Membaca laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir terlihat kualitas demokrasi yang masih rendah. Indikasi paling menonjol, meningkatnya kasus kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, baik dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk tindakan anarkis dan main hakim sendiri, maupun oleh aparat pemerintah dan penegak hukum berupa tindakan represif dan otoriter. Akibatnya, demokrasi belum banyak membawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti dijamin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Hal itu jelas mengindikasikan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara tuntutan demokrasi berupa nilai-nilai keadaban publik yang luhur dan perilaku demokrasi yang cenderung tidak beretika sebagaimana dipertontonkan secara nyata, baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat luas. Perilaku kekerasan mencakup makna yang amat luas, di dalamnya ada bentuk khusus, yaitu kekerasan terhadap perempuan (disingkat KTP). Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika tahun 2012 ada lebih 600 kasus, maka tahun 2013 tercatat 992 kasus, yang dominan adalah kasus KDRT sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Tapi, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itupun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang concern pada isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai, dan belum serius menangani kasus KTP, padahal dalam berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemik dan berdampak luas. Bentuk KTP secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga). KDRT dapat pula dibagi ke dalam empat jenis: penganiayaan fisik, seperti tamparan, pukulan, tendangan; penganiayaan psikis, seperti ancaman, hinaan, cemoohan; dan penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah material kepada isteri atau mengontrol uang belanja. KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks, dan jumlah kasusnya amatlah besar. Tapi, karena kejahatan ini terjadi di dalam rumah tangga sehingga seringkali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga, dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat. Merespon anggapan sesat ini, dalam Konferensi Internasional di Wina muncul semboyan “the personal is political.” Persoalan pribadi sekali pun kalau membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami bahaya dan penderitaan serupa. Menarik untuk dicermati, pelaku KTP dari 992 kasus yang disebutkan di awal, ternyata bukan orang biasa, melainkan terdapat juga aparatur negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat. Terdapat 14 kasus yang pelakunya aparatur negara: TNI dan Polri, serta pejabat dari institusi lain. Bentuk KTP yang dilakukan aparatur negara cukup beragam, seperti ingkar janji, perkosaan, penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan penganiayaan fisik. Fatalnya, proses hukum ke-14 kasus tersebut berjalan sangat lambat, ada banyak faktor berkelindan di dalamnya, seperti kurangnya sensitivitas gender dalam proses penyidikan, selain masalah birokrasi yang berbelit-belit. Masalah lain yang dihadapi, minimnya rujukan hukum bagi kasus KTP ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur dua jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana yaitu perkosaan dan pencabulan, padahal ada begitu banyak jenis KTP. Betul, sudah ada UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun implementasinya masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian Aparat Penegak Hukum (APH) belum tahu keberadaan undang-undang tersebut, apalagi implementasinya. Selain terkait materi hukum, masalah terkait struktur hukum dan budaya hukum juga masih sangat kuat. Tidak jarang korban harus berhadapan dengan aparatur yang sinis, tidak ramah dan cenderung membela pelaku serta menyalahkan korban. Tambahan pula, budaya hukum patriarkal yang masih kental membuat korban enggan dan sangat malu untuk melapor. Alih-alih mereka dilindungi dan diperlakukan sebagai korban yang memerlukan welas asih dan dukungan, malah mereka mendapat cemoohan serta stigma sebagai perempuan nakal dan tidak taat aturan. Begitu pula proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Laporan korban cenderung tidak dipercayai bahkan seringkali penyidik mencurigai dan menyalahkan korban. Lebih parah lagi, korban justru dipersalahkan sebagai pemicu kekerasan. Akibatnya, dalam berbagai kasus kejahatan perkosaan, penyidik dan juga publik masih cenderung menganggap perkosaan sebagi bentuk hubungan wajar atas dasar suka sama suka. Ini sangat mengerikan! Kesimpulannya, sangat perlu membangun sistem hukum yang adil (fair trial) sehingga siapa pun yang menjadi korban kekerasan akan terpenuhi haknya memperoleh proses peradilan yang adil. Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan terhadap perempuan akan diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Bukankah keadilan sosial merupakan tujuan utama dari Pancasila, landasan pijak kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Akhirnya, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Se-dunia (International Women’s Day) tanggal 8 Maret, kami kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap Perempuan memilih tema sentral, “Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!” Perempuan Indonesia, sebagai warga negara penuh dan sebagai manusia seutuhnya berhak hidup damai dan sejahtera, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun agar mereka dapat menyumbangkan partisipasi dan kontribusinya yang positif dan konstruktif secara optimal dalam seluruh bidang pembangunan bangsa. Selamat Hari Perempuan. Jakarta, Maret 2014
Mrs,Diana
4/12/2014 04:49:36 am
Hello, I am Mrs. Diana, a private loan lender who gives life time opportunity loans. Do you need a loan urgently to pay off your debts or you need a loan to enhance your business? You have been rejected by banks and other financial institutions?We lend funds to individuals in need of financial assistance, that have a bad credit or in need of money to pay bills, to invest on business at a rate of 1.5%. I want to use this medium to inform you that we provide a reliable and beneficiary assistance and will be willing to offer a loan. So contact us today by email at:[email protected] Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|