Philips J. Vermonte: Problem Representasi Perempuan dalam Politik
(25 Agustus 2014)
Dalam diskusi bertema "Politik dan Status Perempuan sebagai Liyan", di Galeri Cemara, Minggu (24/8), peneliti CSIS Philips J. Vermonte memaparkan data terkait representasi perempuan dalam dunia politik. Dari hasil telaahnya, ia membuat kesimpulan bahwa penambahan jumlah politisi perempuan meningkatkan keaktifan orang dalam berpolitik. Data di sejumlah negara Eropa menujukkan korelasi kenaikan jumlah perempuan di parlemen dengan tingkat keterlibatan perempuan lain dalam politik. Misalnya menambah diskusi politik antara perempuan, menyurati anggota parlemen, berpartisipasi dalam aksi demo, serta mendorong pengesahan kebijakan publik. Peningkatan keterlibatan perempuan juga ternyata memancing makin tingginya keterlibatan laki-laki. Fenomena yang sama tidak terjadi jika jumlah politisi laki-laki meningkat.
Bagaimana representasi perempuan dalam politik di Indonesia? Demokrasi di negara kita ternyata masih menghadapi problem representasi yang cukup serius di mata Philips. Ada tiga persoalan representasi: pertama, hubungan perempuan dan partai sendiri timpang sehingga demokrasi berlangsung tidak sehat. Kedua, kualitas internal partai berpengaruh terhadap kondisi persoalan rekrutmen, seleksi dan regenerasi politisi. Ketiga, kualitas individu politisi masih rendah. Dari proses pemilu legislatif 2014, dihasilkan anggota parlemen perempuan periode mendatang sebanyak 18,2%. Kualitas politisi perempuan sendiri belum teruji, apalagi jika menakar latar belakang sebagian politisi yang berasal dari dinasti politik daerah.
Menyikapi rendahnya representasi politisi perempuan di DPR sekarang, Philips menyarankan 3 agenda ke depan, yaitu: agenda riset, mempertimbangan ulang sistem pemilu, serta mengadvokasi partai politik diantaranya penguatan sistem rekrutmen dan kaderisasi. (Nataresmi)
Bagaimana representasi perempuan dalam politik di Indonesia? Demokrasi di negara kita ternyata masih menghadapi problem representasi yang cukup serius di mata Philips. Ada tiga persoalan representasi: pertama, hubungan perempuan dan partai sendiri timpang sehingga demokrasi berlangsung tidak sehat. Kedua, kualitas internal partai berpengaruh terhadap kondisi persoalan rekrutmen, seleksi dan regenerasi politisi. Ketiga, kualitas individu politisi masih rendah. Dari proses pemilu legislatif 2014, dihasilkan anggota parlemen perempuan periode mendatang sebanyak 18,2%. Kualitas politisi perempuan sendiri belum teruji, apalagi jika menakar latar belakang sebagian politisi yang berasal dari dinasti politik daerah.
Menyikapi rendahnya representasi politisi perempuan di DPR sekarang, Philips menyarankan 3 agenda ke depan, yaitu: agenda riset, mempertimbangan ulang sistem pemilu, serta mengadvokasi partai politik diantaranya penguatan sistem rekrutmen dan kaderisasi. (Nataresmi)
Indriyani Sugiharto: Memperjuangkan Cita-cita Kesetaraan
(25 Agustus 2014)
Indriyani Sugiharto, peraih beasiswa Jurnal Perempuan tahun 2014 menceritakan bagaimana ia harus menghadapi persoalan berlapis ketika ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di hadapan para undangan yang menghadiri kegiatan Gathering Sahabat Jurnal Perempuan, bertempat di Galeri Cemara, Minggu (24/8). Indriyani berasal dari desa Sumpiuh, Banyumas, tidak mudah baginya untuk bisa bersekolah tinggi. Pertama, kondisi ekonomi keluarga (ayahnya seorang tukang servis radio sedangkan ibunya pekerja rumah tangga) dan kedua, statusnya sebagai perempuan. Di daerahnya, hanya anak-anak yang berasal dari keluarga PNS atau golongan berada yang dianggap bisa kuliah. Di dalam keluarganya sendiri, Indriyani menghadapi perlakuan berbeda. Saudara laki-lakinya diberi kesempatan untuk bersekolah tinggi, sedangkan ia sebagai anak perempuan dianggap tidak layak melanjutkan kuliah. Berkat kegigihannya, kini Indriyani menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.
