feminis sejati, menurutku. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|