Oleh: Tanti Noor Said (Lulusan Program Master Antropologi, University Van Amsterdam) [email protected] Seseorang tidak terlahir sebagai perempuan, kecuali menjadi perempuan kata filosof feminis Simone de Beauvoir. Pernyataan ini juga menjadi dasar argumentasi banyak pemikir dan aktivis pembela hak-hak perempuan. Bukan saja menjadi perempuan adalah sebuah keistimewaan yang ironis, namun identitas sebagai perempuan tersebut melahirkan beban, tanggung jawab dan perilaku yang harus diikuti, kaitannya dengan hubungannya dengan orang tua, lingkungan, kekasih maupun istri. Subyektivitas perempuan yang sangat problematis ini terjadi secara universal, artinya dimana-mana. Bahwa perempuan secara struktur dipinggirkan posisinya dari sejak ia lahir dan diketahui tidak memiliki penis, bukan lagi keistimewaan kebudayaan masyarakat tertentu. Mungkin hal ini yang membuat para feminis lahir dengan berbagai pandangan dan caranya. Dari mereka yang tampil sebagai pemikir yang ingin merebut ruang dalam ilmu pengetahuan sampai dengan perjuangan sejumlah Srikandi pemberani yang melawan hukum yang zalim. Terkadang merekapun sampai harus melawan kaumnya sendiri.
Sekolah imigran di Belanda Adalah musim semi di tahun 2005, saya menginjakkan kaki di tanah Belanda dengan harapan mulia yaitu diperlakukan sebagai perempuan dengan setara. Sebagai imigran, saya dituntut untuk mengikuti kursus bahasa dan kebudayaan. Nama kursus ini yaitu “Inburgeringscursus” yang jika diartikan secara harfiah adalah kursus untuk menjadi warga negara atau “burger”. Sekolah penyelenggara mengkategorikan para imigran menjadi beberapa kelompok dilihat dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan masing-masing sebelum pindah ke Belanda. Banyak juga yang datang dari negara-negara seperti Afganistan, Ethiopia, Irak dan Iran, yang merupakan pencari suaka dan beberapa dari mereka tidak dapat membaca alfabet. Sebagian dari mereka adalah janda ataupun terpisah dari suaminya. Mereka tinggal di tempat penampungan yang berbeda dengan suami mereka. Di tahun 2007 setelah lulus dari kursus ini, saya melamar pekerjaan di sekolah yang sama sebagai asisten guru. Selain mengasisteni para imigran yang juga murid, saya juga harus memastikan bahwa para ibu yang adalah calon murid bisa mendapatkan tempat untuk menitipkan anaknya. Prosedur untuk menjadi anggota childcare di belanda sangatlah birokratis. Prosedur ini melibatkan sekolah imigrasi dan cityhall atau kelurahan yang bertanggungjawab untuk membiayai childcare tersebut. Dengan bahasa belanda saya yang masih terbata-bata, saya berusaha melakukan tugas tersebut. Saya mendapatkan satu map besar berisi informasi nama ibu yang harus dihubungi dan diberitahu bahwa ia harus mulai sekolah. Setelah itu saya akan meregistrasi nama dan usia anak dan mencari childcare yang dekat dengan rumah ibu dan sekolah anak. Suatu hari, dengan bahasa Perancis yang sangat terbatas saya mencoba menghubungi seorang ibu yang baru saja datang dari Afrika. Panggil saja namanya Aminah. Ia adalah seorang janda beranak tiga. Yang membuat saya kaget, anak ketiganya masih bayi, usia beberapa bulan. Saya menjelaskan bahwa ia harus sekolah dan menitipkan anak-anaknya di penitipan anak. Awalnya ia menolak. Tentu saya sadar, ibu mana yang dengan sukarela mau menitipkan anak bayinya ke penitipan anak. Saya mengkomunikasikan hal ini pada bos saya. Dan menurutnya tanggung jawab saya adalah membuat ibu ini bersekolah. Saya tetap harus membujuk si ibu. Kemudian ibu itu memberi alasan bahwa tidak ada bus yang melalui rumah menuju ke sekolah anak ini. Ketika saya kemukakan alasan ini, bos sayapun berkata, “Mereka bisa naik sepeda.” Saat itu saya langsung bereaksi, saya membayangkan seorang ibu yang baru melahirkan dengan baju panjang seperti gamis, “Tidak semua orang bisa naik sepeda” jawab saya. Atasan saya itu dengan keras menjawab, “Kamu terlalu memanjakan mereka. Mereka perempuan-perempuan imigran harus belajar mandiri. Kami saja bisa, mengapa mereka tidak?” Menjadi perempuan Imigran-Belanda Tidak sedikit perempuan imigran yang datang dan mengeluh tidak dapat tidur berhari-hari karena kecemasan yang dideritanya. Kecemasan akan masa lalu dan kecemasan harus menjalani kehidupan yang tidak mereka sukai. Beberapa dari mereka yang saya kenal mengonsumsi obat-obatan untuk meredam depresi dan sekadar dapat tidur. Namun menjadi “mandiri seperti layaknya perempuan belanda” adalah sebuah proyek besar yang sifatnya menjadi sangat memaksa (oppressive). Metode agresif ini mengingatkan saya pada kebijakan NGO dari Negara Eropa dengan program pencegahan angka penularan HIV-nya dengan cara menyunat para laki-laki di Nigeria supaya tidak mudah terinfeksi HIV. Fenomena yang juga cukup serius, yang bukan hanya didapati di tengah imigran perempuan saja, namun juga imigran laki-laki adalah pemisahan kategori antara imigran yang berpotensi dan baik dan imigran yang tidak berpotensi. Imigran berpotensi adalah mereka yang dapat dengan cepat berasimilasi. Imigran yang kurang baik adalah mereka yang masih melakukan tradisi dan nilai yang mereka bawa sebelum berimigrasi. Ditengah para imigran, kategori-kategori ini juga menjadi sebuah standar yang harus dicapai. Karena dengan sendirinya, dengan berimigrasi para imigran mengalami perbenturan dengan para individu dari berbagai etnis dan kelas sosial, belum lagi penduduk lokal. Pertemuan dan benturan ini menghasilkan banyak ketidakpastian pada diri sendiri akan eksistensi diri dan kebutuhan untuk meredefinisi siapakah “aku”. Menyaksikan dan mengalami sendiri prosesnya membuat saya sadar, menjadi perempuan dan ibu sesuai dengan definisi yang dipercaya dan diterapkan dalam kebudayaan yang lain adalah sebuah pemaksan identitas. Pemerintah maupun sekolah dengan sangat ketat menerapkan program perubahan jati diri ini seperti sebuah proses alami. Apa yang perempuan Belanda bisa maka seharusnya perempuan imigran juga bisa. Identitas berikut konsekuensinya dibebankan tanpa melihat latar belakang pendidikan, usia, agama, nilai-nilai yang dipercaya, serta kondisi-kondisi tertentu. Yang dimaksudkan dengan kondisi-kondisi tertentu adalah cuaca, trauma kekerasan dalam rumah tangga, trauma perang di negara asal, kecemasan akan menjadi minoritas di tengah-tengah, sampai dengan tuntutan-tuntutan untuk mandiri tersebut. Landgraaf-South Limburg, Belanda, 1 Maret 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|