Faiz Abimanyu Wiguna (Alumni S1 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Bayang-bayang menghantui belahan dunia selatan. Bayang-bayang kolonialisme Eropa di masa lalu. Bayang-bayang imperialisme, kapitalisme, dan neoliberalisme–“kolonialisme baru” hari ini. Perampasan tanah dan eksploitasi sumber daya berlanjut melalui subjugasi ekonomi, disokong oleh mesin perang imperial. Segelintir orang menikmati kekayaan berkat eksploitasi sebagian besar sesamanya yang hidup dalam kemiskinan. Sistem politik represif memastikan mekanisme negara yang korup tetap berjalan. Manusia menjadi sekadar roda gigi dalam mesin industri. Bukan hanya tubuh yang sekarat, jiwa kian memudar di tengah kehidupan yang tidak memanusiakan manusia. Di mana Tuhan di tengah-tengah semua ini? Ketika membicarakan ide-ide progresif, topik tentang agama dan Tuhan rasanya kurang menarik. Bukan hanya kurang menarik, seringkali nilai-nilai keagamaan yang ada malah dilihat sebagai antitesis dan “musuh” dari nilai-nilai progresif, dan ini bukan tanpa alasan–sepanjang sejarah, institusi agama yang berkelindan dengan kuasa duniawi telah melegitimasi sekaligus menjadi perpanjangan tangan kekerasan terhadap orang-orang kecil. Secara tidak langsung, institusi agama juga seringkali bersikap “netral” di hadapan penguasa dan sistem yang tidak adil. Lagipula, untuk apa institusi agama, yang seharusnya mengurusi perihal spiritual, ikut campur dalam urusan “duniawi”?
Realitas Kematian dan Kelalaian Gereja: Konteks Amerika Latin Demikian kiranya konteks historis yang melatarbelakangi lahirnya suatu gagasan akan “teologi pembebasan” dari Amerika Latin. Selama ratusan tahun, realitas rakyat Amerika Latin dipahat oleh kolonialisme bangsa-bangsa Eropa—khususnya sebagian besar oleh Spanyol dan Portugis. Peradaban mereka dihancurkan dan kekayaannya dirampas, sementara rakyatnya dijadikan tenaga kerja murah, kalau bukan budak. Budaya bangsa-bangsa asli Amerika Latin mulai tergerus oleh budaya Eropa, sementara kepercayaan asli mereka digantikan oleh hegemoni Gereja Katolik yang datang bersamaan dengan konteks penaklukan imperial. Kendati pada abad ke-18 dan 19 telah muncul berbagai negara-bangsa merdeka di Amerika Latin berkat perlawanan terhadap cengkraman Kekaisaran Spanyol, bukan berarti bangsa-bangsa tersebut sepenuhnya memperoleh kebebasan sejati. “Kolonialisme politik diganti oleh kolonialisme ekonomi,” tulis Chen (2002). Kekuatan ekonomi Utara melanjutkan eksploitasinya di Amerika Latin melalui perusahan-perusahaan multinasional yang “bermain” dengan kelas elit-birokrat lokal. Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat lahir sebagai adikuasa dan melancarkan segala cara untuk mempertahankan hegemoninya—baik secara politik imperial maupun ekonomi kapitalis—di belahan dunia Barat. Amerika Latin, yang berada di “halaman belakang” Amerika Serikat, lantas dibuat tunduk menjadi periferi bagi ekonomi kapitalis-imperial, dilindungi oleh kelas elit dan penguasa lokal yang menikmati kedatangan “investasi” untuk masuk ke dalam kantong-kantong kelas atas semata. Sementara itu kemiskinan merajalela. Sebagian besar masyarakat bekerja untuk upah yang sangat rendah, tercerabut dari tanah dan mata pencaharian asli, terpaksa hidup dalam pemukiman-pemukiman kumuh yang jauh dari kata layak dan rentan terancam kekerasan. Realitas kemiskinan ini adalah sama dengan kematian (Gutierrez 1983) di mana manusia tercerabut dari kehidupan, baik secara fisik maupun rohani. Gereja, meskipun senantiasa menjalankan bantuan-bantuan sosial melalui karya karitatif kepada yang membutuhkan (rumah sakit, panti asuhan, sekolah-sekolah), tidak pernah banyak melakukan perubahan yang berarti secara sistemik. Gereja hanya