Pengantar Setidaknya ada 81 negara yang melarang keberadaan minoritas seksual. Minoritas seksual ada sepanjang sejarah kemanusiaan, dan tidak dilahirkan secara tiba-tiba. Dimana ada manusia, keberadaan mereka telah inheren di dalamnya. Banyak reaksi atas keberadaannya, sebagai sebuah fitrah, sebagai ancaman atas prokreasi maka perlu diberangus, sebagai ketaknormalan, dan lain-lain. Eksistensi mereka bukan tanpa resiko, seringkali kematian mengancam. Stereotype dan stigma seumur hidup merupakan bagian dari kehidupan nestapanya. IDAHOT (International Day Against Homophobia & Transphobia) merupakan peringatan dunia yang diadakan untuk memberikan penghargaan hidup, karya dan prestasinya. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon memberikan pidatonya pada 17 Mei lalu bahwa “Kesetaraan berawal dari kamu”, dengan penjelasan lebih jauh bahwa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengalami banyak diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. “Mereka tak hidup dalam penghargaan kita, dan mereka hidup dalam ketakutan”, terang Ban Ki-moon. Sekarang ada kurang lebih 2.8 milyar manusia yang hidup di sekitar 81 negara yang mengkriminalisasi eksistensi mereka. IDAHOT dirayakan setiap tanggal 17 atau sepanjang bulan Mei setiap tahunnya. Di Indonesia aktivis minoritas seksual SUARA KITA memperjuangkan hak-haknya melalui link berikut (http://www.suarakita.org/2014/04/ayo-terlibat-aktif-dalam-peringatan-melawan-homophobia-transphobia-2014/). Tulisan ini akan menjelaskan sebagian dari mengapa minoritas seksual mengalami subordinasi dalam masyarakat modern. Seks, Seksualitas dan Kelahiran Liyan Mary Wollstonecraft dalam ulasannya menantang “kemerdekaan”, menjelaskan bahwa kemerdekaan tak sungguh-sungguh berpihak pada mereka yang Liyan—perempuan sebagai “vulnerable group” bersama minoritas seksual. Dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792), Mary melakukan ekspansi besar-besaran pada kemerdekaan atas perempuan dalam struktur politik masyarakat—yang sebelumnya, mustahil bagi perempuan. Karena kemerdekaan yang didengungkan kali pertama, tak sungguh-sungguh mengajak perempuan dan minoritas seksual ikut serta. Perempuan dan minoritas seksual tidak terlihat (the invisible, the intangible, thus the vulnerable). Tradisi liberalisme klasik ternyata memiliki cacatnya dengan tidak memperhatikan gender Liyan dalam konstruksi keadilannya. Dengan kelahiran liberalisme, lalu lahirlah cucu-cucunya seperti sosialisme, marxisme, komunisme, di samping feminisme. Seluruh isme-isme tersebut merupakan perangkat ideologis dan gerakan yang diyakini membawa spirit kemerdekaan dan kebebasan manusia. Yang kemudian tak sungguh-sungguh dirasakan oleh Liyan (minoritas seksual dan perempuan). Dalam perjalanannya spirit kebebasan tidak akan meng-adil jika tidak beririsan dengan gender dan ras. Kesetaraan ras merupakan gelombang yang didengungkan terutama oleh orang-orang kulit hitam, yang masih digerus oleh struktur yang tidak adil. Demikian juga kesetaraan gender menjadi spirit yang terus diperkarakan sampai sekarang. Karena keduanya, tak kunjung mendapatkan tempat adilnya. Di tahun 2014 ini, masih banyak Gender Liyan, yaitu minoritas seksual, berjuang mendapatkan hak-haknya yang secara tidak adil dilibas oleh heteronormativitas a la sejarah seksualitas manusia yang Freudian. Dengan itu, kerap dijumpai bagaimana perjuangan ras minoritas berjalan beriringan dengan perjuangan perempuan dan kelompok rentan lain, seperti kelompok minoritas seksual. Okky Madasari dalam novel terbarunya, Pasung Jiwa, mengabarkan perihnya menjadi Liyan, pedihnya menjadi Liyan. Tercerai-berainya Sasana menjadi Sasa. Sebagai transgender, Sasa adalah potret mereka yang termiskin di antara yang miskin. Novel Okky Madasari ini merupakan ecriture feminine, meminjam terminologi dari Helene Cixous, bahwa pengalaman perempuan juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Istilah ini juga dikenal sebagai white-ink, bahwa perasaan perempuan dituliskan dengan tinta susu Ibu. Sasana: ”Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku”. ... Setiap hari, anggota Dark Geng menghampiriku saat aku baru keluar dari kelas. Mereka minta jatah lima ribu rupiah. Kadang mereka menggeledah tasku, mengambil apa saja yang