Agenda Perempuan untuk Indonesia Baru
(25 Juni 2014)
(25 Juni 2014)
Praktik diskriminasi terhadap perempuan masih ditemukan dalam keluarga, masyarakat, dan bahkan negara. Hal tersebut tentu saja masih jauh dari amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memenuhi, menjamin dan melindungi hak asasi perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pertanyaan pun muncul: kira-kira sejauh mana Indonesia telah melaksanakan kewajiban konstitusinya secara konsisten untuk menghapus segala bentuk diskrimansi, khususnya diskriminasi terhadap perempuan?
Untuk menjawab persoalan tersebut, gerakan Aliansi Perempuan Indonesia menginisiasi sebuah kegiatan konsultasi perumusan agenda perempuan Indonesia. Kegiatan diawali dengan Focus Group Discussion (FGD) pada hari Rabu, 18 Juni 2014 bertempat di Megawati Institute. Diskusi tersebut dihadiri oleh 35 peserta yang terdiri dari aktivis, perwakilan organisasi perempuan, akademisi, dan tokoh masyarakat. FGD diselenggarakan untuk memetakan serta merumuskan persoalan, kendala, dan tantangan kondisi perempuan Indonesia.
Agenda utama kegiatan ini adalah untuk melahirkan output yang akan memastikan bahwa substantive equality dan hak asasi perempuan menjadi basis penting perumusan kebijakan 'jalan baru' Indonesia, untuk menciptakan Indonesia yang adil, berdaulat dan berbudaya. Salah satunya dengan menyusun Blue Print Agenda Perempuan Indonesia 2014-2019 sebagai acuan. Diskusi pertama membahas sebelas topik terkait isu perempuan yang dibagi ke dalam empat kluster: pertama yaitu kemiskinan, ekonomi, sustainable development, tenaga kerja; kedua topik kesehatan, kekerasan terhadap perempuan dan anak; ketiga hukum, pelanggaran HAM masa lalu, pendidikan dan partisipasi perempuan dalam politik; dan keempat perdamaian dan konflik.
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Nazmiyah Sayuti, masuk ke dalam kelompok pembahasan topik pertama. Gagasan yang diusulkan oleh kluster ekonomi ada dua: pertama menyarankan pemerintah baru agar memakai indikator indeks kebahagiaan menggantikan indeks pertumbuhan yang hanya fokus pada pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP), tanpa memasukkan indikator yang mengacu pada kualitas hidup atau kekuatan modal sosial. Kedua melaksanakan prinsip tata kelola negara yang baik pada pengelolaan sumber daya alam sesuai ekosistem. Prinsip tata kelola yang baik di antaranya berisi prinsip pemantauan dan evaluasi perubahan atas pelayanan yang diberikan oleh kelembagaan negara dan unsur-unsur masyarakat. (Nataresmi)
Untuk menjawab persoalan tersebut, gerakan Aliansi Perempuan Indonesia menginisiasi sebuah kegiatan konsultasi perumusan agenda perempuan Indonesia. Kegiatan diawali dengan Focus Group Discussion (FGD) pada hari Rabu, 18 Juni 2014 bertempat di Megawati Institute. Diskusi tersebut dihadiri oleh 35 peserta yang terdiri dari aktivis, perwakilan organisasi perempuan, akademisi, dan tokoh masyarakat. FGD diselenggarakan untuk memetakan serta merumuskan persoalan, kendala, dan tantangan kondisi perempuan Indonesia.
Agenda utama kegiatan ini adalah untuk melahirkan output yang akan memastikan bahwa substantive equality dan hak asasi perempuan menjadi basis penting perumusan kebijakan 'jalan baru' Indonesia, untuk menciptakan Indonesia yang adil, berdaulat dan berbudaya. Salah satunya dengan menyusun Blue Print Agenda Perempuan Indonesia 2014-2019 sebagai acuan. Diskusi pertama membahas sebelas topik terkait isu perempuan yang dibagi ke dalam empat kluster: pertama yaitu kemiskinan, ekonomi, sustainable development, tenaga kerja; kedua topik kesehatan, kekerasan terhadap perempuan dan anak; ketiga hukum, pelanggaran HAM masa lalu, pendidikan dan partisipasi perempuan dalam politik; dan keempat perdamaian dan konflik.
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Nazmiyah Sayuti, masuk ke dalam kelompok pembahasan topik pertama. Gagasan yang diusulkan oleh kluster ekonomi ada dua: pertama menyarankan pemerintah baru agar memakai indikator indeks kebahagiaan menggantikan indeks pertumbuhan yang hanya fokus pada pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP), tanpa memasukkan indikator yang mengacu pada kualitas hidup atau kekuatan modal sosial. Kedua melaksanakan prinsip tata kelola negara yang baik pada pengelolaan sumber daya alam sesuai ekosistem. Prinsip tata kelola yang baik di antaranya berisi prinsip pemantauan dan evaluasi perubahan atas pelayanan yang diberikan oleh kelembagaan negara dan unsur-unsur masyarakat. (Nataresmi)