Selain berita tentang pemilihan presiden, akhir-akhir ini kita disibukkan oleh pemberitaan penutupan lokalisasi Dolly oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Risma Harini. Di hampir setiap kota besar terdapat daerah lokalisasi pelacuran, yaitu Sunan Kuning dan Gambilangu di Semarang, Dolly di Surabaya, Pasar Kembang di Yogyakarta, Gunung Bolo di Tulung Agung, dan Saritem di Bandung. Namun sikap Pemerintah Daerah terhadap lokalisasi juga selalu mendua, di satu sisi dianggap tidak ada, tetapi tetap ditarik retribusi kepada pemilik wisma. Belakangan ini lokalisasi-lokalisasi tersebut banyak yang dihapuskan, hal mana pelacuran meluas ke panti-panti pijat, karaoke, klub malam, diskotek dan atau melalui sarana komunikasi, serta ke wilayah kantong-kantong kemiskinan dan di jalanan. Sesungguhnya masalah prostitusi di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Aktivitas prostitusi mempunyai sejarah panjang di dalam masyarakat Indonesia, mulai dari keberadaan para selir untuk para laki-laki bangsawan, para Nyai bumiputra untuk para pejabat VOC, para perempuan penghibur untuk para kuli kereta api serta perkebunan pada masa Hindia Belanda, serta pemaksaan pemerintah penjajah Jepang pada perempuan bumiputra untuk menjadi perempuan penghibur (juugun ianfu) bagi para tentara militer Jepang. Namun demikian hal ini sungguh masih menarik untuk didiskusikan karena pada kenyataan adanya prostitusi selalu dianggap seolah-olah “tidak ada”, dan kalaupun ada maka perlakuan paradoksal yang merugikan perempuan selalu terjadi. Antara moralitas dan bisnis yang menguntungkan, antara menyalahkan perempuan sebagai pendosa dan memaklumi hasrat para laki-laki sebagi penikmat jasa prostitusi yang dianggap wajar. Disamping itu pada masa tertentu (biasanya bulan puasa) seringkali dilakukan “sweeping” dan atau penggusuran tempat-tempat yang dianggap “sarang maksiat” ini. Dimana perempuan yang dilacurkan selalu dijadikan simbol dari perbuatan “maksiat” tersebut. Bahkan di beberapa daerah ada aturan dalam perda yang menyebutkan bahwa akan dikenai sanksi wanita yang penampilan dan perilakunya menyerupai “pelacur”. Jadi wacana tentang prostitusi didominasi oleh nilai-nilai moralitas yang menempatkan perempuan sebagai pendosa, kotor, sampah masyarakat dan untuk itu harus dilokalisir dan bahkan “dimusnahkan” agar tidak mencemari/mengotori masyarakat Timur yang mulia dan menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Sementara itu, di pihak lain, gerakan pembela hak perempuan sebagai pihak yang mempunyai kepedulian terhadap isu ini, memiliki pandangan yang tidak sama. Dalam teori feminisme sendiri terdapat pendapat yang berbeda dalam melihat masalah ini. Setidaknya ada dua kubu besar yang melihat fenomena prostitusi terhadap perempuan ini secara berbeda. 1. Pro Legalisasi Prostitusi Tuntutan untuk legalisasi prostitusi ini berakar dari pemahaman bahwa prostitusi sebagai hak atas pekerjaan dan untuk itu harus diperlakukan sebagaimana sektor pekerjaan yang lain, dan karena itu harus diformalkan melalui kebijakan resmi negara, yang harus diatur melalui perangkat hukum, menjadi objek pajak, dan dilindungi hak-hak ketenagakerjaannya oleh aparatur negara. Mereka memandang bahwa pekerjaan prostitusi harusnya dianggap sebagai hak yang wajar sebagaimana beberapa perempuan bekerja menggunakan tangannya sebagai sekretaris dan dosen menggunakan pikirannya untuk bekerja di kampus. “Semuanya harus dianggap sama.” Karena itu kelompok ini juga mempromosikan sebutan pekerja seks bagi perempuan yang dipekerjakan di bisnis prostitusi. Sebagaimana hak pekerja yang lain maka mereka juga mempromosikan pentingnya serikat pekerja seks yang dapat memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja. Dari sinilah istilah Pekerja Seks berawal (yang sekarang populer digunakan oleh masyarakat luas). Disamping itu mereka juga menganggap bahwa aktivitas prostitusi adalah hubungan seks orang dewasa yang wajar sebagaimana hubungan seks orang dewasa yang lain termasuk di dalam institusi perkawinan, yaitu yang dilakukan sesama orang dewasa dan atas kesadaran sendiri sebagai pilihan (consent). Karena itu stigma moral seharusnya dihilangkan. Karena yang menakutkan selama ini bukanlah seks sebagai pekerjaan itu sendiri, melainkan stigma yang menempel pada sektor ini. Karena itu legalisasi dimaksudkan adalah untuk melindungi “pekerja seks” dari eksploitasi, pelecehan dan stigma. “Pekerja seks” mempunyai hak keamanan sosial, karena pekerjaan mereka yang serba tidak aman itu. Hal itu dimaksudkan agar pekerja seks tidak lagi mengalami kekerasan dari negara, dari germo/mucikari dan atau klien. Apalagi secara ekonomis, mereka berkontribusi pada pemasukan nasional atau GDP (Gross Domestic Produc) dalam bentuk pajak. Beberapa negara yang menerapkan kebijakan legalisasi antara lain adalah Belanda, Jerman dan Australia. Namun demikian banyak kritik terhadap pandangan diatas, dengan fakta, bahwa dalam pelaksanaannya legalisasi justru memperkuat negara dengan aparatusnya seperti polisi dan institusi lainnya untuk menindas perempuan yang dilacurkan (pedila) dan bukan memberdayakan perempuan sebagaimana yang dimaksud. Hal ini karena mayoritas pedila berasal dari keluarga miskin, berpendidikan rendah, kurang informasi. Di Belanda dan Jerman, angka “permintaan/demand” jasa prostitusi pun meningkat, artinya jumlah konsumen lokal dan luar negeri juga meningkat. Sehingga “persediaan/supply” perempuan lokal tidak cukup memenuhi “permintaan” tersebut, sehingga didatangkan perempuan dan anak perempuan dari luar negeri. Mereka jauh lebih murah, lebih muda, lebih eksotik dan tentunya lebih mudah dikontrol. Karena mereka berasal dari negara-negara miskin dari Asia, Afrika dan Eropa Timur. Selain itu, legalisasi prostitusi ternyata gagal mengubah struktur berpikir tentang stigmatisasi pekerja seks. Bahkan justru lebih menguatkan alienasi (pengasingan) karena pekerjaan seks yang telah sangat diasosiasikan dengan “perempuan dengan derajat rendah”. Sistem prostitusi legal di negara-negara tersebut ternyata juga gagal menghapuskan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, terutama pada perempuan yang berasal dari negara-negara miskin. Para perempuan ini tidak mampu melindungi dirinya dari HIV/AIDS dan penyakit seksual menular lainnya, dirampas dokumen perjalanannya, diancam dengan kekerasan dan deportasi, dipaksa bekerja keras dan terisolir dalam kondisi perbudakan. 2. Kelompok Abolisionis Pandangan yang lain menganggap bahwa prostitusi adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM dan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan dianggap bagian dari perdagangan dan eksploitasi seksual dan ekonomi. Dengan dasar argumen bahwa negara telah melanggar hak warga negaranya terutama perempuan dan anak miskin karena mereka tidak bisa menikmati haknya, terutama hak ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan). Hal inilah penyebab utama jatuhnya perempuan dan anak dalam jurang prostitusi. Selain itu juga ada yang menjadi faktor pendorong utama yaitu kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (‘Situasi Trafficking terhadap Perempuan di Semarang”, LBH APIK Semarang 2010) Karena itu kelompok ini menggunakan