Sewaktu mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa, Indriyani diminta membuat karya tulis bertema perempuan. Seleksi tulisan merupakan salah satu kriteria penilaian. Dan ketika menjadi salah satu kandidat penerima beasiswa, Indri mendapat kesempatan untuk menuangkan tulisannya di blog Jurnal Perempuan. Salah satu tulisannya mengangkat pengalamannya ketika magang di organisasi pekerja rumah tangga perempuan yang ada di Yogyakarta, yang dapat dibaca di https://www.jurnalperempuan.org/blog/kesehatan-perempuan-pekerja-rumah-tangga-siapa-yang-harus-peduli. Selanjutnya, Indriyani aktif menulis di website Jurnal Perempuan. Ternyata, ada respons diluar dugaan Indri atas tulisan-tulisannya. Seorang teman laki-lakinya di kampus memberikan komentar, apakah ia sudah menjadi seorang feminis? Stereotyping terhadap feminis masih melekat dalam benak banyak orang, di antaranya berambut pendek, tidak mau menikah dan memusuhi laki-laki. Oleh karena itu, Indriyani disarankan agar jangan menjadi feminis. Menyadari prasangka seperti itu, Indriyani merasa menulis merupakan langkah awal untuk memberikan pencerahan bagi cita-cita kesetaraan. (Nataresmi)
Sewaktu mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa, Indriyani diminta membuat karya tulis bertema perempuan. Seleksi tulisan merupakan salah satu kriteria penilaian. Dan ketika menjadi salah satu kandidat penerima beasiswa, Indri mendapat kesempatan untuk menuangkan tulisannya di blog Jurnal Perempuan. Salah satu tulisannya mengangkat pengalamannya ketika magang di organisasi pekerja rumah tangga perempuan yang ada di Yogyakarta, yang dapat dibaca di https://www.jurnalperempuan.org/blog/kesehatan-perempuan-pekerja-rumah-tangga-siapa-yang-harus-peduli. Selanjutnya, Indriyani aktif menulis di website Jurnal Perempuan. Ternyata, ada respons diluar dugaan Indri atas tulisan-tulisannya. Seorang teman laki-lakinya di kampus memberikan komentar, apakah ia sudah menjadi seorang feminis? Stereotyping terhadap feminis masih melekat dalam benak banyak orang, di antaranya berambut pendek, tidak mau menikah dan memusuhi laki-laki. Oleh karena itu, Indriyani disarankan agar jangan menjadi feminis. Menyadari prasangka seperti itu, Indriyani merasa menulis merupakan langkah awal untuk memberikan pencerahan bagi cita-cita kesetaraan. (Nataresmi)
Toeti Heraty: Jangan Bungkam terhadap Ketidakadilan
(25 Agustus 2014)
Jurnal Perempuan lahir dari gagasan para pendiri yang melihat bahwa ide feminisme belum mendapat tempat di Indonesia pada saat itu. Inisiasi secara spontan pun berlangsung, yaitu dengan mengumpulkan dana awal untuk membiayai penerbitan sebuah jurnal. Tanpa terasa, tahun ini usia Jurnal Perempuan mencapai angka 18. Usia yang mencerminkan proses perjuangan panjang dan pencapaian penting dalam menyebarkan ide feminisme bagi masyarakat luas. Hal itu dituturkan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi Roosseno sewaktu memberikan sambutan saat membuka acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-8 di Galeri Cemara, Minggu (24/8). Dalam kegiatan tersebut berlangsung perayaan hari jadi JP ke-18 sekaligus diskusi dengan tema "Politik dan Status Perempuan sebagai Liyan".