bisa diambil. Aku menurut. Asal aku tak dipukul, lalu pulang penuh lebam, dan membuat ibuku kembali menangis. Tak ada yang bisa melawan, tak ada yang berani melaporkan. Beberapa kali ada guru yang melihat penganiayaan. Tapi tak ada yang mengambil tindakan. Tak ada yang kena hukuman. Bagi sekolah ini, keributan, perkelahian, penganiayaan, adalah urusan kecil remaja laki-laki yang bisa diselesaikan mereka sendiri. Aku pun jadi membenci laki-laki. Membenci diriku sendiri yang jadi bagian dari laki-laki. ... Setelah dua bulan jadi anak baru di Malang, aku menemukan sesuatu yang membuatku begitu bahagia. Barangkali ini hasil penantian panjangku selama bertahun-tahun. Hidupku kini hanya untuk berdendang dan bergoyang. Sudah tak terhitung berapa kali aku membolos kuliah. Ruang kuliahku sekarang ya warung Cak Man itu. Cak Jek sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Tiba- tiba Cak Jek datang dengan membawa sebuah bungkusan. CAK JEK: (sambil menyerahkan baju, wig, make up dan sepatu) Kita harus profesional.. Sasana berdendang kembali sambil memakai semua yang diberikan oleh Cak Jek. Hingga pada saat akhir lagu Sasana telah berubah menjadi Sasa. (Okky Madasari: Novel Pasung Jiwa). Dalam gender, dalam jenis kelamin, dalam struktur seksualitas, liberalisme memasung, mengungkung kebebasan dan keadilan terhadap liyan. Atas nama seksualitas, kemudian Liyan direndahkan derajat dan martabatnya. Keberadaan transgender, bencong, banci, lesbi, dan minoritas seksual lain, merupakan sebuah keberadaan yang dihinakan dalam pasungan Liyan. Martha Nussbaum (1947-), seorang professor dan feminis dari Universitas Chicago menulis dengan terang dalam bukunya Sex and Social Justice (1998 dengan Juha Sihvola). Dalam buku ini, Nussbaum memaparkan bagaimana seks dipakai sebagai alat kontrol untuk meliyankan kelompok rentan, menistakan derajat dan martabat pilihan liyan. Seks dan seksualitas sendiri menjadi alat yang”menjijikkan” untuk melakukan eksekusi-eksekusi tidak adil terhadap Liyan yang rentan. Seksualitas: jenis kelamin, identitas gender, dan ekspresi & orientasi seksual telah menjadi momok yang dipakai sebagai alat untuk menakut-nakuti Liyan, dipakai untuk menindas liyan, dan pada akhirnya memasung kebebasan Liyan. Nussbaum mendeskripsikan bagaimana hierarki sosial dapat terbentuk dari kelas-kelas yang meliyankan mereka yang abnormal, dalam tanda kutip. Kebebasan manusia yang fungsional, kemudian malah juga dicerca sebagai alat yang berbahaya dalam kemerdekaan sang Liyan itu. Maka sejak itulah, kebebasan mendapatkan stigmanya yang buruk. Padahal dia lahir dan dielu-elukan untuk membebaskan manusia dari pasungan. Dari perbudakan, dari kebodohan. Atas nama kejijikan, abnormalitas, sampah, Liyan diliyankan dengan sistematis dan sistemik. Penyingkiran terhadap Liyan dilakukan dengan pembuatan sekat-sekat dan kategori-kategori seperti LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseksual). Dalam fungsi-fungsi sosialnya, bahkan, mereka yang diliyankan dalam box-box itu tak benar-benar tahu, apa label untuk mereka karena seksualitas sesungguhnya bersifat cair, bertumbuh, kontekstual, individual, dan kontinum. Tentara 4: Jadi kamu itu bencong yang mau coba-coba melawan negara? Sasa: Tidak! Sasa melotot tajam ke arahnya. Oknum-oknum Laskar yang ada di situ tertawa. Sambil terus menyebut kata bencong. Lalu Sasa yang tidak terima dengan perkataan tersebut meludahi dan menendang kemaluannya. Tapi orang tersebut membalas memukul sasa dengan pentungan sampai terkapar. Oknum laskar: Udani wae, ben kapok. Lanangan kok dadi wedok!” (Okky Madasari: Novel Pasung Jiwa, 2013). Dalam masyarakat tradisional, keberadaan mereka tak sungguh-sungguh diliyankan, dan mendirikan sebuah tempat dan situs tradisi yang tidak bisa disangkal oleh sejarah. Sebut saja periwayatan Reog dengan Warok-Gemblak. Bahkan hubungan tersebut diniscayakan sebagai sesuatu yang spiritual. Apa-apa yang diadopsi oleh negara modern (baca: state), jelas mengadopsi sejarah seksualitas Freud, yang tak mengandaikan bahwa mereka ada. Seksualitas klasik Freud yang heteronormatif, men-sida-sida penis kecil perempuan, menyunat tangis anak lelaki, membekukan peran ibu, peran ayah dengan kaku, ternyata telah melahirkan banyak ketidakadilan atas entitas-entitas