istilah Prostituted Women atau Perempuan yang Dilacurkan (disingkat dengan Pedila) untuk menyebut perempuan yang dipekerjakan dalam industri prostitusi. Karena diyakini bahwa sejatinya tidak pernah ada perempuan yang sukarela bekerja di dunia prostitusi, sistem yang tidak adillah yang “menjatuhkan” mereka ke jurang yang penuh eksploitasi dan kekerasan tersebut. Pandangan ini berawal di New York, Amerika Serikat pada 1977, dimana terjadi sebuah tragedi seorang wanita muda terbunuh secara brutal dan dilempar keluar dari jendela gedung bertingkat. Namun, karena dia hanyalah seorang “pelacur” dan jendela tersebut adalah jendela sebuah rumah bordil, maka polisi tidak begitu menanggapi serius pembunuhan tersebut (Trafficking, Prostitusi dan Industri Seks Global, Makalah yang dipresentasikan pada UN Working Group tentang Perbudakan Kontemporer, Oleh : Dorchen A. Leidholdi, Co–Executive Director Coalition against Trafficking in Women) Padahal ada prasangka dalam masyarakat bahwa pedila mendapatkan penghasilan besar dari “pekerjaannya” tanpa harus bekerja keras. Dalam kenyataan tidaklah demikian, uang tersebut biasanya berpindah ke tangan orang yang menjerumuskannya dalam dunia prostitusi dan atau mucikarinya (yang kadang-kadang mucikari ini hanya sebagai pengelola wisma, masih punya bos lagi yaitu pemilik wisma yang biasanya orang yang mempunyai jabatan formal yang terhormat, kemudian dia juga menyetor secara berkala pada pihak keamanan). Dan masih banyak rantai ekonomi lain, yaitu calo, pedagang, dan bank thithil (rentenir) serta pacarnya (kiwil) juga para pedagang mulai dari kosmetik, baju, alat-alat kesehatan sampai alkohol dan narkoba. Mulanya uang diambil secara paksa, namun perlahan berubah seperti sebuah kebiasaan bahwa uang selalu berakhir pada ”sang penguasa”. Begitu setiap harinya, akhirnya seolah-olah korban sampai pada takdirnya, yang oleh sebagian pihak disimplifikasi seolah-olah sebagai sebuah pilihan. Menyimak penelitian PKBI Lampung pada April 2007 ada tiga alasan yang melatarbelakangi mereka bekerja sebagai Pedila yaitu alasan ekonomi (kemiskinan), tidak punya keterampilan dan KDRT serta sakit hati dikhianati laki-laki (pacar, suami). Disamping itu, bila dikaitkan dengan kondisi korban perkosaan dan kekerasan seksual lain maka kita akan menyadari penderitaan para korban sebenarnya adalah bagaimana melanjutkan hidup, mengatasi trauma akibat kekerasan yang bertubi-tubi dan berlangsung secara intensif dan dalam jangka waktu panjang. Begitu juga yang dirasakan oleh para pedila, karena itu kelompok abolisionis menyebut prostitusi sebagai “Perdagangan Perkosaan”. Parahnya, itu bukannya antara satu pembeli dan penjual, tetapi merupakan sekelompok pembeli (pelaku perkosaan) yang terjadi setiap hari selama bertahun-tahun. Temuan LBH APIK Semarang menyebutkan bahwa banyak diantara penghuni lokalisasi yang menjadi korban perkosaan pacarnya, atau orang dekatnya, banyak pula yang menjadi korban KDRT oleh suaminya. Ada yang dijual oleh pacarnya yang telah memperkosanya, ada pula yang dijual oleh suaminya. Si narasumber (perempuan muda) tak kuasa menolak, karena dia merasa dirinya telah kotor dan tidak ada masa depan lagi buat gadis yang tidak perawan (dia diperkosa oleh lima orang sekaligus/gank rape, salah satunya adalah pacarnya sendiri. Banyak pengakuan yang kurang lebih hampir sama. Penelitian PKBI tersebut juga menyebutkan bahwa seorang pedila rata-rata melayani tamu antara 6 – 10 orang per hari/minggu. Jadi adalah mitos belaka bahwa pekerjaan itu ringan dan menyenangkan. Karena penderitaan itulah mereka seringkali terjebak pada penggunaan narkoba, minum minuman keras, merokok dan terjebak pada harapan adanya “sang pangeran” yang sewaktu-waktu “menyelamatkan mereka” dengan keluar dari lokalisasi. Hubungan antara Prostitusi dan Trafficking Industri seks melibatkan mucikari dan pengusaha di industri seks yang sering memisahkan korban dari keluarga dan teman ke tempat asing dimana mereka tidak mempunyai kontrol sama sekali. Jadi perpindahan tempat juga merupakan unsur penting. Selain itu, terkadang pelanggan juga menuntut keunikan. Misalnya di Indonesia bagian Timur seringkali “mengimpor” perempuan dari Jawa dan Sulawesi Utara karena ciri-cirinya disukai oleh laki-laki yang menjadi pelanggan. Selain itu, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, industri seks merotasi para pedila antar kota, untuk memastikan keragaman pelanggan dan kontrol pengusaha industri seks. Pada dasarnya perdagangan seks dan prostitusi saling bersinggungan. Para objek eksploitasi seksual komersial memiliki karakteristik yang sama, yaitu miskin, muda usia, memiliki sejarah kekerasan dan kurangnya dukungan dari keluarga. Luka dan penderitaan yang dialami pedila dan perempuan yang diperdagangkan juga sama, yaitu tekanan pascatrauma, depresi parah, jeratan utang, kerusakan sistem reproduksi, luka akibat kekerasan dan pemukulan, terinfeksi penyakit seksual serta ketergantungan pada alkohol dan narkoba. Prostitusi dan trafficking adalah permasalahan hak asasi yang sama, secara lokal maupun global. Keduanya merupakan bagian dari suatu sistem dominasi patriarki, yang menjadikan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai komoditas yang menguntungkan. Korban dilemahkan dengan kemiskinan, diskriminasi, kekerasan dan ditinggalkan begitu saja dalam keadaan traumatik, sakit dan miskin. Apakah penutupan lokalisasi adalah solusi? Karena merupakan masalah multidimensi maka untuk mengatasinya juga membutuhkan solusi multidimensi, ekonomi, politik hukum, budaya dan psikososial. Studi yang dilakukan oleh Norma Hotaling di Swedia menemukan hal yang menarik dan sangat berguna: yaitu mendidik dan “mengancam/memperingatkan” pembeli, seperti yang telah diterapkan oleh pemerintah Swedia dengan penangkapan pembeli prostitusi, ternyata telah secara drastis menurunkan “permintaan/demand” terhadap jasa prostitusi, disamping itu KDRT dan insiden bunuh diri pada pasangan (perkawinan atau pacaran) juga menurun. Mengapa sasaran solusi juga ditujukan pada laki-laki yang menjadi pembeli atau konsumen? Karena bila dibandingkan dengan para Pedila yang berada pada situasi tidak punya pilihan, maka para laki-laki konsumen jasa prostitusi mempunyai pilihan untuk memutuskan bahwa dengan membeli pedila, berarti dikenai sanksi hukum dan sosial yang dapat menghancurkan atau mengancam reputasi dan status sosial mereka sendiri atau membuat keputusan lain yaitu tidak membeli jasa prostitusi. Untuk itu selama satu dekade (10 tahun) pemerintah Swedia melancarkan program pendidikan untuk para laki-laki, paralel dengan program dukungan dan pelayanan untuk para pedila sebagai korban, serta mengenakan sanksi tegas terhadap konsumen jasa prostitusi dan pelaku kekerasan dengan melakukan penangkapan besar-besaran. Terbukti bahwa menurunkan “permintaan/demand” akan jasa prostitusi dengan menuntut pertanggungjawaban pembeli/konsumen, merupakan solusi yang efektif. Di Indonesia, UNICEF pernah memperkirakan terdapat 100.000 anak diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar untuk tujuan eksploitasi seksual. Disamping itu Kajian cepat ILO-IPEC tahun 2004, di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur memperkirakan terdapat 23.880 pedila dewasa dan 7.452 anak-anak yang dilacurkan. Sedangkan untuk wilayah Jakarta diperkirakan ada 23.520 pedila dewasa dan 5.100 anak-anak yang dilacurkan dan di Jawa Barat diperkirakan ada 22.380 pedila dewasa dan 9.000 anak-anak yang dilacurkan. Dalam masyarakat kita, nilai-nilai yang bersifat double standard dan hipokrit dalam masyarakat berkontribusi menyuburkan praktik prostitusi. Keberadaannya seperti ada dan tiada. Di satu sisi, pelacuran sudah diketahui eksis ada sejak dulu, namun tidak dianggap sebagai masalah yang harus direspons secara serius dan menyeluruh. Padahal praktik pelacuran dinyatakan Badan Dunia (Unicef, Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan/CEDAW) sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk anak dan merupakan bentuk perbudakan modern terhadap perempuan. Namun demikian, praktik pelacuran dipandang hanya dari segi moralitas yang justru menyalahkan si korban (blaming the victim) sedangkan masalah yang dialami korban seringkali diabaikan. Selain masyarakat juga menghadapi masalah sosial akibat prostitusi yaitu antara lain kesehatan masyarakat (baik medis maupun sosial), dan perluasan praktik prostitusi yaitu “hari ini menjadi korban, esok kemungkinan justru menjadi pelaku dan seterusnya”. Inilah yang terjadi pada si germo cilik dari Surabaya. Berbagai masalah psikososial, ekonomi, budaya, hukum dan kesehatan sebagai akibat dari prostitusi diabaikan begitu saja dan direduksi pada masalah moral semata. Kerugian yang ditimbulkan tidak saja mengenai korban dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dan negara, karena menyangkut mutu generasi yang akan datang. Studi yang dilakukan oleh LBH APIK Semarang tentang Pemahaman Seksualitas pada Pemuda tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar responden laki-laki menyatakan bahwa adalah wajar laki-laki muda membeli jasa prostitusi karena itu merupakan “pengalaman dan pembelajaran” bagi mereka agar nanti bisa berhubungan seks dengan istri apabila sudah menikah kelak. Karena sebagai suami harus bisa mengajari istri, termasuk dalam hal hubungan seksual. Selain itu mereka juga menganggap hal itu wajar karena nafsu seks laki-laki yang lebih besar daripada perempuan dan karena itu harus disalurkan. Padahal kenyataan anak yang dilacurkan bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (1989) yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi anak dari segala bentuk ekploitasi dan penyalahgunaan seksual, termasuk eksploitasi dalam kegiatan pelacuran dan pornografi (pasal 34). Hal yang sama juga dinyatakan dalam Undang-undang Perlindungan Anak bagian kelima pasal 59 tentang perlindungan khusus. Demikian pula dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979 (CEDAW) memperkuat prinsip-prinsip 1949 dalam Konvensi anti Trafficking. Konvensi CEDAW tegas menyebutkan perlunya disediakan perlindungan oleh Konvensi Perdagangan 1949 untuk perempuan dan anak perempuan – untuk mengatasi baik perdagangan dan eksploitasi untuk pelacuran pada perempuan dan anak. Pasal 6 Konvensi CEDAW menyatakan: "Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat, termasuk perundang-undangan, untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi pada perempuan.” Selain itu, dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai "kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia adalah seorang perempuan atau yang memengaruhi perempuan secara tidak proporsional termasuk tindakan yang menyebabkan kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman tindakan seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Perdagangan dan eksploitasi prostitusi adalah termasuk bentuk yang paling umum dari kekerasan berbasis gender. Untuk itu Komite CEDAW merekomendasikan bahwa negara harus mengambil langkah pencegahan khusus dan langkah-langkah hukum serta sanksi untuk mengatasi perdagangan manusia dan eksploitasi seksual. Negara peserta dalam laporan mereka harus menjelaskan sejauh mana semua masalah ini dan langkah-langkah yang telah dilakukan, termasuk ketentuan pidana, pencegahan dan langkah-langkah rehabilitasi yang telah diambil untuk melindungi perempuan yang terlibat dalam prostitusi atau tunduk pada bentuk-bentuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual lainnya. Demikian pula, Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Mengenakan sanksi Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) tahun 2000 menegaskan bahwa “eksploitasi terhadap orang-orang yang dilacurkan adalah trafficking—bukan bentuk pekerjaan—ketika seseorang melakukan salah satu saja dari tindakan sebagai berikut, memaksa, mengancam dengan kekerasan, menipu atau menyalahgunakan kerentanan seseorang, maka itu bisa dikategorikan sebagai tindak kejahatan perdagangan/ trafficking”. Jadi, walaupun tujuan akhirnya adalah penghapusan prostitusi, namun jelas pandangan Abolisionis ini sangat berbeda secara mendasar dengan pendekatan moralis. Karena menurut golongan moralis prostitusi merusak moralitas masyarakat, sehingga si perempuan yang harus “diperbaiki”, dan mengabaikan faktor lain yang lebih kuat. Sayangnya anggapan ini didukung oleh negara. Sedangkan kaum abolisionis memosisikan prostitusi sebagai perdagangan anak dan perempuan, dan melanggar HAM, melecehkan integritas tubuh perempuan sebagai individu dan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Jadi untuk itu pemerintah harus melaksanakan langkah-langkah sistemik yang melindungi korban dan memberi sanksi pada pelaku tindak pidana perdagangan orang termasuk konsumen/ pembeli jasa prostitusi. C. Strategi yang Ditawarkan Belajar dari Pemerintah Swedia yang mengembangkan respons peraturan berseberangan (antithetical) dengan ideologi patriarki yang dominan. Pada tahun 1999 Pemerintah Swedia menerapkan UU Anti Prostitusi, dengan tidak hanya mengenakan sanksi tegas terhadap mucikari, pemilik rumah bordil/wisma dan pengusaha industri seks lainnya (karaoke, panti pijat dll), dan juga dengan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggan (pembeli). Setelah itu pemerintah Swedia juga mengampanyekan peringatan/ancaman terhadap pelanggan industri seks bahwa membeli jasa prostitusi, terutama terhadap anak, merupakan tindakan kriminal yang akan dikenai sanksi berat. Hasilnya sangat efektif, selain terjadi penurunan, ternyata dengan sendirinya juga meningkatkan penolakan masyarakat terhadap prostitusi. Beberapa pemerintah daerah telah melakukan kebijakan yang berbeda-beda untuk mengatasi masalah prostitusi ini. Termasuk Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim yang menutup lokalisasi dan memberi “pesangon” kepada para pedila sebesar 3 juta rupiah. Pendekatan yang demikian itu masih menyederhanakan masalah dan mereduksi berbagai dimensi yang menggelayuti permasalahan ini, dengan menjadikan pedila hanya sebagai objek penanganan. Formulasi kebijakan moralis mengabaikan permasalahan lain yang sangat penting terutama aspek pelanggan/pembeli/konsumen, aspek korban yang terkait dengan psikososial dan reintegrasi sosial korban (penyiapan keluarga dan masyarakat untuk menerima kembali). Berikut ini adalah berbagai langkah penting yang seharusnya dilakukan:
Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|