Di mata Toeti, sesuatu yang mendasari feminisme adalah gugatan rasa keadilan. "Namun siapa yang menjamin hidup ini adil? Kita harus mendudukkan keadilan dalam konteks yang luas. Hidup belum tentu adil, tapi kita harus perjuangkan keadilan itu," ujarnya. Gugatan itu bahkan sudah berlangsung sejak berabad-abad lampau meskipun tidak diberi label feminisme, namun secara esensi sama, yaitu memprotes ketidakadilan. Contoh yang disebutkan adalah gugatan seorang perempuan bernama Floria yang dianggap sebagai penggoda Santo Agustinus, padahal Floria dan anaknyalah yang ditelantarkan. Suara perempuan seperti Floria tidak boleh dibungkam meskipun harus berhadapan dengan otoritas yang dianggap suci sekalipun.
Di masa sekarang, bandul feminisme sudah sedemikian rupa berayun mengikuti perubahan yang terus terjadi. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, Guru Besar Filsafat FIB UI ini mencermati adanya kontradiksi perjuangan perempuan dengan maraknya perda-perda diskriminatif perempuan di berbagai daerah. Di sisi lain, dalam dunia sastra telah tumbuh gebrakan para penulis perempuan kontemporer yang menghadirkan tema berani mengenai tubuh dan eksistensinya sebagai perempuan. Termasuk di dalamnya pilihan akan orientasi seksual yang selama ini dianggap tabu. Jurnal Perempuan sendiri telah hadir merekam berbagai peristiwa tersebut dengan pendalaman perspektif feminisme, sebuah pendekatan yang menjadi ciri khas JP. Di akhir sambutan, Prof. Toeti mengucapkan: "Usia 18 tahun sudah cukup panjang. Selamat ulang tahun untuk kita semua, semakin berkembang semakin mendekati sasaran dan tujuan JP". (Nataresmi)
Di mata Toeti, sesuatu yang mendasari feminisme adalah gugatan rasa keadilan. "Namun siapa yang menjamin hidup ini adil? Kita harus mendudukkan keadilan dalam konteks yang luas. Hidup belum tentu adil, tapi kita harus perjuangkan keadilan itu," ujarnya. Gugatan itu bahkan sudah berlangsung sejak berabad-abad lampau meskipun tidak diberi label feminisme, namun secara esensi sama, yaitu memprotes ketidakadilan. Contoh yang disebutkan adalah gugatan seorang perempuan bernama Floria yang dianggap sebagai penggoda Santo Agustinus, padahal Floria dan anaknyalah yang ditelantarkan. Suara perempuan seperti Floria tidak boleh dibungkam meskipun harus berhadapan dengan otoritas yang dianggap suci sekalipun.
Di masa sekarang, bandul feminisme sudah sedemikian rupa berayun mengikuti perubahan yang terus terjadi. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, Guru Besar Filsafat FIB UI ini mencermati adanya kontradiksi perjuangan perempuan dengan maraknya perda-perda diskriminatif perempuan di berbagai daerah. Di sisi lain, dalam dunia sastra telah tumbuh gebrakan para penulis perempuan kontemporer yang menghadirkan tema berani mengenai tubuh dan eksistensinya sebagai perempuan. Termasuk di dalamnya pilihan akan orientasi seksual yang selama ini dianggap tabu. Jurnal Perempuan sendiri telah hadir merekam berbagai peristiwa tersebut dengan pendalaman perspektif feminisme, sebuah pendekatan yang menjadi ciri khas JP. Di akhir sambutan, Prof. Toeti mengucapkan: "Usia 18 tahun sudah cukup panjang. Selamat ulang tahun untuk kita semua, semakin berkembang semakin mendekati sasaran dan tujuan JP". (Nataresmi)
Nazmiyah Sayuti: Kelahiran JP Berawal dari KampusDalam "Training Gender dan Feminisme untuk Duta SJP-Kampus” yang diselenggarakan YJP pada hari Jumat, 22 Agustus 2014, Direktur Eksekutif YJP Nazmiyah Sayuti menceritakan sejarah awal kelahiran Jurnal Perempuan di kampus Universitas Indonesia di hadapan 21 mahasiswa peserta pelatihan. Pelatihan bertujuan menambah ruang partisipasi mahasiswa dalam penyebaran ide kesetaraan dan feminisme. Para mahasiswa ini akan berperan sebagai duta kampus sekaligus sahabat JP dalam mengusung cita-cita bersama. Baca selanjutnya>>
