Oleh: Khanifah
Media Parahyangan, Jurnal Perempuan, dan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PUSIK) Universitas Parahyangan mengadakan diskusi publik dengan tema Perempuan dan Korupsi pada 28 Juni 2012 di Universitas Parahyangan Bandung. Diskusi ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan subtema ‘Menolak Logika Koruptif dan Mengembalikan Akal Sehat: Peranan Kaum Perempuan’ dengan pembicara Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) dan Niken Savitri, (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan), dimoderatori oleh Lalola Easter. Sesi kedua dengan subtema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ dengan pembicara Agustinus Pohan (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan) dan Jaleswari Pramodhawardani (peneliti dari LIPI), dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro. Pembawa acara membuka diskusi ini dengan menghadirkan pertanyaan mengapa ada anggapan bahwa perempuan adalah biang korupsi dan mengapa laki-laki lebih dimaklumi saat melakukan korupsi karena dianggap melakukan korupsi demi keluarganya, sementara perempuan dihujat karena dianggap berkorupsi untuk membeli barang-barang mewah. Perwakilan Media Parahyangan memberi sambutan bahwa setiap hari Kamis, selalu ada diskusi, yang salah satunya membahas tentang korupsi, tapi tidak pernah membahas mengenai logika koruptif. Harapannya diskusi ini tidak hanya berhenti di sini. Perwakilan PUSIK menegaskan bahwa korupsi adalah masalah mendasar dalam pemerintahan saat ini, dan beragam aspeknya, salah satunya adalah perempuan sebagaimana dibahas dalam Jurnal Perempuan edisi 72. Perwakilan Jurnal Perempuan mengenalkan mengenai Jurnal Perempuan, visi dan misi untuk pendidikan, pencerahan dan kesetaraan, serta harapan agar Jurnal Perempuan bisa kemudian digunakan sebagai referensi ilmiah untuk dunia akademik. Sesi pertama, dibuka oleh Lalola Easter yang mengajukan premis yang banyak diamini oleh masyarakat umum, yaitu kalimat “You have to think like a man and act like a lady” yang langsung ditanggapi oleh pembicara. Rocky Gerung mengatakan bahwa mitos tersebut memang ditanamkan oleh kebudayaan untuk menegaskan bahwa passion itu di bawah reason padahal kenyataannya tidak demikian, Niken Savitri kemudian juga menolak premis tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa di-generalisasi ke setiap orang. Selanjutnya Niken Savitri memaparkan presentasinya mengenai ‘Logika Koruptif dan Peranan Perempuan’. Niken mengungkapkan bahwa korupsi memang selalu disandingkan dengan kekuasaan. Sebabnya pun beragam, contohnya sifat mendua kita: menghujat korupsi di tingkat pemerintahan tapi mentoleransi korupsi di tingkat yang lebih rendah. Negara ini menurut Niken sangat kontradiktif, di satu sisi, negara ini dipenuhi ormas-ormas agama yang menegaskan ke-agamis-an, tapi di sisi lain, orang-orang kita sangat koruptif. Dan korban paling rentan dari segala tindak korupsi ini adalah perempuan. Orang lebih senang mendengarkan penampilan dan cerita mengenai perempuan yang korupsi, meliputi gaya hidup dan fashion yang dikenakan tapi lupa dengan substansinya. Pun ketika koruptor itu adalah laki-laki, perempuan dituduh menjadi pendorong mengapa laki-laki melakukan korupsi. Padahal kesemuanya itu adalah asumsi yang tidak didukung dengan survey ilmiah. Ketidak-adilan logika koruptif ini merugikan perempuan. Logika berpikir induktif yang mengatakan bahwa jika ada perempuan korupsi maka semua perempuan korupsi itu tidak mempunyai nilai validitas. Dalam logika berfikir tersebut, yang ada adalah probabilitas, yang artinya, tidak semua perempuan melakukan korupsi hanya karena satu-dua orang melakukan korupsi. Fakta empiris menegaskan bahwa pada kenyataannya, korupsi dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, terutama mereka yang memiliki kekuasaan. Power tends to corrupt dan ketidakjujuran melekat sebagai nilai moral pada siapa saja. Namun, ternyata yang paling dirugikan dari korupsi ini memang perempuan. Sebagai perempuan yang berkorupsi, yang dibicarakan adalah gaya hidup dan penampilan, bukan esensi korupsinya. Sebagai korban tindak korupsi, banyak perempuan dan anak dirugikan, sebagaimana terjadi di Subang, Indramayu, dimana anak-anak perempuan berumur 14 tahun, dibuatkan KTP yang usianya ditulis menjadi 19 tahun untuk kemudian dijual di Batam, Pekanbaru dan lain-lain. Pemalsuan KTP dan akses keadilan yang susah diperoleh perempuan dan anak karena penegak hukumnya korup menyebabkan perdagangan perempuan merajalela dan tidak terkendali. Sementara itu, Rocky Gerung, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan, dengan singkat dan padat memaparkan presentasinya mengenai ‘Menolak Logika Korupsi’. Korupsi, adalah lawan dari integritas dan bukan konstruksi budaya. Logika korupsi diterangkan dalam konstruksi politik, tentang sistem keadilan sosial, ide kebebasan individu dan kultur politik yang mengasuhnya. Korban paling utama dari korupsi adalah perempuan. Perempuan sejak mula-mula disalahkan dan dijadikan korban oleh segala peradaban patriarki. Istilah justice atau keadilan, hanya dipahami oleh perempuan, melalui pengalaman