menangani hal-hal religius, sementara isu sosial seperti kesenjangan, kemiskinan, dan terlebih politik kaum tertindas adalah masalah duniawi yang harus diselesaikan negara. Sekalipun Gereja mengadakan karya sosial, itu hanya karena Gereja ingin membantu umatnya secara praktis dan sesuai kebutuhan yang ada, tanpa tindak lanjut lebih kritis mengenai sifat politis dan struktural dari kemiskinan. Terdapat asumsi pembedaan biner antara urusan-urusan “sakral” yang menjadi urusan Gereja dan urusan-urusan “profan” yang menjadi tanggung jawab kuasa duniawi. Pola pikir ini, menurut Gutierrez (1973) berasal dari pemikiran “kekristenan baru (new christendom)” yang berusaha menegaskan otonomi masing-masing antara ranah gerejawi dengan ranah sekuler (Maritain 1938). Dengan demikian, Gereja diharapkan untuk menjadi netral dan tidak mencampuri urusan-urusan sekuler, terlebih perihal politis yang dapat “mengotori” tangannya. Nyatanya, kita mafhum ini bukan sikap yang ideal. Netral dalam situasi ketidakadilan sama dengan berpihak dengan para penindas, demikian ungkap Uskup Anglikan Afrika Selatan, Desmond Tutu. Sikap diam dan pasif Gereja justru malah menjadi sikap pembiaran terhadap status quo kemiskinan. Terlebih, para petinggi institusi Gereja juga seringkali menjalin relasi dengan kelompok elit yang membawa kepentingannya. Gereja, baik secara langsung dan tidak langsung, ikut melanggengkan realitas kematian yang bertentangan dengan visi Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus—“...Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, …memberitakan pembebasan kepada para tawanan, …penglihatan bagi orang-orang buta, …pembebasan kepada orang-orang tertindas…” (Lukas 4:18-19). Gereja yang seharusnya menjadi Gereja orang miskin malah menjadi Gereja orang kaya, Gereja yang mempertahankan kemapanan sistem (Chen 2002). Lantas eksistensi Gereja berada dalam krisis, Gereja digugat oleh tiga kelompok: para umat miskin yang dalam kesehariannya semakin terasing dan tidak merasakan kehadiran Gereja di tengah kesulitan mereka, para aktivis dan revolusioner sosial yang melihat Gereja sebagai hambatan dalam membentuk masyarakat yang lebih adil, dan para elite borjuis yang merasa terancam oleh gerakan-gerakan sosial dalam Gereja. Berangkat dari konteks ini, pada tahun 1968, Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM--Consejo Episcopal Latinoamericano), mengadakan konferensi di Medellín, Kolombia dalam rangka membaharui wajah dan kehadiran Gereja di Amerika Latin. Konferensi ini lantas menjadi sebuah tonggak baru dalam Gereja berkat keterlibatan aktif Gustavo Gutierrez (1928-), seorang imam Dominikan dan teolog revolusioner asal Peru yang mengajukan suatu “teologi pembebasan”. Sebelum membahas lebih lanjut terkait tentang Medellín, pembahasan mengenai Gutierrez dan pemikiran teologisnya menjadi latar belakang sekaligus inti tulisan ini. Gustavo Gutierrez dan suatu “Teologi Pembebasan” Gutierrez, yang ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1959 dan sempat belajar di berbagai universitas Eropa, kembali ke Peru pada tahun 1960 sebagai pastor yang turut merasakan penderitaan dan harapan kaum miskin di Rimac, Lima (Chen 2002). Ia lantas menemukan bahwa teologi Barat yang telah dipelajari olehnya tidak cocok dengan realitasnya—“Saya berasal dari benua yang mana 60 persen populasinya hidup dalam kemiskinan, dan 82 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan ekstrem.” (Gutierrez 1991) Oleh karena itu, Gutierrez mulai berusaha untuk memformulasikan suatu teologi yang didasarkan pada kenyataan material-historis Amerika Latin, di mana, merujuk pada Bartolome de las Casas, sejak penjajahan Spanyol begitu banyak rakyat mati sebelum waktunya (Chen 