Deedee Achriani: Generasi Muda Feminis Calon Pemimpin BangsaYayasan Jurnal Perempuan (YJP) menyelenggarakan training bagi Duta Sahabat Jurnal Perempuan-Kampus yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas di kantor YJP, Jumat 22 Agustus 2014. Pelatihan yang diikuti 21 peserta hasil seleksi terhadap puluhan mahasiswa yang memasukkan aplikasi ke YJP ini bertujuan untuk mengasah sensitivitas gender dan pengetahuan tentang feminisme, mengajak peserta memahami permasalahan perempuan dan mengenalkan Jurnal Perempuansebagai produk pengetahuan. Baca selanjutnya>>
YJP dalam Spotlight Gender Week GIZ 2014 di BonnYayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang menjadi mitra Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammernarbeit (GIZ) Indonesia, Timor Leste dan Asean masuk dalam spotlight Gender Week GIZ 2014. Gender Week adalah even tahunan yang didesain untuk mengangkat komitmen, kekayaan pengalaman dan keahlian GIZ dalam bidang gender. Sebuah upaya untuk menemukan dan menyebarluaskan praktik-praktik terbaik yang bertujuan untuk mengembangkan inovasi dan menyebarkan gagasan-gagasan baru dan meningkatkan kompetensi gender secara terus-menerus. Tahun ini 27 negara ambil bagian secara aktif dalam Gender Week yang digelar di Eschborn, Bonn dan Berlin, dan di negara-negara mitra. Baca Selanjutnya>>
Muhamad Ali: Yang harus Dikembangkan adalah Politik Nilai bukan Politik IdentitasBagi kalangan Islam, Ad Dien dimaknai sebagai way of life, jalan hidup, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Namun demikian, pembedaan agama dan politik bukan berarti tidak bisa dilakukan. Demikian pernyataan Muhamad Ali, Dosen Universitas California, Riverside dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan” yang diadakan Jurnal Perempuan pada (1/7) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Menurutnya secara administratif Indonesia bersifat sekuler. Di Indonesia secara historis telah terjadi pemisahan demikian, misalnya keberadaan Kementerian Agama dan pemisahan pemimpin agama dan pemimpin politik. Hal ini sudah menunjukkan jalan benar ke arah demokratisasi. Baca selanjutnya>>
Masruchah: Parpol Tidak Menjalankan Misi Agama yang Toleran dan Anti DiskriminasiBerbicara tentang politik dan agama, persoalan yang muncul di Indonesia adalah partai politik yang memiliki peran politik tidak bisa menjalankan misi agama yang bersemangat toleransi dan anti diskriminasi. Sehingga ketika agama masuk dalam politik yang terjadi justru membawa kegelapan. Hal ini bisa dilihat dari lahirnya kebijakan-kebijakan diskriminatif atas nama moral dan agama yang muncul sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, hingga 2014 terdapat 342 peraturan daerah (perda) diskriminatif. Demikian pernyataan Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan” yang digelar Jurnal Perempuan pada Selasa (1/7) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Baca selanjutnya>>
