Oleh: Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan Meskipun makna dari nama Mo Yan, Penerima hadiah Nobel sastra tahun 2012, adalah “tanpa kata-kata” atau “keheningan”, tetapi dia adalah pemilik dari semesta kata-kata. Bagaimana teksnya menyerupai ledakan-ledakan kreativitas sekaligus keberanian mendiskusikan perihal paling tabu di negaranya. Dimensi ledakannya dapat disaksikan dari bagaimana dia menyatukan cerita rakyat, sejarah dan kekinian dalam sebuah halusinasi kritis. Kemiskinan yang mendera orang-orang di desanya telah memenjarakan kata-katanya dengan kesederhanaan penceritaan dan penjudulan seperti dalam The Red Sorghum Clan dan Frog. Frog merupakan salah satu karya penting dalam mengkritisi kebijakan satu anak yang dimulai di Cina sejak 1979. Frog mengisahkan tentang bidan desa yang sebelum tahun 1979 dianggap sebagai Peri Penyelamat karena membantu kelahiran bayi-bayi di desanya. Dia begitu dicintai dan disayangi. Namun setelah kebijakan satu anak diterapkan, sebutan itu berubah menjadi Kuntilanak jahat pengambil nyawa bayi-bayi karena dia dipaksa pemerintah untuk mengaborsi bayi kedua, ketiga, dan lain-lain. Di samping itu juga dipaksa oleh ayah-ibunya si bayi sendiri untuk mengaborsi bayi jika ketahuan anak perempuan. Bayi-bayi yang mengambil metafora sebagai kodok-kodok (frogs) itu kemudian menghantui tidur-tidur si Bidan Desa. One-Child Policy ini paling tidak telah mengakibatkan hilangnya bayi-bayi perempuan di Cina sejak saat itu. Akibat kebijakan ini, banyak unit keluarga memilih menggugurkan anak perempuan yang dikandung. Bahkan sekarang, konon, Cina harus “mengimpor” istri dari perempuan-perempuan di negeri tetangganya, seperti Vietnam, Kamboja, Thailand. Kehilangan anak perempuan di Asia ini tidak hanya didominasi di Cina tetapi juga di Jepang, meski modern sekalipun, juga India—yang kemudian melarang scan bayi-bayi di desa-desa terpencil karena aborsi anak perempuan ini akan mengganggu keseimbangan populasi. Occido (Latin) merupakan terma yang digunakan untuk menyampaikan makna “untuk membunuh”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sufiks –icide, seperti misal pada kata genocide, homicide, infanticide, matricide, gendercide, dan lain-lain. Media internasional seperti the Economist, the Guardian, TIME, Al Jazeera, The New York Times, Le Mon Diplomatique, der Spiegel dan lain-lain juga telah memperkenalkan istilah baru sebagai selective gender abortions atau sex selection abortions yang kesemuanya mengarah pada aborsi anak perempuan karena sistem kebudayaan yang memandang anak laki-laki sebagai yang harus dilahirkan pertama, atau paling tidak, menjadi satu-satunya pembawa keberuntungan dalam sebuah unit keluarga. Di India telah ditemukan jutaan bayi perempuan digugurkan karena dia perempuan,karena keluarga keberatan untuk membayar dowry (mahar nikah yang diberikan oleh mempelai perempuan pada mempelai laki-laki). Jika terbukti murah, maka mahar itu akan menakdirkan si anak gadis mati mendadak, apakah terbakar di dapur, atau disiram wajahnya dengan air keras, dan lain-lain. Unit-unit keluarga miskin, terutama, mengalami trauma-trauma ini sehingga memilih mengaborsi anak perempuannya. Kejahatan kemanusiaan ini juga terjadi di Cina dan Jepang yang kebudayaannya masih menjunjung mitos bahwa anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan. Rita Banerji merupakan salah satu feminis penting yang melawan praktek-praktek ini dengan mengkampanyekan “The 50 Million Missing Campaign to End Female Gendercide” di India. Femicide atau Gendercide yang dapat kita Indonesiakan sebagai Femisida atau Gendersida adalah usaha pembunuhan masal terhadap bayi perempuan, anak-anak perempuan, atau perempuan dewasa disebabkan oleh praktek-praktek kebudayaan misoginis yang dilakukan tidak hanya oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Dus pembunuh perempuan bukan melulu laki-laki tetapi sistem kepercayaan, sistem pandangan dunia, sistem kebudayaan, dan turunan ritual-ritualnya serta eksekusi praktek sosialnya dalam usaha memberangus gender Liyan tersebut. Bahkan yang paling buruk adalah penghilangan terhadap gender ketiga (LGBTIQ), mereka dianggap tidak ada dan tidak boleh ada, maka sah untuk dibunuh, seperti kasus pembersihan etnis Yahudi oleh Hitler—dia juga dicatat sejarah telah membersihkan gender ketiga. Femisida memiliki bentuk-bentuknya yang beragam, yaitu aborsi, membunuh demi membela kehormatan keluarga, serangan air keras sekaligus pembunuhan, pembakaran dukun-dukun perempuan yang dianggap berbahaya (ini bahkan masih hidup dalam mitos-mitos film produksi Hollywood), foeticide, dan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian, konflik komunal dengan memperkosa anak-anak perempuan sekaligus membunuhnya seperti yang terjadi di Rwanda, dan lain-lain. One Billion Rising yang artinya adalah Satu Milyar Bangkit (www.onebillionrising.org) yang memiliki motto (Strike, Dance, Rise!) yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari setiap tahunnya sejak 2012. Aksi ini adalah sebuah kampanye untuk melawan segala bentuk pelecehan, siksaan dan percobaan pembunuhan terhadap perempuan secara global. Siapa pun yang ingin terlibat dapat berkumpul dan menari bersama sebagai bentuk protes untuk melawan segala bentuk kejahatan tersebut. Angka “satu milyar” merujuk pada data dari statistik PBB bahwa setidaknya ada satu dari tiga perempuan di dunia mengalami pelecehan, serangan, siksaan, perkosaan dan pembunuhan dalam hidup mereka. Gerakan ini sebelumnya dikenal sebagai V-Day. Tahun lalu rally serupa telah diadakan di kurang lebih 190 negara, termasuk Indonesia. Jurnal Perempuan mengucapkan Mari Bangkit Melawan! Surakarta, 14 Februari 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|