“Wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan akan memberikan implikasi yang merugikan perempuan”, demikian pernyataan Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dalam Konferensi Pers Menolak Rencana Wapres dan Menaker RI untuk Pengurangan Jam Kerja bagi Perempuan pada Kamis, (4/12) di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, kawasan Menteng Atas, Setia Budi, Jakarta Selatan. Menurutnya, wacana kebijakan ini tidak didasarkan data dalam pengambilan keputusannya. Karena walaupun wacana ini hanya akan dibebankan kepada Pegawai Negeri Sipil atau PNS, dalam kenyataannya jumlah PNS perempuan menurut data PUSKAPOL UI tahun 2011 masih lebih sedikit daripada jumlah laki-laki, dan semakin mencapai tingkatan eselon jumlah PNS Perempuan semakin menurun. Dalam konferensi yang digelar Jurnal Perempuan bersama ILUNI FH UI (Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan PELITA UI ini, Gadis juga menekankan bahwa wacana ini mendiskriminasikan kemampuan laki-laki dalam mengurus anak karena beban parenting dibebankan hanya kepada ibu, seakan-akan ayah tidak mampu membesarkan anak. Padahal dalam beberapa penelitian mengemukakan bahwa parenting yang dilakukan oleh kedua orangtua lebih memberikan banyak dampak positif terhadap anak. Dan dengan pengurangan jam kerja ini pula, di khawatirkan gaji yang diterima perempuan akan lebih sedikit dibanding laki-laki. Gadis Arivia menyarankan agar pemerintah memilih isu yang lebih substansif, bukan yang tinggi muatan politisnya seperti ini dan berharap wacana ini bisa dihentikan. (Nadya Karima Melati) Kamis, 4 Desember 2014, Jurnal Perempuan bersama Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) dan PELITA UI mengadakan konferensi pers “Menolak Pernyataan Jusuf Kalla mengenai Pengurangan Jam Kerja bagi Perempuan”. Ketua ILUNI FHUI Melli Darsa memandang perlu mengeluarkan pernyataan bersama tentang penolakan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan. “Wacana ini tidak berdasarkan data dan kerap bernuansa politik sehingga berpotensi melahirkan peraturan hukum yang diskriminatif”, ungkap Melli. Tentu hal ini tidak sejalan dengan perjuangan yang selama ini dilakukan perempuan dalam bidang pekerjaan. Data yang ada memperlihatkan perempuan belum menduduki posisi-posisi kunci dalam pekerjaan ataupun profesinya. Melli Darsa yang bergelut di bidang hukum memberikan contoh bahwa perempuan yang mencapai karier tertinggi di bidang hukum sangat rendah. Padahal data laki-laki dan perempuan yang mengambil jurusan hukum di tingkat universitas persentasenya masih seimbang. Namun, ketika di dunia profesi, perempuan yang menjadi jaksa 40%, 6,5% menjadi jaksa agung dan hanya ada 1 perempuan dari 10 hakim konstitusi. “Image dalam penegakan hukum Indonesia sangat maskulin”, ujarnya. Melli manambahkan hambatan bagi perempuan untuk mencapai puncak kariernya mencakup hambatan struktural dan kultural. Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang cerdas untuk menginisiasi pembuatan peraturan di negeri ini. Melli Darsa berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulang kesalahan pemerintahan yang lalu dalam membuat undang-undang, yakni dengan tidak membuat konsep-konsep hukum yang menimbulkan permasalahan di masyarakat. Pemerintah harus berhati-hati dan memiliki pemahaman untuk membuat peraturan, jangan sampai menjadi sebuah kemunduran. Karena menurut Melli peraturan seperti ini tidak efektif dan memungkinkan untuk menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Wacana mengenai pengurangan jam kerja bagi perempuan akan memengaruhi iklim ekonomi. Dengan alasan untuk mengurus anak di rumah adalah bentuk dari domestifikasi perempuan, mengingat bahwa kewajiban mengurus anak bukan hanya tanggung jawab ibu saja melainkan kedua orang tua (parenting). Melli menambahkan bahwa di bidang lawyer banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dengan rekam jejak yang panjang, namun tidak diberikan kesempatan oleh regulasi, yang harus kita lakukan adalah bukan membatasi namun memberi motivasi bagi pekerja perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam kariernya. (Andi Misbahul Pratiwi) Solo, 2 Desember 2014. Pada Senin 1 Desember berlangsung koordinasi Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta yang terdiri dari beberapa elemen. JPPAS menyayangkan proses pemberitaan korban kekerasan seksual terduga Raja Solo yang memperlihatkan diri korban di televisi dan foto bayi korban di beberapa media. Jaringan ini mengeluarkan pernyataan sebagai berikut. (dc)
PRESS RELEASE Kami adalah Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS) yang terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, Ormas dan individu (LPH YAPHI, SPEKHAM, ATMA, YKPS, Ekasita, Bina Bakat, SARI, WKRI Cab. Surakarta, Jurnal Perempuan, Jejer Wadon, PPSG UKSW) yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak di Kota Surakarta dengan ini menyatakan keprihatinan terhadap berita yang berkembang di media terkait Kasus Kekerasan Seksual yang menimpa At yang diduga dilakukan oleh Raja Solo. Keprihatinan kami tersebut berupa : 1. Tidak adanya perspektif keberpihakan kepada Korban (At) dari Tim Kuasa Hukum atau pendamping. Hal tersebut terbukti dengan adanya penyebarluasan informasi di media mengenai kelahiran korban, penyebutan dengan jelas lokasi rumah sakit tempat At melahirkan bahkan yang lebih parah adalah memuat foto anak At. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan anak (terbaik untuk anak, hak tumbuh kembang, hak hidup, hak partisipasi) seperti yang tercantum dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, KHA (Konvensi Hak Anak), CEDAW (Convention on the Elimination of Discriminations Against Women). Selain itu bagi korban kekerasan seksual sangatlah penting untuk mendapatkan privasi terkait dengan identitas. 2. Ketidakpedulian yang menyebabkan kesalahan fatal Tim Kuasa Hukum atau Pendamping dalam hal penandatanganan Surat Kuasa oleh Bu Kumoro yang dianggap sebagai Bude At (seperti yang disampaikan oleh Asri Purwanti kepada JPPAS dalam pertemuan pada tanggal 18 Oktober 2014 di Kantor SPEKHAM), padahal seperti kita ketahui bahwa At masih mempunyai ayah kandung. Dengan demikian surat kuasa tersebut cacat hukum. 3. Keberadaan At yang tinggal di rumah Bu Kumoro yang dianggap sebagai Bude At, padahal dari hasil investigasi yang dilakukan oleh JPPAS dan dikuatkan oleh Bapak Suparno, SH sebagai Kanit Reskrim Polres Sukoharjo dalam bedah kasus pada hari Jumat, 25 November 2014 di YKPS bahwa Rumah Bu Kumoro biasa dipakai untuk berkumpul anak-anak remaja seusia At yang diduga dieksploitasi. 4. Pernyataan dari Tim Kuasa Hukum atau Pendamping yang mewacanakan perubahan status anak yang dilahirkan At menjadi adik At. Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terkait dengan asal-usul anak yang menjadi hak dasar bagi anak. 5. Pernyataan dari Tim Kuasa Hukum atau Pendamping yang akan meminta bantuan jaminan pendidikan, kesehatan, sembako kepada DPRD Sukoharjo. Hal tersebut perlu dikritisi sebab kebutuhan utama At sejak awal yang harus dipenuhi adalah layanan psikologi karena At sebagai korban kekerasan seksual yang masih berstatus anak. Berdasarkan hal-hal di atas maka kami meminta agar:
Hormat Kami Haryati Panca Putri, SH Koordinator JPPAS Contact Person : Fitri Junanto (081548332290) Elizabeth Yulianti Raharjo (081805841001) Pendiri Firma Hukum Melli Darsa & Co. sekaligus Ketua Dewan Pembina YJP Melli Darsa menyatakan hukum menjadi seksis dan patriarkis akibat pewarisan hukum dari zaman Belanda yang belum dibenahi. Hal tersebut terjadi karena hukum tidak pernah dijadikan prioritas utama dalam pembangunan selama beberapa kali periode pemerintahan. Padahal, untuk mencapai Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur dibutuhkan ketegasan hukum agar rakyat memiliki kepercayaan terhadap pemerintahan. Ketidaktegasan hukum berimplikasi pada subjek hukum yang paling marginal yaitu perempuan dan anak-anak miskin. Dalam diskusi yang berlangsung di acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dengan tema “Evaluasi Penegakan Hukum untuk Perempuan”, dan bertempat di kediaman Melli Darsa di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Sabtu (29 November 2014) tersebut Melli Darsa mengungkapkan bahwa kemajuan perempuan di suatu negara ditentukan oleh jumlah perempuan yang mampu mencapai posisi-posisi puncak. Karena pola pengambilan keputusan pasti bersifat patriarkis dan perempuan jika kuantitasnya sedikit dalam posisi pengambilan keputusan secara psikologis akan enggan mengungkapkan keadaannya. Disinilah pentingnya Women on Board, ujarnya lagi. Komposisi perempuan sebagai penegak Hukum pun belum mencapai angka yang diharapkan. Jumlah Perempuan di Mahkamah Konstitusi hanya 11%, disusul Mahkamah Agung 9,7%, Kementerian Hukum dan HAM 18,1% dan Kejaksaan 41%. Melli Darsa juga menekankan pentingnya posisi dan pandangan perempuan serta etika kepedulian (Ethics of Care) dalam pengambilan keputusan pada pos-pos dan posisi yang penting. (Nadya Karima Melati) Sabtu, 29 November 2014, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menyelenggarakan gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) di kediaman ibu Melli Darsa, S.H., LL.M selaku Ketua Dewan Pembina YJP dan pendiri Firma Hukum Melli Darsa & Co. Pada momen tersebut tentunya YJP juga mengadakan diskusi dengan tema “Evaluasi Penegakan Hukum untuk Perempuan”, selaku pembicara yaitu Melli Darsa dan Rocky Gerung. Rocky membuka pembicaraannya dengan menganalisis gramatikal hukum yang jika kita amati ternyata setiap pasal dalam diktat hukum dimulai dengan kata “barangsiapa” yang diperuntukkan sebagai subjek hukum. Namun kata “barangsiapa” sebenarnya adalah sebuah gramatikal laki-laki yang menunjukkan bahwa subjek hukum adalah kaum laki-laki. Rocky Gerung Dosen filsafat FIB Universitas Indonesia melanjutkan, “Dibalik subjek hukum itu ada sebuah sejarah panjang tentang penyingkiran perempuan dalam hukum”. Rocky mengibaratkan bahwa hukum itu seperti lorong dalam rumah yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, dimana jika batas dari lorong dilalui maka perlu hukum untuk mengaturnya, sehingga sebenarnya hukum berawal dari ruang privat, dari kamar tidur, dari lorong rumah, dari ruang domestik. Seluruh aktivitas hukum menjadi aktivitas publik, hukum mengatur perselisihan di ruang publik dimana ruang publik telah dikuasai oleh laki-laki. Lebih lanjut Rocky mengungkapkan bahwa Undang-undang Kekerasan Dalam Tumah Tangga (KDRT) adalah upaya bring justice back into the home yang selama ini dirampas oleh peradaban laki-laki. Tubuh perempuan adalah sumber diskriminasi ekonomi, sosial, budaya. Ketidakadilan ekonomi mungkin masih bisa diatasi oleh perbaikan regulasi, namun ada hukum kultural dimana setiap orang dikendalikan oleh peraturan moral dan perempuan lagi-lagi tidak mendapatkan keadilannya. Keseimbangan alam mengatakan bahwa semua orang berhak mendapat keadilan di meja hukum, dari wacana itulah lahir teori hukum feminis yang digunakan untuk mereduksi hukum dimana kaum feminis memperjuangkan agar pengalaman perempuan bisa dijadikan sumber hukum baru, bukan hanya ethics of rights namun ethics of care juga dilibatkan. Selama cara berpikir hukum tidak direvisi maka diskriminasi hukum terhadap perempuan akan terus berlangsung. Hukum masih dipalsukan oleh kepentingan patriarki. Melli Darsa adalah contoh perempuan ekstrem yang berusaha menerobos langit-langit kekuasaan laki-laki di bidang hukum. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2024
Categories |