Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
dewicandraningrum@jurnalperempuan.com

Semiotika membuka keran-keran perjalanan dan membukakan pintu-pintu dari batas simbolisme dan proses simbolisasi. Cara manusia menciptakan subjektivitas tak lepas dari cara ia menemukan apa-apa yang tak disukainya, dijijikinya, atau apa-apa yang dapat membatalkan seluruh eksistensinya. Pada era sekarang, manusia bisa membatalkan hal-hal binatang dalam dirinya: Yang dicirikan oleh tak berbudaya, kulit kusam kotor hitam, rambut tak lurus awut-awutan, atau alter egonya yang maujud dalam diksi sejarah para (t)uhan. Simbolisme memungkinkan kategorisasi atas supremasi dan para liyan yang operasi dan opresi ditentukan oleh hirarki, hegemoni, dan eksploitasi. Semiotika ini akan baik jika memandu bagaimana ide disemaikan via motif karya sastra, yang modusnya direalisasikan dalam elemen-elemen estetiknya, yang pengabdiannya via laku integritas pesastranya. Motif, modus, komitmen, dan integritas inilah yang membangun epistemologi sastra mempertanggungjawabkan kecerdasan etiknya.
Penghargaan karya sastra tak boleh melepaskan dirinya dari belenggu simbolisme dan logosentrisme bahasa. Ia tak hanya memiliki kewajiban estetik atas keelokan dan kecerdasan perangkat bahasa, tetapi ia memiliki dharma mulia mengabarkan keberpihakannya pada naskah etik, yaitu kapasitas manusia menolak nilai-nilai totalitarian di dalam dirinya sendiri (seperti menandai identitas kolektif pada bahasa dengan menyerang identitas agama, etnisitas, seksual dan lain-lain). Betapa bahaya proses pemaksaan identitas kolektif atas individu-individu yang sifatnya cair, subjektif dan berproses sepanjang usianya. Sedang muasal ia adalah kebebasan asasi manusia yang sekarang mengalami krisisnya. Psikoanalisa, semiotika, linguistik dan teori feminis yang lahir dari rahim paradigma kritis beramai-ramai menyangsikan bagaimana tanggung jawab etik saat ini sulit dipenuhi. Kita perlu melacak mengapa karya sastra sangsi atas problem dasar manusia yang kehilangan kecerdasan etiknya dan masuk dalam jurang totalitarianisme yang dicirikan oleh watak dasarnya: megalomania. Meminjam Arendt bagaimana ancaman megalomania dapat menghilangkan kebebasan asasi manusia.
- “Das Wesentliche der totalitären Herrschaft liegt also nicht darin, dass sie bestimmte Freiheiten beschneidet oder beseitigt, noch darin, dass sie die Liebe zur Freiheit aus den menschlichen Herzen ausrottet; sondern einzig darin, dass sie die Menschen, so wie sie sind, mit solcher Gewalt in das eiserne Band des Terrors schließt, dass der Raum des Handelns, und dies allein ist die Wirklichkeit der Freiheit, verschwindet. (Hannah Arendt, Elemente und Ursprünge totaler Herrschaft, 1951, 1955: 958).
Dari Freud, Lacan, kemudian Saussure, Husserl kemudian Kristeva, Irigaray, Beauvoir, Butler dan lain-lain kita dapat membongkar penjara megalomania via pembongkaran supremasi subjek dan tanda. Seorang pesastra bisa saja memiliki baju megah sistem tanda dalam mendirikan subjektivitasnya, tetapi mungkin ia lupa bahwa keduanya diikat oleh jiwa tanda yang hanya bisa dikenali melalui integritas tanda. Indikatornya adalah tanggung jawab etiknya pada persoalan-persoalan jaman. Die Zeitgeist, Jiwa Jaman. Pengantar ini tidak perlu membabarkan: Bagaimana hutan Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, Papua rusak dijarah oleh ideologi Pembangunanisme? Bagaimana menghadapi kepunahan masal biota dan hewan serta perubahan iklim? Bagaimana Ahmadiyah atau Syiah terusir dan kehilangan tanahnya? Bagaimana Muslim Rohingya dilautkan dan nir-warganegara? Bagaimana LGBT di Aceh dan daerah lain mengalami serangan penghinaan setiap hari? Bagaimana Indonesia di Asia Tenggara menempati rangking pertama angka kematian ibu melahirkan dan kedua tertinggi pernikahan anak? Bagaimana hampir lebih dari 84% politik kebijakan bukan berbasis adil tetapi transaksi? Bagaimana re-narasi sejarah emosional 65? Sejarah IANFU, GERWANI dan Korban Perkosaan 98 yang merupakan politik fitnah seksual paling kejam dalam sejarah modern Indonesia? Atau bagaimana Indonesia mengekspor perempuan-perempuannya menjadi buruh migran murah di luar negeri? Dan lain-lain yang tak perlu dinarasikan di sini dengan lebih terangnya. Pertanyaan ini tak perlu didiktekan pada para pesastra. Secara acak, pertanyaan tersebut adalah dasar dari amarah-baik atas horor negeri ini yang sulit dan langka ditemukan dalam karya-karya.
Kelangkaan kecerdasan etik dalam karya, mungkin, saya duga, karena kurangnya amarah manusia pada keserakahannya sendiri. Mungkin juga keserakahannya lebih dibimbing oleh miskinnya motif, modus dan integritas sehingga apa yang ada dan disediakan di toko-toko adalah reproduksi monster-monster yang menenangkan hasrat primitif manusia atas diri. Di hampir semua narasi horor, baik narasi verbal atau visual, misalnya, perempuan dikonseptualisasikan sebagai kuntilanak. Sedang LGBT, dinarasikan sebagai kejijikan. Meminjam Kristeva dalam Pouvoirs de l'horreur: Essai sur l'abjection 1980, dinarasikan bagaimana seksualitas adalah tempelan yang membuat perempuan dan LGBT menjadi terhina dalam nilai-nilai modernitas. Bilamana kosmologi tradisional menandainya dengan kesucian, kesuburan dan axis mundi maka manusia sekarang menggunakan agama dan tafsir modernitasnya untuk merongrong seksualitas perempuan korban perkosaan sebagai kuntilanak baru yang pantas dijauhi dan dikucilkan dari masyarakat? Apa beda Pekerja Seks Komersial yang diperkosa dengan perempuan baik-baik diperkosa? Siapa yang akan sastra bela? Keduanya adalah aksi kriminal yang motifnya sama yaitu keserakahan atas diri, terlepas apakah ia perempuan “baik-baik” atau tidak. Sistem tanda kita tentu tak bisa menciptakan diksi baru, bahwa laki-laki yang memperkosa adalah bukan laki-laki baik-baik, bukan? Untuk itulah kemudian Kristeva menulis Au commencement etait I'amour 1941 sebagai pemberontakan linguistik atas penjara rasionalisasi logos dan sistem representasi bahasa: muasal adalah firman versus muasal adalah cinta. Bagaimana semiotika mewacanakan air susu ibu, trauma korban perkosaan, dan lain-lain yang tak tersimpan dalam bahasa dapat diusahakan atas ‘makna’, meskipun tak memiliki ‘arti’ dalam kamus bahasa.
Sejak dari dulu sampai dengan sekarang, banyak filsuf mendiskusikan hakikat cinta. Sesuatu yang sentral dalam hidup manusia. Khususnya yang menggunakan metode analisis esensialis (eidetic) untuk mengembangkan dan mempraktekkan fenomenologi realis yang magnum-opusnya dipersembahkan oleh Dietrich von Hildebrand, Hakikat Cinta—yang menteologikan tubuh, kemudian. Filsafat cinta memandang pertanyaan atas cinta apakah sebagai tujuan utama manusia, atau atas kebahagiaan, atau atas arti dan makna cinta, atau atas apakah cinta berpusat pada dirinya atau pada yang dicintainya. Respon atas nilai dan martabat cinta kemudian juga tak menolak interpretasi hedonis atas cinta, sebagai yang tersiratkan dari hasrat atas kesenangan, atau kegenapan, atas pemenuhan diri, dan atas ilmu bahagia yang dipenuhi keberlimpahan cinta yang dipersembahan kepada yang dicintai, atau atas dirinya sendiri (propter seipsam). Seperti narasi cinta yang getir atas hilangnya tak hanya kekasih, tetapi juga ruang-hidup Bhumi yang teracuni radioaktif sampai dengan ratusan tahun ke depan dalam Suara dari Chernobyl:
I didn't see the explosion itself. Just the flames. Everything was radiant. The whole sky. A tall flame. And smoke. The heat was awful. And he's still not back. … He was producing stools 25 to 30 times a day, with blood and mucous. His skin started cracking on his arms and legs. He became covered with boils. When he turned his head, there'd be a clump of hair left on the pillow. I tried joking: "It's convenient, you don't need a comb." Soon they cut all their hair. … When he died, they dressed him up in formal wear, with his service cap. They couldn't get shoes on him because his feet had swollen up. They buried him barefoot. My love. (Lyudmilla Ignatenko, Wife of fireman Vasily Ignatenko narrated her story in Svetlana Alexievich’s Voices from Chernobyl, 1997, trans 2005). |
Solo, 10 Desember 2015