Ulasan Rahim dan Batin Puan Ulasan novel ini disusun pada bulan sebaik-baiknya bulan, Mei. Bulan saat teman-teman buruh mengusung rahim Marsinah dan teman-teman perempuan melawan lupa pada rahim 98. Juga saat Maria—tokoh mahasiswa pada Novel Istana Jiwa—akan merayakan hari lahir Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei. Partai yang ia yakini jalan perubahan terbaik, yang lalu begitu cepat ditelikung dan dibumihanguskan. Bulan penuh kesakitan, kekecewaan, sekaligus penanda bahwa rahim dan batin para puan tetap lentur dan penuh semangat meraih kembali martabatnya sebagai manusia. Seperti rahim, para puan lentur menghadapi setiap perampasan harkat di dalam keluarga, partai, masyarakat dan negaranya. Seperti rahim, mereka merawat hidup sambil terus bernegosiasi dengan kekasih, suami, bapak, partai dan negara. Sebelum melahirkan Istana Jiwa (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2012) Putu Oka Sukanta melahirkan novel Merajut Harkat (Elex Media Computindo, 2010) tentang pertaruhan untuk tetap menjadi manusia ketika para lelaki dipenjara, disiksa, coba dirampas seluruh martabatnya. Sedang pada Istana Jiwa kita dipertemukan dengan tokoh para perempuan di luar penjara, yang bertahan hidup baik untuk diri, keluarga, orang-orang terkasih di luar penjara maupun para lelaki yang di dalam penjara. Novel sejarah ini menggambarkan situasi menjelang, saat dan sesudah berlangsungnya kudeta 1965. Situasi itu, kemudian lebih subtil dituturkan melalui tokoh-tokoh perempuan: 1. Maria atau Ria, aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiwa Indonesia (CGMI) dan anak dari anggota parlemen dan penulis Koran Harian Ekonomi berhaluan kiri—Bung Rampi. Ria dengan sepenuh jiwa memilih menjadi anggota PKI beberapa saat sebelum peristiwa 65 terjadi. 2. Ibu Suri, istri Bung Rampi dan ibu dari Maria. Tokoh Istri yang disibukan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan suaminya Bung Rampi—selama dipenjara. Kerja kerasnya yang dapat mengembalikan rumah mereka yang dirampas, bukannya disyukuri oleh Bung Rampi setelah pulang dari penjara. Tapi dicurigai sebagai hasil menjual diri—Bung Rampi menganggap rendah pekerja seks. 3. Asmi, istri Mulia, wartawan, yang bertahan hidup dan mengurus suaminya selama di penjara. Seperti istri-istri yang lain di novel ini, para suaminya lebih tertarik dengan politik daripada urusan keluarga. Sehingga saat dipenjara pun Mulia membatasinya “Aku nggak perlu kabar tentang keluarga, kirim kabar-kabar tentang politik saja.” 4. Kirtani, Ivone, Hwani, Istri-istri lain yang suaminya dipenjara dan setengah mati mempertahankan rumah dari okupasi militer yang melibatkan mahasiswa haluan kanan. Novel ini dapat diulas dari ragam pandangan. Bagi yang menyukai politik, ia dapat mengulasnya dari aspek geo-politik. Yang suka gerakan mahasiswa, dapat mengupasnya dari konflik-konflik yang terjadi antara lain antara Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan CGMI. Dalam tulisan ini, novel akan dibahas dari pengalaman rahim dan batin tokoh-tokoh perempuannya. Baik rahim fisik para tokohnya maupun rahim mental dan sosialnya dari perempuan sebagai ibu/istri maupun perempuan sebagai gerakan—Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Rahim dan Batin Puan Sebelum Kudeta 65 Secara umum kudeta militer 1965 menghancurkan hidup bersama antara warga yang PKI, yang sehaluan atau yang dituduh PKI dengan warga negara yang lain. Mengalihkan harta PKI dan yang diPKIkan kepada militer. Membakar buku-buku yang dianggap sehaluan dengan PKI. Menjebloskan orang pada penjara tanpa peradilan. Menghilangkan hidup dan penghidupan warga PKI dan yang dianggap sehaluan. Secara detail perubahan Orde Lama ke Orde Baru juga menghancurkan rahim dan batin perempuan, baik sebagai individu aktivis, istri, ibu maupun secara gerakan—pada Gerwani. Dari sudut pandang relasi kuasa perempuan dan laki-laki pada novel ini menunjukan belum setara bahkan dari sebelum penghancuran oleh Orde Baru. Tetapi Orde Baru memperburuk relasi kuasa itu. Sebelum kudeta 65, tokoh-tokoh perempuan di novel ini tidak dianggap sepenuhnya oleh ayah/suami mereka. Maria ditegur oleh bapaknya yang pemimpin besar karena memutuskan menjadi anggota PKI tanpa meminta izin selaku anak kepada ayahnya (hal. 37). Tokoh-tokoh laki-laki di novel ini juga digambarkan tokoh yang suka menulis, berbincang politik berlama-lama dengan orang lain. Tapi tidak banyak bicara dan tidak punya banyak waktu untuk keluarganya. Kondisi ini yang kemudian memperburuk situasi para istri pascakudeta 65 saat suami mereka ditangkap. Para istri ini menanggungjawabi hal-hal yang tak sungguh-sungguh mereka mengerti. Berikut kutipan perbincangan para istri—Asmi dan Aidah—saat kebingungan menghadapi suami mereka yang ditangkap: “Apa kamu tahu sebenarnya apa yang terjadi?” “Tidaklah. Mana pula aku tahu. Aku kan cuma sekretaris di kantor, mestinya suamimu yang tahu dan memberi tahu kita. Kok ia diam saja, kemana Mulia sekarang?” “Pergi ke kantor.” “Kantor kan sudah diduduki tentara. Semua diobrak-abrik tentara.” “Jangan-jangan ia ditangkap di kantor.” (hal. 101 – 102) Termasuk kesulitan para istri untuk mencari tahu keberadaan suami mereka ke lembaga militer, penjara yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya. Juga kebingungan mereka terhadap pemberitaan Gerwani yang keji—organisasi perempuan yang diberitakan sehaluan dengan kegiatan suami mereka. Dengarkan pula keluhan Ibu Suri mengenang perlakuan suaminya sebelum penangkapan: “Kalau sudah begini, coba siapa yang mengurusnya? Siapa yang membesuk? Apa perempuan-perempuan yang selalu disediakan oleh-oleh kalau pulang dari luar negeri?” “Ibu cemburu?” “Bukan cemburu Nduk, tapi merasa dikesampingkan. Orang-orang luar selalu lebih penting dari kita. Di rumah bapakmu tidak punya waktu untuk kita....Ibu Baru menyadarinya, ternyata ada raja kecil di rumah.” (hal. 180) Rahim dan Batin Puan Setelah Kudeta 65 Puan sebagai Isteri Setelah menangkap para suami, rezim militer kemudian merampas rumah tinggal mereka. Yang memiliki rumah sendiri diminta untuk menyerahkan untuk digunakan pos keamanan atau dipaksa tinggal satu rumah dengan keluarga tentara. Bahkan Hwani, yang tinggal di rumah kontrakan pun, diminta pindah oleh pemilik rumah, karena ada ancaman rumah kontrakannya akan dirusak (hal. 138). Maria dan Ibu Suri pun akhirnya mengontrak rumah kopel. Sedang istri yang menolak memberi tahu keberadaan suaminya disiksa dan diancam diperkosa (hal. 156). Mengirim makanan dan menentramkan suami yang dipenjara tak dapat dielakkan dari tokoh para istri. Meskipun kasih sayang mereka tak bersambut dari orang yang diurusnya itu. Saat Asmi memberi kabar rapor anak-anak mereka yang nilainya bagus, suaminya membalas dengan lintingan kertas yang berisi: Semalam aku mimpi kamu sayang. Aku nggak perlu kabar keluarga, kirim kabar politik (hal. 200). Setelah suaminya keluar dari tahanan para istri terus berjuang menghadapi dinamika suami mereka. Dari kewalahan menghadapi gairah seks suami hingga membantunya pulih dari mimpi buruk dan membangun kembali pekerjaannya. Dan Ibu Suri yang menemukan si raja kecil Rampi yang semakin menyakitkannya dengan menganggap upaya Ibu Suri menitip foto dan surat lewat pastor tidak istimewa karena disensor. Rampi juga tidak lagi merasa bagian dari keluarganya, “Bapak sebagai kepala rumah tangga tidak mau makan dari hasil kerja istri dan anak. Tapi, Bapak belum menemukan pekerjaan yang layak dan menghasilkan uang” (hal. 273). Keluarga Ibu Suri dan Rampi berakhir ketika Rampi mencurigai rumah yang mereka miliki hasil dari jualan lendir Ibu Suri. Puan sebagai Ibu Tokoh-tokoh Ibu dalam novel ini juga berjuang untuk mengurangi penderitaan anak-anaknya akibat penangkapan suami mereka. Ibu Maruto yang meminta kepada Pak RT, agar suaminya ditangkap saat anak sedang tidur. Dan menyerahkan suaminya kepada para penangkap, untuk menghindari ancaman mereka yang akan mempertontonkan penyiksaan di tahanan kepada anaknya (hal. 106 - 107). Kirtani sebagai ibu dari Ayang, selain mengurus keperluan keluarga dan suami di penjara, ia juga harus merawat Ayang yang trauma. Ayang trauma karena mendengarkan penyiksaan dari ruang tahanan, saat Kirtani mengajaknya mencari suaminya. Kirtani menghibur Ayang bahwa ayahnya tidak disiksa, walaupun Ayang didatangi mimpi buruk terkait kondisi ayahnya. “Ayah dimana, Mama?” “Sedang sekolah, masuk asrama. Belum dapat cuti.” (hal. 93) Para ibu juga memulihkan kesedihan anak-anaknya yang di sekolah diejek “anak PKI” juga saat para ayah diasingkan ke Pulau Buru. Puan sebagai aktivis mahasiswa dan Gerwani Perempuan muda aktivis dan Gerwani/yang dituduh Gerwani ditangkap dan mengalami penyiksaan seksual. “Perasaan keibuanku mengutuk cara-cara yang digunakan pemeriksaan menyiksa mereka. Ada yang rambutnya digunting, ada yang teteknya disundut rokok, memeknya diunyel-unyel sampai kesakitan