Memorabilia, kata yang menjelaskan tentang mengingat suatu peristiwa di waktu tertentu, dan kita pernah berada di sana. Memorare dari bahasa Latin, yang berarti "membawa ke dalam memori”. Memorabilia memecahkan teka-teki ingatan, manusia didesain memiliki memori, juga didesain untuk melupakan. Dalam ingat dan lupa itu, kita dimediasi oleh apa yang disebut sejarah. Dibalik memori dan melupakan itu, sesungguhnya ada masalah filosofis yang dalam. Memori tidak akan ada bila pada saat peristiwa itu kita tidak memikirkannya. Tentu kita pernah bertanya, kemana memori pergi? Atau bahkan hampir seluruhnya lenyap? Paul Ricoeur, filsuf Prancis yang banyak menulis tentang filsafat hermeneutika menghasilkan sejumlah pertanyaan tentang sejarah, memori, dan melupakan, mengapa peristiwa sejarah besar di dunia seperti Holocaust menempati garis depan kesadaran kolektif dibandingkan peristiwa-peristiwa besar lainnya yang dekat dengan hidup kita, bangsa kita? Menarik sebuah karya penting dalam filsafat Paul Ricoeur, meneliti hubungan timbal balik antara "mengingat dan melupakan", menunjukkan bagaimana hal itu memengaruhi persepsi, pengalaman, sejarah, dan produksi narasi sejarah. Bagaimana sejarawan menetapkan kebenaran dan keakuratan cerita mereka. Apakah ada suatu kebenaran historis yang objektif, atau semua sejarah konstruksi dari sudut pandang tertentu, mengekspresikan kepentingan mereka yang memiliki kekuatan untuk menulis itu. Memori perlu dianalisis dalam hubungannya dengan lawannya, yaitu lupa. Dan sejarah selalu dalam ketegangan antara memori dan lupa, dan akan menjadi dua kutub yang selalu bertentangan. Maka pertanyaan penting tentang memori adalah “mengapa kita lupa?”. Ricoeur menyatakan, manusia mampu membuat memori dan membuat sejarah atau bahkan melupakan hal-hal tertentu dalam memori. Dengan kata lain, baik memori dan melupakan, keduanya tunduk pada kekuasaan, dan dengan demikian juga tunduk pada penyalahgunaan. Atas hal ini, Ricoeur menyatakan soal “perlunya keadilan pada memori”. Ricoeur mengatakan bahwa sejarah—atau dapat disebut “kenangan kolektif “—memori seharusnya lebih berkaitan dengan tugas oleh dan untuk keadilan. Keadilan dan harapan macam apa yang kita miliki bila kita lupa? Dalam On the Genealogy of Morals, Nietzsche menjelaskan apa yang disebut "lupa aktif" dan juga mengingatkan kita bahwa lupa bukan hanya kegagalan memori, melainkan penyangkalan. Memori Kolektif yang Hilang Mei 1998 adalah peristiwa yang nyaris hilang dalam memori kolektif bangsa ini, meskipun sebagian besar dari kita pernah ada dalam suasana tersebut. Memori yang muncul saat kita pernah ketakutan menggantungkan sajadah di pagar, menuliskan kata “pribumi” di tembok rumah. Hal-hal itu adalah pengingat peristiwa bahkan dengan panca indra, yang disertai penyerangan dan pembakaran ke toko-toko, mall-mall, supermarket, dan rumah-rumah pribadi. Paling terekam di media massa waktu itu adalah ratusan orang hangus terbakar di dalam Mall Yogya Klender. Dibalik bangunan-bangunan hangus itu, ada lapisan memori yang paling dalam, yaitu di jalan-jalan jembatan tol dimana perempuan-perempuan dicegat, diturunkan, ditelanjangi, diseret dan dianiaya dan ditonton orang. Korban-korban saat ini telah menjadikan “lupa sebagai penyembuhan” dan membangun kehidupan baru untuk keluar dari luka yang belum tentu sembuh. Tetapi apa yang mengakibatkan kerusuhan itu sendiri terjadi, sampai hari ini kita tidak tahu dan kita hanya menjadikannya sebagai mimpi buruk saja. Kita bisa mengetahui bencana Krakatau di masa Perang Dunia Kedua, tetapi kita lupa dengan bencana kerusuhan yang baru saja lewat 16 tahun yang lalu? Bagaimana sikap negara atas memori kolektif yang hilang dalam tragedi bangsanya? Telah terjadi penyangkalan oleh negara yang berlangsung sampai sekarang dengan tiadanya investigasi, bahwa kerusuhan, kematian massal, dan serangan seksual benar-benar terjadi. Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) terbentuk pada tanggal 23 Juli 1998 berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita dan Jaksa Agung, antara lain menyimpulkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual terjadi dalam kerusuhan Mei 1998. Kekerasan Mei 1998 menjadi perhatian dunia, dan merupakan wujud paling ekstrim akibat represi yang luar biasa dalam penghancuran martabat kemanusiaan di rezim Orde Baru. Kesimpulan TGPF menunjukkan adanya unsur kesengajaan dalam kerusuhan Mei yang sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang berarti dari pihak negara. Selama tidak ada realisasi keadilan bagi korban dan masyarakat umum, maka bangsa ini tidak sehat karena belum bisa menyembuhkan lukanya. Keadilan pada Memori, Keadilan pada Bangsa Raymond A. Knight meneliti bahwa perkosaan bukan soal penyaluran seksual, melainkan soal kekuasaan. Perkosaan pada tragedi Mei 98 menunjukkan perkosaan sebagai upaya penaklukan, untuk membangun trauma dan rasa takut untuk melawan. Perkosaan dilakukan dalam konteks represi politik adalah tentang cara mengontrol korban dan menghapus otonomi dan kemanusiaan mereka. Oleh karena itu kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 98 adalah memori yang sengaja dilupakan. Terdapat hubungan antara memori dengan identitas bangsa. Keterbukaan sebuah negara atas sejarahnya menunjukkan kedewasaan politik dan sistemnya, menunjukan moral yang baik di hadapan dunia. Sudah 16 tahun yang lalu peristiwa tragedi Mei terjadi, dan sampai saat ini tidak ada jawaban dan peringatan yang serius dari para elit politik, bahkan cenderung menanamkan “kelupaan kolektif” kepada masyarakat dengan menyangkalnya. Bekasi, 24 Mei 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|