Oleh: Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan) Kita telah melampaui era memperingati hari Kartini dengan hanya melihat sosok tubuhnya dan memaknainya cukup sebatas busana kebaya, lomba memasak atau menyanyikan lagunya. Peringatan hari Kartini yang demikian menumpulkan pemikiran. Sebab Kartini tidak pantas hanya dinilai dari sosok tubuhnya semata melainkan ide-ide brilian yang lahir dari otaknya yang cemerlang tentang kesetaraan dan kebebasan perempuan, justeru inilah yang harus kita rayakan. Jadi hendaknya kebaya Kartini disimbolkan sebagai pembebasan perempuan, bukan ornamen tubuh semata, namun untuk merangsang kegairahan pemikiran melawan dominasi. Segala bentuk dominasi seperti penjajahan, pembodohan, pengekangan agama dan tradisi serta penindasan perempuan. Sebab Kartini perempuan Jawa yang hidup di abad ke-19 telah memikirkan semua itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan yang dimuat dibuku “Habis Gelap, Terbitlah Terang” (HGTT). Kartini dilahirkan sebagai anak bangsawan lengkap dengan seluruh keistimewaan. Tetapi dia mampu keluar dari kenikmatan-kenikamatan itu untuk mengejar mimpi-mimpi manusianya. Ia keluar dari kamar tidurnya untuk melihat dunia yang lebih luas. R.A Kartini cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka dengan kemajuan. Beliaulah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat. Lahir dari latar belakang berpendidikan membuatnya rajin membaca dan mahir menulis. Tulisan-tulisannya kepada sahabat penanya di Belanda, Nona Zeelandelaar, mengegerkan dunia, menggoncangkan pemikiran dan menggetarkan hati. Menggugat Tradisi Kami gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah-saya mesti masuk “tutupan”; saya dikukung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami…(Jepara, 25 Mei 1899, HGTT, 2009:25). Kartini mengungkapkan kegeramannya pada tradisi yang mengekang anak perempuan termasuk dirinya yang “dipingit” dari umur 12 hingga 16 tahun. Ia menggambarkan betapa sedihnya dan marahnya diperlakukan demikian. Teringat aku, betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu mengempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu bengis itu. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:30). Sikap feodal tiada henti-hentinya ia kritik karena menghilangkan kemartabatan orang. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik-adikku berkamu dan berengkau kepadaku, hanya dengan bahasa kromo boleh dia menegurku; tiap-tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah. (Jepara, 18 Agustus 1899, HGTT, 2009: hal.28). Menggugat Akses Pendidikan Kartini paham betul bahwa feodalisme tumbuh subur di dalam masyarakat yang tidak berpendidikan. Oleh sebab itu, ia menganggap bahwa pendidikan adalah harga mati agar masyarkat berpikiran maju. Salah satu gerbang perluasan cara berpikir adalah menguasai bahasa asing. Kartini yang fasih berbahasa Belanda menghayal ingin pula fasih berbahasa lainnya karena ia ingin membaca literatur-literatur sebanyak mungkin. Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak—kami tahu berbasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu. (Jepara, 25 Mei 1899, HGTT, 2009: hal.27). Perang melawan kebodohan dipahaminya sebagai cara untuk membawa bangsa Bumiputra maju dan keluar dari penjajahan. Pendapatnya yang jujur dan terbuka ini ia kemukakan kepada teman Belandanya: Pemerintah tiada akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi Pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu ada. Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberi anak negeri pengajaran yang baik, sama halnya seolah-olah Pemerintah menyerahkan suluh ke dalam tangannya, supaya dapat ia sendiri mencari jalan yang benar, yang menuju ke tempat nasi itu. Bapak akan berusaha sekuat tenaganya akan mengajukan anak negeri, dan aku pun akan turut membantunya. (12 Januari 1900, 2009:34). Menggugat Perkawinan Suatu saat ketika Kartini tiba di sekolah lebih awal, ia memperhatikan bahwa teman Belandanya sedang asyik belajar bahasa Perancis. Maka bertanyalah Kartini apa gunanya temannya itu belajar bahasa Perancis. Temannya bercerita bahwa setelah ia mendapatkan surat tamat belajar, Ia akan meneruskan pendidikannya ke Belanda dan menjadi guru. Temannya bertanya apakah yang akan dilakukan Kartini. Kartini terdiam karena Ia sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Sepulang dari sekolah, Ia bertanya kepada saudaranya apa yang akan dilakukannya nanti. Saudaranya menjawab dengan meyakinkan, “Apa lagi, jika tidak menjadi ‘Raden Ayu’.” Awalnya, Kartini girang mendengar pernyataan saudaranya, namun setelah ia amati nasib Raden Ayu disekelilingnya, ia tidak suka.(HGGT, 2009:3). Bentuk perkawinan yang ada di masyarakat menurutnya adalah bentuk perkawinan yang tidak adil. Kartini tidak dapat menghormati laki-laki. Ia dengan lantang protes: Manakah boleh aku dapat hormati yang sudah kawin dan sudah jadi bapak, tetapi meskipun begitu, oleh karena telah puas beristrikan ibu dan anak-anaknya, membawa perempuan lain pula ke dalam rumahnya, perempuan yang dikawininya dengan sah menurut hukum Islam? Dan siapa yang tiada berbuat demikian? Dan mengapa pula tiada akan berbuat demikian? Bukan dosa, bukan kecelaan pula; hukum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:29). Sikapnya menentang poligami sangat jelas. Kadang Ia menganggap bahwa perkawinan itu menindas dan bukan membahagiakan. Ucapan keras menentang perkawinan ia suarakan sebagai berikut: Mengertikah engkau sekarang apakah sebabnya maka sangat besar benciku akan perkawinan? Kerja serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:29). Menggugat Agama Kekecewaan Kartini pada sikap laki-laki dalam perkawinan membuatnya juga mempertanyakan agama. Mengapa agama memihak laki-laki? Mengapa agama tidak membiarkan perempuan untuk memilih tidak menikah? Lalu, bukankah pula atas nama agama, mereka yang telah memadu kasih harus berpisah karena berkeyakinan berbeda? Serentetan pertanyaan-pertanyaan kritis Kartini mengalir. Orang yang seibu-sebapak berlawanan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang esa itu. Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sayangnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyerbu Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Kartini paham bahwa agama cenderung tidak menyatukan manusia melainkan mencerai beraikan manusia. Agama tidak membawa perdamaian namun justeru penyebab kekerasan. Ya Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu! (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Pemikiran Kartini tentang agama termasuk permikiran yang moderat dan toleran. Ia percaya bahwa manusia bisa menjadi baik tanpa harus menghafal Al-Quran, bahkan mungkin lebih penting menjadi orang baik saja. Meskipun tidak secara eksplisit ia menentang agama akan tetapi apa yang ia garis bawahi adalah bahwa manusia sejak awal tidak memilih agamanya sendiri, oleh sebab itu, menjadi orang baik merupakan kewajiban karena tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. ...sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam...Orang diajar di sini membaca Qur’an tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi orang baik hati.. (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu! (Jepara, 6 November, 1899, HGTT, 2009:31). Melestarikan Pemikiran Kartini yang Radikal Kartini memang tidak pernah terlibat dalam sebuah pergerakan apalagi mengorganisir sebuah protes di lapangan. Bentuk protes yang ia lakukan hanyalah lewat tulisan-tulisannya yang mencoba memahami apa yang terjadi di lingkungannya. Tulisan-tulisannya tidak dituangkan ke dalam bahasa Melayu atau Jawa melainkan ke dalam bahasa Belanda dan ditujukan kepada teman Belandanya di Belanda. Apakah karena Kartini menyadari tulisan-tulisannya tidak akan ditanggapi bila ia menggugat masyarakatnya secara langsung? Atau bahkan dapat membahayakan dirinya bila pemikirannya diketahui oleh masyrakatnya sendiri? Sebenarnya pemikiran Kartini tidak istimewa di zamannya. Beberapa pemikir perempuan lainnya seperti Dewi Sartika juga memiliki pemikiran yang maju tentang hak-hak perempuan. Dewi Sartika bahkan dengan nyata membuat sekolah di tahun 1904 yang disebut dengan “Sekolah Istri”. Jadi, semangat Kartini pada zamannya adalah semangat yang juga dirasakan oleh sebagian perempuan pada zamannya. Apalagi, ada beberapa kritik terhadap Kartini yang akhirnya menyerah pada budaya patriarki dan menikah dengan pria yang telah beristri pula. Apakah karena Kartini tidak dapat menolak permintaan ayahnya? Ataukah Kartini tidak dapat membebaskan dirinya sendiri dari pengepungan budaya patriarkis yang sudah sedemikian mengakar dan menggurita? Kartini memang bukan sekedar kebaya. Tapi makna kebaya Kartini hendaknya diinterpretasikan secara kritis. Pemikiran Kartini masih terus harus direnda agar “kebaya” itu menjadi sempurna. Merenda pemikiran Kartini di segala ruang dan sudut bangsa, menjadikan bangsa kritis yang menghargai kesetaraan. Nah, sekarang kita sudah mengenakan kebaya Kartini, tapi sudahkah kamu membaca tulisannya? Ambil buku itu dan rubahlah dunia! 22/4/2014 02:34:22 pm
Dengan surat-suratnya yang memukau itu ia memasuki masyarakat informasi sedunia sebagai sosok perempuan yang anggun, berharkat dan bermartabat betul. Bahkan dengan surat-suratnya itu ia sendirilah melebihi segala sanjungan dari luar dirinya tentang jati dirinya. Pengaruh rendah hati Bundanya adalah luar biasa, mengingatkan kita semua akan hamba-hamba kultur Jawa dengan kehebatan bahasa Kromo Inggilnya ketimbang bahasa Gnoko para Tuan Besar di kawasan kraton-kraton. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|