menjerit-jerit...” ( hal. 156) Novel ini juga menggambarkan bagaimana rezim militer mengawinkan patriarki dan agama untuk menghancurkan gerakan perempuan. Setelah mereka berhasil memobilisasi organisasi mahasiswa berbasis agama—HMI, PMII, GMKI, dll—menjadi kolektif yang melakukan perlawanan kepada PKI yaitu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), hal. 55. Selanjutnya pemberitaan untuk menghasut kebencian pada Gerwani dikait-kaitkan juga dengan agama: “Perempuan-perempuan tidak dikenal mendatangi rumah-rumah para pahlawan kita dengan memakai mukena seolah-olah mereka orang Muslim. Gerak-gerik mereka menimbukan ketjurigaan karena jelas mereka ini orang-orang Gerwani...” “Tubuh para djenderal itu telah dirusak, mata dicungkil, sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka...Sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para djendral, dengan menggosok-gosokan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.” (hal. 81) Selanjutnya alat patriarki dan agama ini juga dilengkapi dengan upaya-upaya pecah belah sesama perempuan: “Bahkan menurut sumber jang dipertjaya, orang-orang Gerwani menari-nari telandjang, di depan korban-korban mereka, tingkah laku mereka mengingatkan kita pada upacara kanibalisme yang dilakukan suku-suku primitif berabad-abad yang lalu. Marilah kita serahkan pada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan orang-orang Gerwani yang bermoral bedjat lebih buruk dari binatang.” (hal. 83). Tidak Mungkin Menyangkal Perilaku Patriarkis Saat Mengkritisi Peristiwa 65 Dari perjuangan tokoh-tokoh perempuan pada novel ini, sedikitnya ada dua catatan yang perlu diingat-pahami saat kita memahami peristiwa 65. Pertama sumbangsih para puan dengan perannya sebagai anak perempuan, istri, ibu, aktivis dan gerakan perempuan pada penyelamatan harkat manusia Indonesia ditengah kecamuk dan deraan penghabisan hidup dan penghidupan oleh Orde Baru. Negosiasi mereka agar tak diperkosa, agar tak seluruhnya harta terampas, agar pulih luka batin dan luka batin anak-anak dan suami mereka, agar tak meninggal kelaparan lelaki-lelaki yang dipenjara. Gotong-royong diantara mereka untuk saling memberikan bantuan dan perlindungan, meskipun pemberian bantuan itu meningkatkan kerentanan mereka untuk diciduk rezim. Ketabahan dan keliatan mereka mengelola fitnah—penghabisan atas nama agama, serangan seksualitas pada Gerwani dan pecah belah sesama perempuan Indonesia. Ingatan pada sumbangsih para tokoh perempuan ini, penting menjadi guru bagi sesiapa yang akan melanjutkan pertumbuhan Indonesia sebagai bangsa dan negara hari ini. Dan semangat bagi perempuan Indonesia untuk mengelola menghadapi penguasaan dan pecah belah atas dasar seksualitas dan akibat sistem ekonomi yang rakus saat ini. Kedua, kekuatan dan keberanian novel ini dalam menunjukan relasi kuasa perempuan dan laki-laki yang belum setara. Tidak hanya relasi antara tokoh perempuan dengan rezim Orde Baru, tetapi hingga relasi mereka dengan suaminya sebagai bagian dari warga dan partai politik yang ditindas rezim. Tidak berarti bila PKI dan orang-orang sehaluan dikorbankan oleh rezim Orde Baru maka mereka lepas dari kritikan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Karena, pertempuhan pemulihan kesadaran pada keadilan ini tentunya mesti sejalan dengan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Demikian juga dalam pengungkapan menuju kebenaran dari cara pandang, cara tutur, rahim dan batin perempuan pada peristiwa 1965 yang tertuang dalam novel ini. Bagaimana Putu Oka Sukanta, sebagai laki-laki yang bagian dari mereka yang dipenjara dapat menghidupkan tokoh para puan dalam novelnya Istana Jiwa ini? “Ketika saya dipenjara, saya diberi makan, pakaian yang dibagikan oleh kawan sepenjara yang dikirim oleh para istrinya,” demikian ungkap Penulis pada diskusi buku ini. Tak terbayangkan hidup para tahanan politik tanpa dukungan perempuan-perempuan itu. Karena itu, karya ini juga dipersembahkan untuk perempuan-perempuan hebat itu. Dan untuk kita semua, untuk tak pernah lengah merawat kerja sama dan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pertempuhan menuju keadilan apapun. [1] Disampaikan pada Diskusi Istana Jiwa, bagian dari rangkaian Terus Melangkah 75 Tahun Putu Oka Sukanta, diselenggarakan Indonesia untuk Kemanusiaan, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) dan Mata Budaya, Jakarta, 20 Mei 2014. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|