2002). Gutierrez juga terinspirasi oleh pemikir Marxis Mariategui, yang memberikannya pemahaman terkait pentingnya praksis sosial, perjuangan kelas, sosialisme Peru, dan keberpihakan pada kaum tertindas. Kesimpulannya: keberpihakan kaum miskin mengharuskan konfrontasi politis terhadap golongan yang menindas mereka, suatu perjuangan penegakan keadilan melalui perlawanan terhadap sruktur penindasan (Chen 2002). Selanjutnya, Gutierrez membawa implikasi analisis tersebut ke dalam pembacaan Kitab Suci. Gutierrez melihat bahwa sesungguhnya, secara teologis, struktur sosial yang tidak adil ini adalah suatu manifestasi dosa. Lantas, iman terhadap Allah dan pesan Yesus dalam Kitab Suci mengimplikasikan suatu praksis yang membebaskan, perjuangan melawan dosa yang hadir dalam struktur-struktur penindasan. Pembebasan Kristiani lantas harus juga menjadi pembebasan politis (Brown 1990), kita tidak bisa membicarakan cita-cita keselamatan Allah tanpa memperhitungkan keselamatan dalam hidup. Pada tahun 1971, Gutierrez mempublikasikan mahakaryanya yang berjudul Teología de la liberación (A Theology of Liberation), teks fondasional di mana beliau menguraikan secara sistematis refleksi teologisnya dalam konfrontasi dengan realitas ketidakadilan di Amerika Latin. Gutierrez mengembangkan sebuah spiritualitas yang sepenuhnya baru dan revolusioner: sebuah perspektif teologis yang berani untuk menggunakan analisis Marxis dalam merefleksikan penyebab kemiskinan struktural, realitas ketidakadilan di bawah kapitalisme, dan perjuangan kelas yang diperlukan untuk melawan sistem tersebut; serta berani memanggil Gereja untuk berkomitmen dan turut andil dalam suatu politik keadilan sosial. Konferensi Medellín 1968, yang mana Gutierrez turut andil di dalamnya, menjadi tonggak baru dalam sejarah Gereja: para uskup menyetujui bahwa realitas Amerika Latin menuntut Gereja harus bisa hadir secara baru dalam masyarakat melampaui urusan-urusan spiritual semata, dan oleh karenanya Gereja menyatakan dirinya untuk memihak kaum miskin yang terjerat oleh mekanisme “kekerasan yang melembaga” (institutionalized violence) (Chen 2002). Gereja lantas juga mendukung diadakannya “komunitas-komunitas basis” di kalangan masyarakat buruh, petani, dan miskin kota sebagai suatu bentuk praksis kehadiran Gereja, mekanisme gotong royong antarwarga, sekaligus diseminasi cita-cita pembebasan Kristiani yang tertuang dalam Kitab Suci. Pasca rilisnya A Theology of Liberation, Gutierrez menerbitkan banyak karya lainnya yang menyuarakan keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas dalam bahasa teologis. Gagasan teologi pembebasan juga terus dikembangkan oleh berbagai teolog, rohaniwan, dan akademisi bukan hanya dari tradisi Kristen Katolik, tetapi juga dari berbagai denominasi Kristen serta tradisi keagamaan lainnya di seluruh dunia. Teologi pembebasan mempengaruhi berbagai gerakan keagamaan progresif di seluruh penjuru dunia, memanggil tiap-tiap komunitas beriman agar menemukan dalam tradisinya masing-masing suatu panggilan ilahi untuk membebaskan kaum tertindas dan mewujudkan keadilan sosial. Di Amerika Latin sendiri, teologi pembebasan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong berbagai gerakan sosial revolusioner di negara-negara seperti Brazil, Nikaragua, dan El Salvador dalam menggulingkan kekuasaan diktator-diktator pro-Amerika Serikat dan untuk diusahakannya suatu tatanan ekonomi alternatif yang lebih adil dan demokratis (Löwy, 2019). Potensi Teologi Pembebasan sebagai Teologi Konteksual Sebagai suatu teologi yang secara eksplisit dinyatakan mesti bertolak dari praksis, yang salah satunya adalah pengalaman akan Allah dalam sejarah (Chen 2002), teologi pembebasan bisa disebut