Manneke Budiman: Perlunya Peranan Revolusioner Agama dalam PolitikMustahil untuk memisahkan agama dan politik. Bangunan agama dalam kesadaran manusia usianya sangat tua dan merupakan bagian dari evolusi psikologis kita yang tertanam sejak dari alam sebelum manusia dilahirkan. Agama lahir dari gagasan revolusioner yang mengubah paradigma berpikir manusia, dari masyarakat tidak beradab menuju peradaban. Namun potensi positif dan konstruktif agama dalam setiap sektor kehidupan belum terangkat. Roh agama pun menjadi mati, cenderung konservatif, dan bahkan menjadi kekuatan represif. Yang kita perlukan, bukan menyingkirkan agama dari ranah publik, termasuk politik, namun revivalisasi agama atau pembaharuan yang memiliki kekuatan pencerahan. Peranan revolusioner agama di dalam sejarah berfungsi menjaga akal sehat politik selama masih dipakai sebagai suatu sarana untuk pencerahan. Sebaliknya dengan revitalisasi agama yang justru mengukuhkan status quo. Baca selanjutnya>>
Siti Khadijah Nasution: Utamakan Nilai Positif yang MendamaikanJurnal Perempuan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan”, bertempat di kantor Jurnal Perempuan pada hari Selasa, 1 Juli 2014. Diskusi dihadiri oleh perwakilan lembaga, tokoh masyarakat serta akademisi yang memiliki perhatian tinggi terhadap isu perempuan, politik dan agama. Diskusi dibagi ke dalam dua sesi yang masing-masing berlangsung dua jam. Sesi pertama, fokus diskusi berangkat dari hasil pengamatan hasil pemilu legislatif April 2014, dengan data riset JP edisi 81 bertema “Perempuan Politisi”. Pada sesi ini dibahas bagaimana relasi agama dan politik serta turunannya terkait dengan fenomena agama dalam praktik berpolitik di Indonesia. Sesi kedua membahas visi misi dan program calon presiden RI menjelang pilpres 2014 terkait dengan isu perempuan dan gender. Acara diskusi dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Baca Selanjutnya>>
Agatha Ferijani: Calon Pemimpin dengan Jiwa Feminis haruslah Dipilih
Terdapat setidaknya dua cara pandang ketika perempuan memilih pemimpin negara, yakni pertama didasarkan pada fanatisme sexim dan kedua pada fanatisme feminis value. Kedua carapandang ini memunculkan perjuangan penegakan kesetaraan gender yang berbeda pula. Demikian pernyataan Ketua Pusat Studi Wanita (PSW) Unika Soegijapranata Agatha Ferijani dalam acara Pendidikan Publik “Perempuan Politisi” yang diadakan Jurnal Perempuan pada Sabtu (14/6) lalu di UKSW Salatiga. Baca selanjutnya>>
Haryati Putri: Kasus Pelanggaran HAM harus Diselesaikan
Upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM hingga hari ini masih menemui banyak kendala. Salah satu kasus yang hingga kini belum terselesaikan adalah tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM berat 1965/66. Bahkan korban yang masih hidup sampai saat ini mengalami tekanan dan menerima perlakuan diskriminatif. Direktur LPH YAPHI Haryati Panca Putri dalam acara Pendidikan Publik “Perempuan Politisi” yang digelar Jurnal Perempuan di UKSW Salatiga pada Sabtu (14/6) lalu mengatakan pada tahun 2005 YAPHI mencoba untuk mempertemukan korban/organisasi untuk berjuang bersama di wilayah Jateng. Baca selanjutnya>>
Ina Hunga: Pendidikan Politik Kritis Dorong Partisipasi SubstantifPerempuan perlu berpolitik karena sebagai warga negara—dengan jumlah lebih dari 50 persen penduduk Indonesia—perempuan masih termarginalkan dalam berbagai aspek dan pemenuhan hak asasi-nya sebagai manusia/warga negara masih terabaikan. Untuk itu keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan atas suatu kebijakan adalah hal mutlak. Pernyataan ini disampaikan Arianti Ina Restiani Hunga Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana (PPSG-UKSW) sekaligus Ketua Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Daerah Jawa Tengah dalam acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan dengan tema “Perempuan Politisi” yang diselenggarakan Sabtu (14/6) di UKSW Salatiga. Baca selanjutnya>>
Nazmiyah Sayuti: "Kekerasan Berbasis Gender dan Agenda Pembangunan Post-2015
Senin (26/5) bertempat di Hotel Akmani Jakarta, United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama pemangku kepentingan di sektor organisasi sipil (LSM). Diskusi yang menjadi bagian dari Post-2015 Development Agenda ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perempuan dan anak muda. Jurnal Perempuan yang diwakili oleh Direktur Eksekutif Nazmiyah Sayuti, menjadi salah satu lembaga yang terlibat sebagai peserta dari kelompok perempuan bersama sekitar 30 peserta lain. Baca selanjutnya>>
Lokalatih "Kepemimpinan Feminis Muda untuk Pemberdayaan Masyarakat Basis"
Bertempat di Hotel Sutan Raja, Cirebon, pada tanggal 2-6 Mei 2014 lalu, Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia menyelenggarakan lokalatih MBI (Movement Building Institute) dengan tema “Kepemimpinan Feminis Muda untuk Pemberdayaan Masyarakat Basis”. Lokalatih dengan cakupan Jawa-Bali-NTB ini, diikuti oleh 18 partisipan dari beragam lembaga. Jakarta diwakili oleh Munarsih (Perkumpulan Air Putih) dan Wara Aninditari Larascintya Habsari (Yayasan Jurnal Perempuan); Banten oleh Essi Sukaesih (PPSW Pasoendan); Jawa Barat oleh Irma Rismayanti (Sapa Institut); Jawa Tengah oleh Yuliana (Yayasan Satu Karsa Karya) dan dua peserta individu, Dani Saputri dan Isti Komah; Yogyakarta oleh Rika Mamesti (PEKKA), Ajeng Herliyanti (AFSC), dan Alviah (Institut Hak Asasi Perempuan); Jawa Timur oleh Rizki Nurhaini (Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat), Titim Fatmawati (Post Institute), dan Nur Lailiyah (PT. Holcim); Bali oleh Putu Ayu Utami Dewi (Spirit Paramasitta) dan Ni Luh Anik Ariani (IPPI-Bali); serta NTB oleh Siti Hadijah (LPSDM), Nita R. Zulinayati (SUAR FAPSEDU), dan Masnim (Jarpuk Rindang Lombok Tengah). Baca selanjutnya>>
Perempuan dan Hak Properti
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) mengadakan focus group discussion (FGD) tentang Properti Perempuan dan Hak Warga Negara Perempuan pada Rabu (7/5) di Gedung Widya Sarwono LIPI. Ketua Bidang Dinamika Masyarakat PMB-LIPI Widjajanti Santoso mengatakan kajian PMB-LIPI tentang hak properti di dua provinsi yaitu Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa adat dan agama memainkan peran besar di dalam pemahaman tentang hak properti perempuan. Di Sumatera Barat dengan sistem matrilineal dan Bunda Kandung, perempuan menjadi agen supaya harta waris tidak terpecah belah. Di Nusa Tenggara, properti menjadi perhatian untuk beberapa hal penting, seperti perceraian. Baca selanjutnya>>
Peringatan Hari Buruh, Malam Seribu Lilin untuk Marsinah
“Marsinah telah mati, tetapi kata-kata, perjuangan dan semangatnya tak pernah mati,” demikian kalimat puitis yang disampaikan oleh Fitri Nganti Wani, putri Wiji Thukul saat peringatan Hari Buruh “Malam Seribu Lilin untuk Marsinah” di Gladak, Solo pada Kamis malam (1/5/2014). Fitri tampil bersama beberapa elemen masyarakat Solo seperti LPH YAPHI, Jejer Wadon, Kelompok Seniman Sejinah (K3S), Sarang Tarung, Persatuan Mahaiswa Hukum Indonesia (Permahi), Serikat Buruh Manunggal Sejahtera (SBMS) di hadapan 300 lebih penyaksi yang terdiri dari para buruh dan para muda dan pemerhati masalah perburuhan lainnya. Baca selanjutnya>>
Universitas Brawijaya Gelar Bedah Politik: "Perempuan Caleg Ditinggalkan oleh Partai"
Bertempat di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya (UB), pada Rabu 30 April lalu, digelar bedah politik perempuan dalam bentuk Seminar Nasional XX yang dihadiri kurang lebih 400-an orang dari civitas akademika UB, unsur pemberdayaan perempuan dan anak kab/kota Malang, Bappeda Kabupaten/Kota Malang, PSW se JawaTimur, unsur PKK, Dharma Wanita, Kowani dll se Malang Raya, Organisasi Wanita (Fatayat, Aisyah, dll.) dan Organisasi Lintas Agama. Narasumber yang hadir adalah Prof. Irwan Abdullah (UGM), Dewi Candraningrum, Ph. D (Pemred Jurnal Perempuan) dan Sri Untari (PDI-P). Penyelenggara bedah politik ini adalah Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UB. Baca selanjutnya>>
|
Mengenang Marsinah di YAPHI: "Feminisasi Perburuhan Indonesia"
olo, 21 April 2014—Dalam format pemutaran film Marsinah dan diskusi, bertempat di kantor Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) Jl Nangka 5 Kerten Solo, Elizabeth Yulianti Raharjo memimpin diskusi yang dihadiri kurang lebih 50-an buruh dari berbagai serikat pekerja di Solo. Hadir sebagai narasumber pertama adalah Heri Hendroharjuno yang memaparkan bagaimana kondisi pekerja outsourcing dan kontrak di Solo dan beberapa kota satelitnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri. Hadir dalam diskusi ini juga serikat buruh dari Magelang dan Semarang. Diungkapkan dalam rangka memperingati Hari Kartini ini, masih banyak pelanggaran dari pengusaha terhadap hak dasar buruh, Upah Minimum Regional, yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.Baca selanjutnya>>
Bagaimana Menakar Kualitas Caleg Perempuan Pemilu 2014?
Solo, 18 April 2014—Dalam format acara Suara Konstitusi yang diadakan dua minggu sekali setiap Jumat malam di TATV Solo Jl Brigjend Katamso 173, pemandu acara Sunny Umul Firdaus (dosen UNS) bersama narasumber lain mendiskusikan bagaimana menakar kualitas caleg pemilu 2014. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan 10 partai politik dapat melenggang ke senayan karena telah melampui ambang 3.5% parliamentary threshold. Lima besar partai politik adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKB. Sedangkan dua partai lain yang tidak berhasil masuk adalah PKPI dan PBB. Sunny Umul Firdaus membuka obrolan malam itu dengan memaparkan fakta politik uang yang sangat marak di desa-desa. Suwarmin (Wapemred Solopos) membenarkan fakta tersebut dan menjelaskan bahwa Pileg 2009 justru jauh lebih bersih dari Pileg 2014. Baca selanjutnya>>
Siapa Presiden Pilihan Perempuan?
Solo, 16 April 2014—Dalam format Tea Talk, bertempat di Infinitea Lounge Mezzanine Floor, The Sunan Hotel Solo Jl. Ahmad Yani 40 Surakarta, digelar talkshow tentang “Presiden Pilihan Perempuan” yang disiarkan secara live oleh Solopos FM pada jam 15 sampai dengan jam 17. Hadir sebagai salah satu pembicara adalah Retno Wulandari (praktisi hukum dan PR The Sunan Hotel Solo) yang memaparkan pentingnya perempuan untuk berpartisipasi politik karena nasib perempuan ditentukan oleh pilihan politiknya. Baca selanjutnya>>
Workshop Kepenulisan: Bagaimana Melawan Seksisme dalam Media
Magelang, 13 April 2014—Desa Wisata Candirejo Borobudur kali ini menjadi pusat berkumpulnya kurang lebih 20 pekerja media perempuan seluruh Indonesia, di antaranya pekerja media komunitas, radio perempuan, dan LSM dari Medan, Padang, Makassar, Palopo, Jayapura, Jombang, Cirebon, Yogyakarta, dan lain daerah. Jurnal Perempuan (JP) mendapatkan mandat untuk menyelenggarakan Workshop Kepenulisan Perempuan untuk Media, yang difasilitasi oleh Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi JP). Baca selanjutnya>>
Terputusnya Gerakan Akar Rumput dari Agenda Politik Perempuan Caleg
Salatiga, 12 April 2014—Bertempat di Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas Kristen Satyawacana (PPSG-UKSW) Jl Diponegoro 95 Salatiga, digelar diskusi “Agenda Politik Perempuan Pasca Pemilu 2014”. Dalam diskusi bulanan yang dihadiri dosen, feminis dan aktivis perempuan Salatiga dan sekitarnya mengungkapkan keresahan ketakterkaitan politis antara caleg perempuan dan gerakan perempuan. Baca selanjutnya>>
Membaca Siti Nurbaya Lewat Kacamata Pascakolonial dan Feminis
Siti Nurbaya, novel karya Marah Rusli secara umum dipahami sebatas sebagai novel percintaan. Benarkah demikian? Adakah aspek ideologis di baliknya? Juga adakah gagasan feminisme di dalamnya? Setidaknya dua hal ini menjadi sorotan dalam diskusi buku yang diadakan oleh Yayasan Lontar dan Galeri Indonesia Kaya. Diskusi bertajuk “Siti Nurbaya dan Harkat Perempuan” yang berlangsung Selasa (8/4) di Galeri Indonesia Kaya Grand Indonesia ini menghadirkan sastrawan Sapardi Djoko Damono dan Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan sekaligus pengajar Filsafat dan Feminisme Universitas Indonesia Gadis Arivia sebagai pembicara. Baca selanjutnya>>
Payung Hukum bagi Tindakan Khusus Sementara
Kabar baik datang dari lembaga yudikatif, Rabu pekan lalu (12/3) Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi/judicial review (JR) ketentuan Tindakan Khusus Sementara (TKS) minimum 30% keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu yang diajukan oleh Tim Advokasi Kesetaraan dan Demokrasi. Uji materi yang diajukan terkait dengan pasal 215 ayat b dan penjelasan pasal 56 ayat 2 UU Pemilu. Dengan demikian dalam pasal 215 huruf b UU Pemilu, frasa “mempertimbangkan” menjadi “mengutamakan” calon perempuan jika persebaran perolehan suara seorang laki-laki calon anggota lembaga perwakilan dan seorang perempuan calon anggota perwakilan dalam satu dapil memiliki luas yang sama. Sementara dalam penjelasan pasal 56 ayat 2 UU Pemilu dijelaskan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon bisa terdapat 1 (satu), atau 2 (dua) bahkan tiga-tiganya perempuan bakal calon. Baca selanjutnya>>
Menggagas Gender Platform di Hari Perempuan Internasional
Sebanyak 9 tokoh dengan latar belakang akademisi, partai politik, aktivis perempuan, dan pejabat pemerintah hari ini Sabtu (8/3) berkumpul untuk berbagi gagasan dan pemikiran mengenai permasalahan-permasalahan politik perempuan terutama soal kewarganegaraan perempuan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Mereka adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu, Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik Titi Sumbung, Presiden Direktur CEPP FISIP UI Chusnul Mar’iyah, Pengamat Politik Jeffrey Winters, Direktur Megawati Institute Siti Musdah Mulia, Atnike Sigiro dari Partai SRI, Erika Widyaningsih dari PDIP, Imelda Sari dari Partai Demokrat, dan CEO Femina Group Svida Alisjahbana. Acara yang bertempat di kantor YJP, Jalan Lontar No.12 Saharjo Menteng Atas ini diadakan bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional. Bukan tanpa alasan, mengingat ini menjadi momen yang tepat bagi kita semua untuk mengevaluasi perjuangan perempuan dan menggagas agenda dan strategi ke depan. Baca selanjutnya>>
Peluncuran Booklet Memahami Gender
Berbicara tentang gender bukan semata berbicara soal perempuan, tetapi menyangkut seluruh warga negara, demikian pernyataan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dalam peluncuran Booklet Memahami Gender (Understanding Gender), Rabu (5/3) di GIZ Office Jakarta. Booklet yang terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris ini merupakan hasil kolaborasi antara GIZ Indonesia, Timor Leste dan ASEAN dan Jurnal Perempuan. Penerbitan booklet ini sendiri dimaksudkan untuk memperkenalkan keberagaman gender. Baca selanjutnya>>
Merajut Kehangatan, Meniti Mimpi Bersama: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan
|