Saya sudah kenal Jurnal Perempuan sejak masih mahasiswa S-1. Waktu itu minat saya pada isu-isu perempuan besar sekali, tetapi sangat minim referensi. Saya selalu mencari terbitan terbaru Jurnal Perempuan di toko buku Gramedia, waktu itu sulit sekali mencarinya, tetapi selalu saya bisa menemukannya di rak-rak buku yang hampir tak terlihat. Jurnal Perempuan masih dalam format besar, dipenuhi gambar-gambar. Membaca tulisan-tulisan di dalamnya bagi saya adalah sesuatu yang sama sekali baru, dan memuaskan dahaga saya pada dunia ilmu yang kering kerontang di tahun 1990-an. Sebelumnya, saya adalah seorang fundamentalis. Saya ikut gerakan bawah tanah Islam radikal (sekarang disebut fundamentalis) yang waktu itu untuk melawan rezim Soeharto. Sejak SMA saya adalah orang yang sangat berminat dengan kajian-kajian agama, barangkali karena saya tidak menemukan kajian-kajian filsafat, atau buku-buku sejenisnya, saya hanya menemukan kajian-kajian agama. Hampir lebih dari lima tahun saya bergelut di dunia fundamentalis, sampai akhirnya saya menemukan novel yang memacu jantung saya, yaitu Nawal El Saadawi dan Fatima Mernissi, dua penulis feminis dari Mesir dan Maroko. Saya mengenal feminisme bukan dari pemikiran Barat, tetapi dari mereka yang lahir di Timur Tengah. Dari kedua tokoh feminis itulah, membawa saya sampai menemukan Jurnal Perempuan, yang dapat memberikan pemikiran saya tentang hak-hak perempuan di Indonesia. Minat terhadap masalah perempuan bertumbuh dari kedua feminis tersebut ditambah bacaan-bacaan kritis dari Jurnal Perempuan, membawa keinginan saya untuk mengambil S2 Kajian Wanita UI. Waktu itu saya baru lulus S-1 dan banyak dosen menertawakan saya. Saya tidak mengerti apa yang lucu dengan Kajian Wanita. Tetapi tertawaan itu tidak mengubah minat saya untuk melanjutkan sekolah. Terlalu lama bergelut di dunia fundamentalisme, saya merasa banyak hal yang tertinggal, banyak hal yang belum saya tahu, saya harus mengejar semuanya. Saya ingin hal-hal terbaru menyegarkan rasa haus saya atas informasi dan pengetahuan. Akhirnya saya berhasil lulus tes di Kajian Wanita UI, dan disanalah saya “dipaksa” untuk menghabiskan semua buku-buku tentang teori-teori feminisme, langsung membaca terbitan asli pengarangnya. Menulis dan mempresentasikannya di depan teman-teman sekelas. Kate Millet, Karen Horney, Helene Cixous, Deborah Cameron, Simone De Beauvoir, adalah beberapa buku yang mengantarku pada teori-teori yang lebih besar seperti psikoanalisa, postmodernisme, postkolonial, studi literatur, dan filsafat hermeneutik. Saya ketagihan belajar waktu itu, dan Jurnal Perempuan bagi saya adalah satu-satunya referensi yang bisa saya temukan untuk konteks Indonesia. Semua ilmu ini adalah sesuatu yang saya cari sejak kecil. Sejak saya kecil, saya sering melihat teman saya dilecehkan sepulang sekolah, diraba pantatnya saat naik bus, dijamah payudaranya saat berjalan kaki. Saya merasa ada hal yang tidak adil, dan ketidakadilan itu terjadi karena saya, atau kami adalah perempuan. Sampai akhirnya saya lulus S2 yang sebelumnya ada mata kuliah magang di Jurnal Perempuan, akhirnya saya tidak melihat ada hal lain yang bisa saya lakukan selain bergabung di Jurnal Perempuan. Dosen-dosen saya semuanya waktu itu orang-orang yang tidak pernah saya tahu, kecuali bahwa ada tokoh-tokoh Suara Ibu Peduli seperti Gadis Arivia dan Karlina Supelli. Saya sering menemukan mereka di surat-surat kabar, saya membacanya dengan antusias, bahwa dalam hal politik, perempuan banyak menyumbang perjuangan. Saya melihat perjuangan perempuan tidak hanya oleh RA Kartini saja, atau Dewi Sartika saja, tetapi di masa kini, perempuan-perempuan lain bisa bicara politik. Sejak lepas masa reformasi Indonesia dan Orde Baru jatuh, saya begitu bahagia. Zaman yang paling membahagiakan dalam masa-masa mudaku. Aku bekerja di tempat yang aku suka, yang aku bisa membaca dan menulis, meliput berbagai kejadian yang berkaitan dengan perjuangan perempuan, keliling hampir di setiap daerah provinsi di Indonesia, mendapatkan pengalaman banyak dari perempuan-perempuan yang berbeda dengan kita di Jakarta. Aku menjadi seorang jurnalis radio di Radio Jurnal Perempuan. Hidupku seluruhnya bersama Jurnal Perempuan, dan tidak ada yang membuat aku berpaling darinya. Sampai akhirnya selama 10 tahun aku di sana, dan diujung tahun ke sepuluh, ternyata aku sudah lepas dari jabatan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Ternyata jenjang karirku hampir seluruhnya di Jurnal Perempuan, mulai dari bawah sekali. Waktu berjalan begitu cepat sekali. Ternyata banyak hal yang saya alami, yang saya sumbangkan dan juga yang saya dapatkan, bahwa Jurnal Perempuan menjadi alat perjuangan saya langsung dari dalam hati, tanpa syarat, tanpa tawar menawar. Saya tidak pernah menawar apapun dari Jurnal Perempuan, kecuali bahwa idealisme tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan adalah yang paling depan. Saya tidak merasa bahwa saya bekerja, tetapi saya beraktivitas, berkarya. Sekarang, saya bukan Direktur lagi di Jurnal Perempuan, tetapi saya tidak bisa melepas kegairahan saya pada perjuangan perempuan. Perjuangan perempuan adalah cerita tentang diri kita sendiri, mulai dari tempat tidur sampai di parlemen. Mulai dari rumah tempat kita tinggal, keluarga dan lingkungan kita, sampai kaki kita menginjak tempat pemungutan suara di Pemilu yang semuanya adalah untuk melakukan perjuangan, baik untuk hidup kita sendiri, maupun untuk perempuan Indonesia. Jurnal Perempuan tidak bisa lepas dari pikiran saya, selalu melekat dalam ingatan-ingatan saya dan selalu ingin berkunjung ke kantor dan melihat keadaan teman-teman baru saya di sana. Mereka adalah keluarga saya, dalam sulit dan bahagia, dalam lelah dan semangat yang sama. Saya ingin Jurnal Perempuan terus hidup dan maju, karena hidup dan majunya adalah hidup dan majunya saya juga, hidup dan majunya perempuan-perempuan yang membutuhkan bacaan sebagaimana masa kuliah saya dulu, banyak dibutuhkan bagi orang-orang yang haus atas pengetahuan sekaligus perjuangan untuk keadilan. Selamat Ulang tahun Jurnal Perempuan, tetap di hati orang-orang yang berjuang, yang ingin membawa Indonesia yang adil dan ramah pada perempuan. Tambun, 27 Juli 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|