sebagai salah satu bentuk teologi kontekstual, yakni suatu mode dalam berteologi yang berusaha untuk menanggapi dinamika dari suatu konteks tertentu. Paus Fransiskus sendiri telah menyerukan digencarkannya suatu “teologi kontekstual yang dapat membaca dan menafsirkan Injil dalam terang kondisi-kondisi kehidupan manusia hari ini”, karena “teologi mau tidak mau harus berkembang ke dalam budaya dialog dan perjumpaan dengan keberagaman tradisi dan ilmu pengetahuan, lintas denominasi, lintas agama, berdiskusi secara terbuka dengan semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak.” (Wooden 2023) Kendati pada mulanya teologi pembebasan secara spesifik dirumuskan oleh Gutierrez untuk menanggapi situasi kemelaratan ekonomi akibat krisis kapitalisme—di mana para tertindas yang memerlukan pembebasan diidentifikasi sebagai kelas proletariat dan rakyat miskin secara umum—saya pikir semangat yang sama juga dapat diterjemahkan lebih lanjut dalam konteks pemahaman interseksional hari ini untuk melihat bagaimana berbagai bentuk teologi yang membebaskan dapat dimungkinkan dalam ragam konteks dan lapisan ketertindasan. Hari ini, kita memahami konsep interseksionalitas sebagaimana dipopulerkan oleh Kimberly Crenshaw (1998): bahwa seorang individu yang berada dalam kelompok sosial termarjinalkan atau tertindas (misal seorang perempuan, kelas pekerja, kelas menengah ke bawah) dapat mengalami ragam bentuk diskriminasi, marginalisasi dan ketertindasan yang “unik” dan berlapis-lapis menurut berbagai konteks lain dalam identitasnya, misal dalam perihal ras, etnisitas, disabilitas, usia, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, meskipun analisis kelas Marxis yang dipahami dalam teologi pembebasan sudah mengidentifikasi situasi ketertindasan ekonomi rakyat miskin, dibutuhkan juga usaha lebih untuk merefleksikan pengalaman teologis dari kalangan miskin yang bisa jadi juga merupakan seorang perempuan atau nonbiner, berasal dari ras atau etnis marginal, kwir, memiliki disabilitas, merupakan pengungsi, berasal dari situasi kekerasan, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, teologi pembebasan sebagai teologi kontekstual memiliki potensi untuk menyerukan potensi-potensi pengembangan ragam refleksi teologis sekaligus spiritualitas yang membebaskan dalam berbagai konteks maupun lapisan ketertindasan. Hari ini, sudah banyak usaha-usaha dari kelompok minoritas dan termarginalkan untuk “merebut” suaranya dalam wacana teologi. Terdapat teologi kulit hitam, teologi feminis, teologi kwir, teologi disabilitas, hingga teologi migrasi dan pengungsi. Semua itu juga merupakan bentuk-bentuk teologi kontekstual. Sebagai salah satu darinya, teologi pembebasan memiliki potensi untuk menerjemahkan berbagai refleksi teologis dari berbagai kelompok tertindas tersebut ke dalam suatu spiritualitas yang membebaskan—terlepas dari apapun tradisi keagamaan maupun aliran kepercayaan asalnya. Bagaimana dengan Teologi Pembebasan di Indonesia? Dalam konteks Indonesia, agama dan iman memiliki pengaruh yang fundamental. Ini sudah jelas dan rasanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Sayangnya ini tidak berarti teologi pembebasan menjadi suatu wacana yang populer. Kendati mungkin tidak jarang dibicarakan di kalangan akademik, semangat teologi pembebasan belum menjadi “mode” utama dalam praksis sebagian besar komunitas beriman di sini. Ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks pemberangusan sekaligus demonisasi gerakan kiri pasca 1965 oleh Orde Baru, yang pengaruhnya masih terasa sangat kental. TAP MRS No. XXV/1966 yang melarang penyebaran Marxisme masih berlaku hingga saat ini. Sekadar simbol palu-arit dapat membawa seseorang ke dalam penjara. Praktis tidak ada lagi partai politik yang benar-benar secara eksplisit mengusung gagasan sosialisme. Di kalangan masyarakat sendiri, kata Marxisme, sosialisme, dan komunisme masih menjadi suatu tabu yang diidentikkan dengan ateisme dan permusuhan terhadap kelompok religius. Teologi pembebasan, yang justru berusaha untuk merekonsiliasikan keduanya, mungkin terkesan “gila” dan tidak terpikirkan. Tetapi justru di sini saya pikir teologi pembebasan dapat membuat dobrakan, suatu kebaruan yang, jika disampaikan dengan tepat, dapat menjadi suluh baru dalam pergerakan. Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa institusi agama di Indonesia telah dikondisikan untuk menjadi nonpolitis dan kehilangan “taring”-nya. Sebagaimana yang telah sempat disebutkan juga di awal tulisan ini mengenai konsep Kekristenan baru dari Maritain, di Indonesia institusi-institusi agama juga sering kali menerima reaksi negatif ketika mereka menunjukkan keberpihakan atau posisi dalam isu-isu politis. Perihal politik dianggap sebagai suatu bentuk keduniawian yang kotor—lantas sudah seharusnya institusi agama bersikap netral dan tidak ikut campur dalam urusan-urusan tersebut. Sekalipun ada beberapa organisasi keagamaan dari kelompok mayoritas yang berani untuk bersikap dan bergerak secara politis, kebanyakan merupakan gerakan fundamentalis sayap kanan yang malah memupuk sektarianisme horizontal. Kelompok minoritas, di sisi lain, cenderung berusaha membedakan dirinya dari gerakan-gerakan fundamentalis dalam kelompok mayoritas tersebut dengan menunjukkan citra sebagai warna negara yang baik: toleran, pro-keberagaman, antikekerasan, antifanatisme, antiradikalisme, dan lain sebagainya. Kendati secara inheren nilai-nilai ini tidaklah buruk sama sekali, sayangnya sikap ini malah diterjemahkan menjadi suatu bentuk loyalitas buta terhadap negara, keengganan untuk mengkritik pemerintah, sikap permisif terhadap kekerasan status quo, atau setidaknya usaha untuk “main aman” dan “bersih” dalam menyikapi isu-isu politis. Bagi saya, lantas tempat untuk teologi pembebasan di Indonesia adalah untuk memberikan suatu pemahaman yang tepat bagi kaum beriman di Indonesia tetang menjadi politis. Bahwa menjadi politis bukan serta-merta artinya mengotori kesucian institusi agama. Bahwa menjadi politis bukan selalu berarti berafiliasi dengan suatu ideologi, gerakan, atau partai. Bahwa sesungguhnya, keberpihakan terhadap yang miskin, yang terpinggirkan, dan yang tertindas—sebagaimana yang diserukan oleh Yesus sendiri dalam Kitab Suci—sendirinya sudah memiliki implikasi politis. Suatu teologi pembebasan mengingatkan kita dengan di mana keberpihakan Tuhan berada, dan di mana kita juga seharusnya berada: bersama yang tertindas, bersama mereka yang menginginkan pembebasan. Referensi Brown, R. M. (1990). An Introduction to Liberation Theology. New York: Orbis Books. Chen Pr., M. (2002). Teologi Gustavo Gutierrez. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Crenshaw, K. (1998). Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics. University of Chicago Legal Forum 1989:139-67 Gutierrez, G. (1972). A Theology of Liberation. New York: Orbis Books. Gutierrez, G. (1983). The Power of the Poor in History. New York: Orbis Books. Gutierrez, G. 1991). Juan de la Cruz desde América Latina. Löwy, M. (2019). Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis. Yogyakarta: INSISTPress. Maritain, J. (1938). True Humanism. New York: Charles Scribner’s Sons. Wooden, C. (2023). Pope calls for ‘contextual theology’ that responds to modern questions. Catholic Review. https://catholicreview.org/pope-calls-for-contextual-theology-that-responds-to-modern-questions/
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |