Oleh: Wisnu Adihartono Reksodirdjo (PhD kandidat sosiologi, EHESS, Prancis) Email : [email protected] Begitu tertariknya saya dengan opini di blog Jurnal Perempuan yang ditulis oleh Tanti Noor Said tentang Perempuan Imigran di Belanda dan Redefinisi Subyektifitas yang membahas bagaimana perempuan “dipaksa” untuk tidak menjadi dirinya sendiri dalam konteks masyarakat Belanda oleh negara dan masyarakat. Tulisan Tanti mengingatkan saya kepada pemikiran seorang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu tentang dominasi maskulin. Bourdieu menyatakan bahwa, “Les structures de domination…elles sont le produit d’un travail incessant (donc historique) de reproduction auquel contribuent des agents singuliers (donc les hommes, avec des armes comme la violence physique et la violence symbolique) et des institutions, familles, église, école, état. Les dominés appliquent des catégories construites du point de vue des dominants aux relations de domination, les faisant ainsi apparaître comme naturelles”. (Struktur dominasi…mereka adalah sebuah produk kerja sebuah sejarah yang berkontribusi dalam agen tunggal (laki-laki dengan kekerasan fisik dan kekerasan simbolik), dalam lembaga, dalam keluarga, dalam gereja, dalam sekolah, dan dalam negara. Hubungan dibangun melalui suatu sudut pandang dominan – dominasi yang tampaknya seperti apa adanya). Dominasi maskulin menghambat perempuan untuk bekerja mencari nafkah dan (tampaknya) hal inilah yang membuat resah para feminis sosialis yang memiliki akar pemikiran teori Marx. Pada umumnya, pemikiran klasik keluarga tidak dapat dihindarkan dari pembagian kerja. Suami, istri, dan anak-anak diberikan porsinya masing-masing sesuai dengan peran mereka. Suami sebagai ayah bertugas mencari penghasilan untuk membiayai keluarga, ibu sebagai istri bertugas mengelola rumah tangga, dan anak-anak dapat dikatakan sebagai tenaga kerja tambahan dengan membantu orang tuanya. Suami bekerja di luar rumah dan secara langsung terlibat dalam sistem produksi, sehingga suami adalah pelaku langsung dalam hal akumulasi penghasilan. Sedangkan posisi istri dapat dilihat sebagai posisi yang tidak diuntungkan. Pemberian posisi tertinggi kepada suami di dalam struktur keluarga memberikan posisi istri sebagai individu yang tidak dapat menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, istri selalu didapuk sebagai individu yang hanya bergantung kepada suami. Seiring dengan perkembangan zaman, relasi suami-istri dapat saling dipertukarkan dengan mempertimbangkan prioritas ekonomi di dalam keluarga tersebut. Peran pencari nafkah dapat dipertukarkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan produksi ataupun tidak. Maksudnya disini adalah ketika sang suami tidak dapat lagi dijadikan topangan untuk hidup atau sang suami bekerja dengan upah yang kecil, sang istri memiliki inisiatif sekaligus kewajiban untuk membantu keluarga. Pun walaupun suami sudah bekerja dengan upah yang tinggi, sang istri diizinkan bekerja untuk kebutuhan hidup sang istri sendiri, sehingga sang istri tidak terus menerus bergantung kepada suami. Perempuan Migran Indonesia di Prancis Di Eropa, atas dasar hukum Eropa, tidak ada perbedaan pemberlakuan kerja antara perempuan berkewarganegaraan setempat dan perempuan berkewarganeraan asing. Perempuan dianggap sama statusnya dengan laki-laki dalam kemampuannya mencari nafkah. Selama saya berkesempatan meneruskan studi di Prancis, tepatnya di Marseille, daerah yang terletak di bagian selatan Prancis, secara iseng-iseng saya sempat mengobrol dengan beberapa ibu-ibu muda Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Prancis. Pertanyaan yang dibangun tidak direncanakan oleh penulis sehingga terkadang terjadi random questions. Keingintahuan penulis hanya didasarkan kepada apa yang dirasakan oleh perempuan warga negara Indonesia ketika mereka menikah dengan pria berkebangsaan Prancis. Berikut petikan wawancara penulis dengan salah satu perempuan migran Indonesia, sebut saja namanya Dewi, Penulis (P): “Bagaimana mbak hidup di Prancis? Sudah senang dan nyaman ya? Kapan mbak pindah ke Prancis?” Dewi (D): “Ya beginilah mas…nyaman dan enak tapi kadang kangen juga dengan Indonesia. Di sini semua serba praktis. Saya pindah ke Prancis tahun 2005, ikut suami saya yang warga negara Prancis.” P: “Mbak bekerja di Prancis?” D: “Iya bekerja paruh waktu aja mas di rumah makan cepat saji.” P: “Honornya lumayan dong ya mbak?” D: “Hahahahahaha (sambil tertawa lebar) ya begitulah mas. Gak juga sih. Sebulan bisa dapat sekitar 300 sampai 350 Euro-an. Cukuplah untuk sehari-hari di kota ini. Kalau di Paris pasti gak akan cukup. Ya paling tidak bisa jajan tanpa minta suami lah mas, walaupun kadang suami juga masih kasih, kalau saya minta pun pasti dikasih.” P: ”Suami mbak mengijinkan mbak untuk bekerja ya?” D: ”Oh iya mas. Dulu sesampainya saya di Prancis saya sama sekali tidak bekerja. Saya hanya mengandalkan suami. Tetapi saya berkenalan dengan beberapa orang Indonesia yang juga bersuamikan orang sini. Mereka banyak bekerja dan dapat uang. Saya terpicu untuk bekerja juga. Saya pikir sangat lumayan bisa mendapatkan uang sendiri, walaupun pekerjaan yang saya jalani cukup berat. Bagi saya pendapatan per bulan kecil sih tidak terlalu masalah, yang penting saya bisa bekerja dan mendapatkan uang sendiri. Ya itu tadi, saya jadi bisa nabung untuk belanja di musim sale mas. Lumayanlah mas.” Kebanggaan memiliki pekerjaan sendiri, baik itu penuh atau paruh waktu, dengan pendapatan yang walaupun tidak terlalu besar, membuat perempuan merasa dirinya dihargai oleh laki-laki. Obrolan saya dengan mbak Dewi memberi perspektif baru bahwa perempuan juga layak bekerja, paling tidak apabila suami masih memberikan nafkah ekonomi, pendapatan mereka bekerja dapat digunakan untuk diri sendiri. Obrolan dengan mbak Dewi juga membuka perspektif bahwa pernikahan dengan warga negara asing, yang disengaja atau tidak disengaja, memberi dampak majunya pemikiran perempuan Indonesia. Salah satunya adalah kesadaran bahwa dengan menikahi warga negara asing yang kebanyakan sudah sadar akan kesetaraan, mereka dapat bekerja penuh atau paruh waktu untuk diri mereka sendiri dan sesekali apabila ada pendapatan lebih, dapat dikirimkan ke Indonesia untuk kebutuhan hidup keluarga besar di Indonesia. Bagi perempuan warga negara Indonesia, kepindahan ke Prancis memiliki tiga alasan tersendiri, pertama rasa cinta terhadap suami, kedua turut menopang keluarga di Indonesia, dan ketiga tingginya kesadaran bahwa perempuan sanggup untuk bekerja. Bagi mbak Dewi, menjalani kehidupan berkeluarga di Prancis dengan bekerja dan mengurus keluarga adalah sebuah hal yang harus dinikmati. Gejala ini memberikan gambaran bahwa dari sudut pandang migrasi internasional, kepindahan mereka ke luar negeri, dapat memberikan dampak positif dan bukan melulu dampak negatif seperti pelacuran ilegal, pelecehan seksual, pemerkosaan, kerja paksa, dan lain sebagainya. Pertemuan perempuan-perempuan Indonesia yang kemudian menikah dengan warga negara asing, memicu satu kesadaran tersendiri bahwa bekerja, baik itu penuh atau paruh waktu adalah hal yang baik. Bekerja bagi mereka tidak saja dimaknai sebagai pemikiran perempuan modern, tetapi juga sebuah kenikmatan (plaisir). Bekerja dan mendapatkan penghasilan yang juga tidak terlalu besar, dilihat sebagai sebuah pencapaian dalam hidup mereka. Dengan penghasilan tersebut mereka dapat membeli keperluan mereka sendiri, bahkan dapat menyisihkan sedikit penghasilan mereka ke Indonesia. Bagi mereka kemampuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan adalah sebuah prestasi dan kebanggaan tersendiri sebagai seorang perempuan. Tentunya pemberian izin kerja tetap dikompromikan dengan suami mereka karena sejatinya apabila tidak ada kompromi diantara kedua belah pihak, maka ketimpangan dalam relasi sosial akan terus terjadi. Tanpa memiliki pretensi untuk melihat laki-laki Prancis sebagai semua laki-laki yang sadar akan kesetaraan, paling tidak mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dengan laki-laki Asia. Laki-laki Prancis beranggapan bahwa perempuan berhak untuk berkarya dalam bidang apapun dan sekecil apapun. Dengan upah tinggi maupun dengan upah yang tidak tinggi. Laki-laki Prancis setidaknya memahami makna kesetaraan dalam berelasi dengan pemberian izin bekerja kepada pasangan hidupnya, sehingga istri memiliki kebanggaan untuk bisa menunjukkan otonomi dan kemandiriannya dalam rangka memaknai hidup. Dewasa ini, perempuan mengalami perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat pos-tradisional. Perempuan dituntut untuk bisa berubah dalam semua kerangka kehidupan. Perempuan yang berotonomi dan mandiri diawali dengan kecerdasan untuk dapat mengerjakan segala sesuatu dengan tangkas. Sekecil apapun yang mereka kerjakan dan sekecil apapun upah yang mereka terima, kebanggaan ada di dalam diri mereka masing-masing, kebanggaan untuk dapat bekerja dan tidak melulu bergantung kepada suami mereka. Marseille, 17 Maret 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|