Dian Aditya Ning Lestari (Mahasiswa S2 Kajian Gender, Universitas Hasanuddin) Nilai-nilai Kesetaraan Gender telah ada dalam Budaya Sulawesi Selatan sejak lama. Misalnya nilai-nilai “sipakatau, sipakalebi, sipakainge.”(1) Nilai-nilai ini mengandung kata “si” di depannya yang berarti “saling.” Ini menunjukkan budaya bilateral di Bugis-Makassar, yang menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada juga lima gender dalam Budaya Bugis, yaitu Oroane (Laki-Laki), Makkunrai (Perempuan), Calalai (perempuan yang seperti laki-laki), Calabai (laki-laki yang seperti perempuan) dan Bissu (non-gender).(2) Hal ini menunjukkan adanya toleransi masyarakat Bugis kuno terhadap kesetaraan gender. Nilai-nilai ini terdapat di seluruh daerah di Sulawesi seperti Wajo, Bone, dan utamanya di Kerajaan-Kerajaan Kuno (Kerajaan Gowa, dll). Nilai-nilai ini juga tertera di naskah kuno I La Galigo yang menjadi panduan para Bissu. La Galigo sendiri merupakan naskah Abad ke-19 yang ditulis oleh Colliq Pujie. Para pelaut Eropa menulis refleksi mereka tentang keragaman gender di Sulawesi Selatan sejak tahun 1500-an (3). Hal ini menunjukkan nilai keragaman gender, serta kesetaraan gender sudah lama ada di Sulawesi Selatan. Sharyn Graham Davies merupakan salah satu peneliti barat yang meneliti Bissu dan membawa diskusi ini ke kancah akademisi internasional. Diskusi ini menjadi penting karena nilai-nilai kesetaraan gender di Sulawesi Selatan dapat menjadi inspirasi secara nasional dan dunia. Nilai-nilai kesetaraan gender ini ada di Asia sudah sejak abad ke-15, yang menjadi inspirasi bagi negara barat untuk meneliti hal ini.
Hanya saja, angka Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA) di Makassar tetap tinggi. Direktur Ditreskrimum Polda Sulsel, Kombes. Pol. Jamaluddin Farti memaparkan sepanjang 2022 kekerasan fisik terhadap perempuan ada 294 kasus, dan kekerasan fisik terhadap anak ada 405 kasus (4). Sementara, sepanjang tahun 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Makassar mencapai 1.551 kasus (5). Salah satu contoh kasus kekerasan terhadap anak adalah nasib memilukan dialami bocah 12 tahun berinisial DP. Ia dilaporkan tewas di atas kapal KM Dharma Kencana, saat dalam perjalanan pelayaran dari Surabaya menuju pelabuhan Soekarno-Hatta, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ia tewas usai dianiaya karena dituduh mencuri handphone milik salah seorang penumpang (6). Hal ini disebabkan oleh normalisasi kekerasan dan mentalitas pro-kekerasan yang dimiliki di level individu (7). Apa yang dapat kita pelajari dari hal ini? Pertama, penerimaan terhadap berbagai macam keragaman gender yang terjadi di masa lalu Sulawesi Selatan tidak terjadi hingga saat ini. Sebelumnya Bissu sudah pernah dibunuh-bunuhi oleh Operasi Toba. Bissu dianggap bertentangan dengan Islam. Padahal, dari Catatan Harian Raja Bone ke-24 La Mappasessu To Appatunru, tidak ada yang menceritakan pertentangan antara Islam dan Bissu. La Temmassonge Toappawali sebagai Raja Bone ke-22 juga tidak menuliskan adanya pertentangan Islam dan Bissu. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga pernah memberantas Bissu, sehingga mereka harus hidup tersembunyi dari budaya mereka sendiri. Orde Baru juga telah menghapus budaya ini. Karenanya, budaya ini tidak menjadi mainstream dalam kehidupan sekarang, utamanya orang muda. Bagaimana kita mencegah kekerasan, dengan adanya penerimaan terhadap lima gender ini di masa lalu? Kita harus menjadikan kurikulum tentang pembelajaran ramah gender menjadi tersedia di sekolah-sekolah, utamanya usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Apalagi lima gender ini merupakan kearifan lokal dari masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan adanya kurikulum ini, diharapkan Kekerasan Berbasis Gender juga dapat berkurang, dengan makin pahamnya generasi muda bahwa perbedaan gender, maupun posisi sebagai perempuan maupun anak, selayaknya tidak menjadi korban pemukulan atau kekerasan. Perempuan dan anak juga sangat dihormati dalam kehidupan Bugis-Makassar Kuno. Perempuan diberikan ajaran tari-tarian dan anak-anak diberikan pendidikan sejak dini dalam kerajaan. Semoga dengan kearifan lokal Sulawesi Selatan yang dapat dikenali oleh generasi muda melalui pendidikan budaya, kita dapat mengurangi angka kekerasan di masa depan. Catatan Kaki (1) Abdollah, Mustakum Sulo, “The Meaning of Sipakatau Sipakalebbi Sipakainge in Wajo (A Semantical Analysis),” https://core.ac.uk/download/pdf/480896647.pdf, Jumat 7 April 2023, 10:53 PM (2) Graham Davies, Sharyn (2006). Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia. Case Studies in Cultural Anthropology. Thomson Wadsworth. p. xi. ISBN 978-0-495-09280-3. OCLC 476076313 (3) Sharyn Graham Davies dalam, Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, 'Di masa depan, bissu akan terancam punah', Daniel Stables, BBC Travel, 25 April 2021, diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166, 8 Jan 2024, 19:52 (4) Ashar Abdullah, “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Masih Marak di Sulsel”, Jumat, 30 Desember 2022 22:08 PM, diakses dari https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2022/12/30/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-masih-marak-di-sulsel/ (5) Siti Aminah, Sukmawati Ibrahim”1.551 Anak dan Perempuan di Makassar Jadi Korban Kekerasan di Tahun 2021”diakses dari https://makassar.tribunnews.com/2022/01/05/1551-anak-dan-perempuan-di-makassar-jadi-korban-kekerasan-di-tahun-2021, Jumat 7 April 2023 (6) Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Kamis, 29 Desember 2022 - 07:07 WIB oleh Donatus Nador dengan judul "5 Aksi Kekerasan di Sulsel Sepanjang Tahun 2022, Nomor 4 Paling Biadab | Halaman 3". Untuk selengkapnya kunjungi: https://daerah.sindonews.com/read/981697/710/5-aksi-kekerasan-di-sulsel-sepanjang-tahun-2022-nomor-4-paling-biadab-1672236731/20 (7) Menurut teori ekologis, terdapat faktor individu dalam dilakukannya kekerasan
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |