Robertus Robet [email protected] (Dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta) Tulisan ini akan dipresentasikan pada Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta, 8 Maret 2018 di Universitas Negeri Jakarta Pengantar
Tradisi Yunani klasik membagi tiga jenis cinta: yakni eros, cinta yang berbasis pada ego. Ia diarahkan pada orang lain, namun diperuntukkan bagi kepuasaan diri. Kedua, adalah philia, yakni cinta sebagai rasa persahabatan, cinta yang tumbuh dari relasi antar manusia satu sama lain. Ketiga adalah cinta agape, cinta dalam wujud yang paling tinggi, cinta yang hanya memberi tanpa berharap kembali. Cinta yang berani berkorban. Pandangan normatif dan humanisme klasik memosisikan cinta dalam kaitannya dengan kualitas esensial individu yakni kehendak bebas. Cinta juga dikonstruksi sebagai semacam substansi yang melampaui rasionalitas/akal budi. Sebagian orang mungkin akan menggunakan pandangan Pascal untuk memosisikan apa itu cinta, Pascal mengatakan bahwa Le cœur a ses raisons que la raison ne connaît point, ‘hati memiliki alasan-alasan yang tidak dapat diterangkan oleh akal.’ Dengan itu, cinta diperkuat dengan karakter yang khas: irasional, dengan sensibilitas yang khaostis di dalamnya. Dari sini berkembang pikiran yang menekankan sifat kontradiktif dari cinta: dia dialami sebagai suatu gejala universal dimana setiap orang merasa mengalaminya namun pada saat yang sama, bagi yang sedang mengalami ia beranggapan cinta sebagai hal yang khusus, intim, individual dan partikular. Cinta dimengerti sebagai gejala yang universal tapi selalu diyakini dalam pengalaman yang singular. Namun demikian seluruh pandangan normatif, humanis, romantik dan esensialis mengenai cinta ini, mengalami kebuntuan apabila kita benturkan dengan gejala atau peristiwa empiris yang membawa-bawa cinta. Mengapa ada orang yang membunuh demi cinta, atau mengorbankan diri untuk cinta, atau menyakiti dengan kekerasan karena cinta dan atau demi cinta. Selain itu, dengan melihat bagaimana ia secara empiris dialami dan dimengerti oleh setiap orang dalam singularitasnya, maka sulit untuk menemukan keterkaitan yang konstan antara cinta dengan feminisme. Dalam pengalaman umum cinta sering dimaknai sebagai pengalaman ‘kejatuhan’ individu sebagaimana dimengerti dalam istilah ‘jatuh cinta’, ‘putus cinta’, ‘cinta buta’. Sementara feminisme sebagai dunia pengalaman adalah dunia pengalaman kebangkitan dan emansipasi. Sehingga dari sini muncul pertanyaan, mungkinkan kita mengonseptualisasikan cinta dalam kerangka feminis yang emansipatif. Cinta Sebagai Gejala Narsistik Psikoanalis Perancis Jacques Lacan pernah menulis bahwa: “is not possible to say anything meaningful or sensible about love, ia juga melanjutkan bahwa “the moment one begins to speak about love, one descends into imbecility” (Lacan, 1990, Seminar VIII: ON Transferennce, (ed) Jacques Alain-Miller: hlm, 57 dan Lacan Seminar XX, hlm 17.) Kita tak mungkin mengucapkan sesuatu yang bermakna dan masuk akal mengenai apa itu cinta, begitu kita membicarakannya maka kita mendadak bego. Tentu saja, ucapan Lacan ini lebih dimaksudkan sebagai semacam retorik, karena pada kenyataannya ia salah satu orang yang paling banyak membicarakan dan menulis tentang cinta sebagai suatu gejala mental. Lacan boleh dibilang, adalah salah satu pemikir humaniora paling intens dalam membahas cinta. Dalam tradisi psikoanalisa, adalah Sigmund Fredu yang mula-mula menjelaskan apa itu cinta. Di dalam Freud, cinta dimengerti sebagai fenomena instingtual, dorongan libidinal ke arah objek cinta. Freud menyebut insting erotis ini sebagai Eros. Eros adalah insting yang mempertahankan hasrat manusia akan persatuan. Eros adalah insting untuk hidup, insting yang bertanggung jawab untuk tersediannya kreasi dan proliferasi kehidupan yang menghasilkan proses peradaban yang berupaya mengkombinasikan individu, orang banyak, bangsa dalam satu kesatuan. Lacan meneruskan pandangan cinta sebagai hasrat libidinal dari Freud, namun demikian ia menggeser elaborasi Freud mengenai daya kreasi cinta dan hasrat kesatuan dari cinta. Ketimbang meneruskan analisis Freud mengenai daya kreasi dari cinta, Lacan menekankan pemikirannya pada ilusi yang diakibatkan oleh ideal kebersatuan antara subjek dengan objek di dalam cinta. Cinta diposisikan sebagai hasrat imajiner (imaginary passion) yang menyangkut perasaan cinta kepada ‘the other’ yang citranya kita bangun berdasarkan pandangan tentang diri kita sendiri. Dengan kata lain cinta bukan lain adalah suatu mekanisme narsisitik, dimana subjek mencintai citranya sendiri di dalam objek yang dicintainya (loving me in the other). Pandangan Lacan mengenai cinta sebagai mekanisme narsistik ini secara tepat diringkas oleh RD. Laing dengan formulasi sebagai berikut: Narcissus fell in love with his image, taking it to be another. Jack falls in love with Jill’s image of Jack, taking it to be himself. She must not die, because then he would lose himself. He is jealous in case any one else’s image is reflected in her mirror. Jill is a distorting mirror to herself. Jill has to distort herself to appear undistorted to herself. To undistort herself, she finds Jack to distort her distorted image in his distorting mirror She hopes that his distortion of her distortion may undistort her image without her having to distort herself. (RD Laing, KNOT, 2005, hlm 36-37) Lacan mengatakan bahwa cinta adalah fenomena yang mengambil tempat di instansi ‘yang imajiner’. Cinta adalah perasaan akan ‘kesamaan’ dengan/bersama seorang lain. Dalam proses formasi subjek, the other yang dicintai oleh si subjek dipandang sebagai keseluruhan dimana si subjek ingin berada di dalamnya. Kita mencintai objek yang dapat kita fungsikan untuk mengompensasi ‘kekurangan’ kita. Renata Selecl memperkuat pandangan narsisitik mengenai cinta Lacan ini dengan menambahkan:
Ketika kita ‘jatuh cinta’, kita memosisikan orang yang kita cintai sebagai objek dari cinta kita, orang lain itu sebagai ‘ideal ego’. Kita mencintai orang itu persis karena kesempurnaan yang didambakan ego kita sendiri. Lebih jauh lagi, Lacan mengatakan :
Ketika seseorang (misalnya) seorang gadis menyatakan bahwa ia mencintai si laki-laki, ada dua kemungkinan terjadi: pertama, dengan itu ia mengungkapkan kepada si laki-laki rasa kekurangannya (lackness). Kedua, pada saat yang sama ia menyatakan hasratnya akan respons dari si laki-laki kepadanya. Dengan demikian, pernyataan cinta adalah pernyataan akan lackness. Di titik ini benar apa yang dikatakan Zizek bahwa “hanya yang berkekuranganlah yang mampu mencintai”. Analisa Lacan ini , memang secara khusus ditujukan untuk melihat cinta sebagai gejala narsistik. Pada titik ini, fungsi pandangannya mengenai cinta berguna secara ‘klinis’ untuk menghadapi sisi gelap cinta. Dengan memosisikan cinta di dalam instansi yang imajiner (the imaginary), maka Lacan mengenakan cinta sebagai elemen residual dari kontradiksi antara ‘yang nyata’ dengan ‘yang simbolik’. Cinta adalah lambang keterasingan di mana subjek ‘secara sadar’ tidak menyadari miss recognition yang ia kenali di dalam objek yang ia cintai. Perempuan Sebagai ‘Subjek Yang Tak Disebut Namanya” Seluruh penjelasan Lacan mengenai cinta sebagai gejala narsistik dan proses miss recognition subjek, memang mampu memberikan penerangan mengenai ketegangan dan dimensi negativitas dari cinta, cinta yang katastropik. Di sini, ia secara sengaja melepaskan penjelasan mengenai cinta sebagai daya hidup. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan mengapa orang berkorban demi kebahagiaan orang lain. Mengapa ada agape? Persoalan kita sekarang, bagaimana kita menjelaskan cinta yang melambangkan kemunculan subjek. Dari mana asal-usul kehendak untuk mencintai? Dari mana muncul cinta yang non egoistic, cinta sebagai perbuatan baik? Dari mana untuk pertama kalinya, subjek mengenal cinta? Dari mana kita belajar mencintai dalam pengertian baik? Dari Freud kita mendapatkan sedikit jejak mengenai cinta sebagai insting yang mendorong daya kreasi. Dengan itu, Freud memberikan kita semacam sinyal bahwa cinta merupakan dimensi yang bersifat konstitutif di dalam pendirian individu. Cinta ada di dalam kapasitas hasrat individu. Namun demikian, Freud nampaknya juga tidak sempat menjelaskan dari mana asal-usul cinta, sebagai instalasi instingtif dalam diri subjek, apakah ia muncul secara terberi? Kalau cinta diposisikan sebagai insting dasar libidinal, maka dengan itu cinta ada di dalam instalasi id, ia diregistrasi oleh super ego. Kemudian yang jadi soal, apakah agape juga berasal dari id? Di sini Freud benar ketika menunjuk status instingtif cinta, cinta sebagai bagian konstitutif subjek, namun ia keliru ketika menempatkan cinta semata-mata sebagai bagian dari instalasi id. Mengapa? Karena ada cinta yang sama sekali berada di luar libido. Kedua, Freud juga kurang menjelaskan bagaimana dimensi instingtif cinta muncul, di dalam Freud dimensi instingtif ini terkesan bersifat biologis semata. Padahal cinta senantiasa terkait dengan ‘the other’ artinya, ia mesti tertanam dengan basis keberadaan yang lain, cinta tak pernah semata-mata biologis. Ia ditumbuhkan, dikenali dan muncul dari pengalaman sosial. Pengalaman sosial yang paling primordial dan subtil. Dari mana? Dari mana asal usul cinta? Dari mana agape berasal? Cinta agape muncul sebagai hasil pengalaman individual dalam berhadapan dengan trauma pertama. Namun untuk memahaminya, kita mesti menggeser pandangan kita mengenai cinta dari sudut pandang si subjek yang mencintai, kepada subjek yang saya sebut dengan istilah ‘subjek yang tak pernah disebut namanya’. Siapakah ‘subjek yang tak pernah disebut namanya’? Subjek yang tak pernah disebut namanya di sini adalah: perempuan/ibu. Waktu Freud dan Lacan menjelaskan cinta, keduanya memandang dari sudut pandang subjek (anak), keduanya memandang dari sudut pandang ‘perkembangan individu’. Cinta dikonstruksi dari sudut pandang si subjek yang bukan lain si anak. Akibatnya, baik Lacan maupun Freud luput memahami asal usul primordial subjek, subyek sebagai hasil kreasi dan dorongan kehendak untuk hidup dari si ibu. Tanpa dorongan atau hasrat hidup yang dibangun dari tubuh si ibu, subjek adalah ketakmungkinan. Salah satu cara memahami asal usul primordial cinta agape, dapat kita lakukan melalui kesalahan sama yang dilakukan oleh Julia Kristeva, dalam penjelasannya mengenai ‘abjeksi”. Kristeva adalah penulis utama yang mengkritik gagasan Lacan dan Frued, terutama gagasan ‘tahap cermin’ Lacan, Dalam kritiknya, Kristeva menunjukkan bahwa gagasan Lacan mengenai subjek diambil dari posisi ‘mather-free’. Menurutnya, ‘tahap cermin’ yang dijelaskan Lacan, hanya mungkin terjadi setelah adanya satu fase yang lebih awal yakni apa yang disebutnya dengan ‘abjeksi’. Abjeksi adalah pra kondisi dari miss recognition dan narsisisme subjek. Apa itu abjeksi, abjeksi adalah momen ketika anak/subjek secara fisik dan mental dilepaskan dari tubuh asal-usulnya yakni tubuh si ibu, sehingga dengan itu ia bisa berdiri dan tumbuh sebagai subjek manusia yang independen. Abjeksi adalah syarat awal dari pengenalan diri subjek, momen katastrofik di mana ia dipisahkan dari tubuh ibunya. Di dalama Kristeva, abjeksi merupakan syarat mutlak dari dimulainya pengenalan aku dalam berhadapan dengan the other. Dalam abjeksi, tubuh ibu adalah the other pertama bagi si anak (Kristeva, J.1982, Powers of Horror: An Essay on Abjection). Kristeva membangun konsep abjeksi untuk menjelaskan dimensi keterpatahan temporal dan spasial dalam kehidupan subjek manakala subjek mengalami pengalaman kengerian dari kehilangan sebagai akibat dari pembedaan/pemisahan antaara dirinya dengan the other (tubuh ibunya). Abjeksi, dengan demikian adalah zona antara being dan non-being, batas-batas dari kondisi subjek sebagai ‘a living being”. Dengan itu, abjkesi juga pada dasarnya adalah batas-batas antara tubuh individual dengan tubuh sosial. Dengan penjelasan abjeksi ini, Kristeva secara tepat menyuarakan ‘subjek yang tak disebut namanya’ dalam Lacan dan Freud sebelumnya dalam pendirian subjek. Namun demikian, di dalam Kristeva tubuh maternal ibu masih dipandang sebagai poros yang pasif. Tubuh maternal ibu, masih dilihat semata-mata sebagai medium identitas melalui mana subjek memisahkan diri dan menemukan identitasnya. Perempuan disebut namanya, namun ia disebut sebagai objek abjeksi, ia ada sebagai landasan untuk menjelaskan subjek. Dengan demikian di sini, Kristeva, sebagaimana Lacan dan Freud juga masih melihat subjek dari sudut pandang subjek bukan dari sudut pandang maternal. Akibatnya ia juga luput menjelaskan asal-usul agape. Cinta Tak Mungkin Tanpa “Subjek Yang Dikenal Namanya” Namun yang luput dijelaskan oleh Kristeva, adalah abjeksi hanya mungkin terjadi tanpa kehendak ibu. Tubuh Ibu bukanlah tubuh pasif, yang diposisikan semata-mata sebagai objek hasrat dan objek identitas si anak. Kelahiran dan pemisahan tubuh si anak dari tubuh ibunya bukanlah semata-mata proses mekanistis-biologis. Keterpisahan tubuh ibu dengan tubuh si anak, bukan pertama-tama diakibatkan oleh gaya gravitasi. Keterpisahan dan pembentukan identitas anak pasca trauma pemisahan tubuh anak dari ibunya, hanya mungkin terjadi atas kehendak dan daya dorong dari ibu. Setiap peristiwa kekahiran adalah melampirkan dua dimensi paradoksal: potensi kehidupan baru melalui perjuangan atas hidup/mati tubuh maternal perempuan. Dengan demikian, kelahiran dan kemunculan subjek pasca-abjeksi adalah hasil dari hasrat hidup si ibu. Hasrat hidup untuk dirinya sekaligus untuk si anak. Sebelum abjeksi: yang adalah kebersatuan hidup antara si anak dan si ibu. Kelahiran dan abjeksi adalah hasil dari kehendak untuk memilihara daya hidup dari si ibu. Dengan demikian pada mulanya bukanlah subjek, yang menjadi mula adalah kehendak ibu akan hidup. Inilah cinta pertama itu: kehendak ibu untuk meneruskan hidup. Cinta pertama selalu terarah pada kehendak untuk hidup bagi yang lain. Cinta sebagai kehendak hidup adalah dasar dari pengalaman eksistensial primordial setiap orang dalam mengenal kebaikan purba. Dengan demikian, ibu adalah sumber manusia mengenal cinta sebagai kebaikan paripurna. Pada mulanya bukan kata, pada mulanya adalah cinta ibu. Cinta tak mungkin tanpa subjek yang tak disebut namanya. Cinta tak mungkin tanpa kehendak hidup dari ibu. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|