seksualitas dalam struktur tradisional dan adat. Kemudian Freud mendapatkan genderang pendukungnya dari agama-agama Semit yang membabat habis keberagaman seksualitas di bumi ini. Atas nama kejijikan, tabu, dan tempelan dosa, kemudian Liyan dilahirkan dalam rahim kebebasan. Apa yang dicitakan bebas, tak sungguh-sungguh dapat dinikmati oleh Liyan yang menjijikkan dan pendosa itu. Kubah keagungan dan kesucian kemudian didominasi, dieksploitasi dan disalahgunakan oleh mereka yang menyebut diri sebagai normal dan tak menjijikkan. Martha Nussbaum: Kejijikan, Rasa Malu, & Kesetaraan Seksual Kerap, di jalanan, atau di salon-salon, kita akan menyingkirkan diri dari kejijikan melihat para bencong pemangkas rambut. Juga pandangan-pandangan remeh terhadap tukang salon banci yang dandan menor tetapi anggun sedang membedaki wajah kita, atau sekedar merapikan keris yang menancap di ekor punggung kita. Demikian. Dalam Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (2004), Martha Nussbaum menulis bagaimana kejijikan menjadi alat yang digunakan untuk menindas keadilan dan kebebasan terhadap Liyan—empati dan penghargaan dibolehkan absen karena rasa jijik dan rasa malu. Hukum tunduk pada kejijikan dan rasa malu. Otonomi, otoritas, preferensi, kebebasan kita, yang sok normal, diletakkan dalam hierarki tertinggi, ter-agung, di atas mereka, para Liyan, Kaum yang Menjijikkan itu. Demikianlah keadilan sosial dicetak dan dipublikasikan dengan menggunakan seksualitas sebagai alat kontrol. Seksualitas yang sifatnya “given”, terberi dan asasi tersebut disamakan dengan kelakuan sundal dan tercela. Ketidakadilan dalam kebebasan dipasung dengan kategori gagap “normal versus abnormal”. Pada abnormalitas fisik, seperti difabilitas, kejijikan tak begitu menjadi alat penyerang. Tetapi terhadap seksualitas, penanda kejijikan dan laku dosa memperparah stigma, stereotype dan ketidakadilan terhadap kaum Liyan. Pada lelaki, kekuasaan diberikan; pada perempuan, properti dititipkan; pada minoritas seksual, kejijikan dan segala pelengkap dosa disematkan. Otonomi diri dan agensi diri tak sungguh-sungguh dimiliki oleh perempuan dan minoritas seksual, karena mereka sekadar barang, dan sekadar pendosa yang tak berguna. Nussbaum dalam bukunya menggambarkan bagaimana emosi dan kejijikan itu telah melahirkan penderitaan dan kejahatan atas minoritas seksual. Liberalism does think that the core of rational and moral personhood is something all human beings share, shaped though it may be in different ways by their differing social circumstances. And it does give this core a special salience in political thought, defining the public realm in terms of it, purposefully refusing the same salience in the public political conception to differences of gender and rank and class and religion. This, of course, does not mean that people may not choose to identify themselves with their religion or ethnicity or gender and to make that identification absolutely central in their lives. But for the liberal, choice is the essential issue; politics can take these features into account only in ways that respect it. (Nussbaum, Sex and Social Justice, 70) Dengan sengaja, sistem dalam negara menciptakan pemikiran politik yang mendefinisikan realitas publik dalam struktur dan hierarki seksualitas yang meliyankan perempuan dan minoritas seksual. Padahal struktur seksualitas yang adil adalah yang mengakui setiap penghuninya, baik laki-laki, perempuan dan minoritas seksual sebagai makhluk politis dan manusia utuh. Kebebasan telah diciderai dengan invisibilitas gender sebagai penanda untuk menindas Liyan. Kesetaraan antar manusia, mau tidak mau, harus dimulai dari “kesetaraan seksual” (sexual equality, meminjam Nussbaum). Dan kesetaraan seksual merupakan salah satu penanda utama dalam spirit kebebasan yang adil dan memerdekakan. Dan darinya distribusi kekuasaan, representasi, otoritas, dan otonomi, seharusnya menjadi hak kaum Liyan itu. Happy IDAHOT! Referensi: Madasari, Okky. 2013. Pasung Jiwa. Jakarta: Gramedia. Nussbaum, Martha C & Juha Sihlova. 1999. Sex and Social Justice. Oxford: Oxford UP. Nussbaum, Martha C. 2004. Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law. Princeton: Princeton UP. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|