hidupnya sehari-hari. Perempuan yang disiksa, tapi tidak bisa mengucapkan sesuatu, karena konstitusi berbicara dengan bahasa laki-laki. Perempuan bukan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek, hanya saja perempuan tidak mempunyai bahasa yang menjadi alat dia berbicara. Stigma bahwa perempuan sebagai sumber kejahatan dirawat dalam kebudayaan seperti mitos Pandora. Larangan bagi perempuan untuk mengeluarkan kritik adalah seperti kotak pandora yang dikunci dan membuka kotak pandora artinya membuka kekuatan pikiran. Maka, perempuan harus ke ruang publik, bersuara dan meneriakkan pikirannya. Sebab perempuan bukan tidak mampu, dia hanya dipinggirkan karena dia bukan laki-laki. Di pemerintahan, di DPR misalnya, perempuan ada namun tidak bersuara dengan suaranya sendiri. Ia ada sebagai kendaraan fraksi. Diskriminasi terhadap perempuan ini ditanamkan dalam peradaban yang memanipulasi dan dirawat melalui mitos. Sementara permainan politik sejak semula dikuasai laki-laki. Perempuan ingin berteriak mengenai ketidakadilan ini, tapi dia tidak bisa. Kemudian gerakan feminisme membuktikan bahwa perempuan mampu, bahwa perempuan bisa. Kegaduhan politik kita adalah karena politik patriarki. Ada 20 puskesmas yang tidak mendapatkan suntikan dana, sehingga ada ratusan ibu tidak punya akses kesehatan reproduksi sebab aliran dana APBD dibelanjakan untuk membuat garasi mobil sang bupati dari pada dialirkan untuk puskesmas. Rocky Gerung menegaskan bahwa perjuangan feminisme adalah perjuangan keadilan, sebab feminism equals to justice, demikian Rocky menutup presentasinya. Sesi kedua, dengan sub-tema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ yang dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro bersama pembicara Agustinus Pohan, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan Jaleswari Pramodhawardani, peneliti dari LIPI, juga membahas mengenai pemberitaan koruptor perempuan seolah koruptor adalah perempuan semua. Ketidakadilan dalam pemberitaan media itu merugikan perempuan apalagi pemberitaan yang lebih membahas mengenai gaya hidup dan penampilan yang malah menenggelamkan isu delik korupsi itu sendiri. Agustinus Pohan justru menghadirkan hasil riset dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa partisipasi perempuan di politik tinggi sebanding dengan angka korupsi yang rendah. Namun di negara ini, perempuan yang berkorupsi meski jumlahnya sangat sedikit dibanding koruptor laki-laki selalu mendapat perspektif negatif dari media. Jaleswari Pramodhawardani juga menyatakan bahwa konstruksi budaya di negara kita, hiruk pikuk pemerintahan didominasi oleh laki-laki. Ketika ada kasus korupsi yang dilakukan oleh perempuan, masyarakat tidak fokus pada kasus korupsinya, tapi lebih ke penampilannya/ dunia privatnya. Padahal data statistik menunjukkan bahwa 93,4 % korupsi dilakukan oleh laki-laki, namun pemberitaannya tidak pernah se-gegap gempita pemberitaan perempuan. Perempuan dieksploitasi dalam dua hal sekaligus, yaitu tindak korupsinya, kedua pencemaran nama baiknya melalui pemberitaan yang menunjukkan histeria pada tubuh perempuan, padahal tidak boleh ada siapapun, termasuk negara mengintervensi sampai ke ruang tidur mereka. Oleh: Mariana Amiruddin
Pendidikan Publik Jurnal Perempuan tentang Perkawinan dan Keluarga pada tanggal 9 Juni 2012 di Plaza Menteng Jakarta bekerjasama dengan Majalah Ayah Bunda, dihadiri oleh narasumber Maria Ulfah Anshor dari Fahtayat NU dan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Nani Zulminarni sebagai Koordinator Nasional Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Rani Toersilaningsih dari Lembaga Demografi UI dengan dimoderatori oleh Nur Iman Subono, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Nur Iman Subono memulai perbincangan topik yang menarik banyak kaum ibu ini mengatakan bahwa rumah seharusnya tempat yang aman. Ironisnya hukum dan negara masih belum kelihatan ketika kekerasan terjadi di dalamnya. Rumah sering dibungkus oleh nilai dan keyakinan dimana masyarakat tak mau membicarakannya, dianggap urusan tabu. Rani Toersilaningsih memulai topik perkawinan dan keluarga dari sisi demografi, bahwa di masa depan jumlah rumah tangga meningkat, dan rumah tangga adalah unit ekonomi. Namun, di dalam unit ekonomi bernama rumah tangga inilah diskriminasi terhadap istri dan anak masih banyak terjadi. Persepsi bahwa anak laki-laki diprioritaskan masih ada, karena dianggap punya peran di masa depan sebagai bapak. Data statistik dari struktur keluarga, yang berfungsi sebagai kepala keluarga laki-laki adalah 24,12%, sementara kepala keluarga perempuan 36,4%. Ternyata kepala keluarga perempuan lebih bisa hidup tanpa pasangan, sementara laki-laki lekas punya pasangan baru. Kepala keluarga perempuan biasanya lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki. Namun, dari segi kebutuhan emosi dan ekonomi, justru perempuan yang lebih stabil. Celakanya, kebanyakan kepala keluarga perempuan harus menanggung seluruh keluarga yang bergantung padanya, beda dengan kepala keluarga laki-laki. Menurut Rani, sebagian besar anak-anak usia 15 tahun yang hidup dengan ibunya lebih banyak jumlahnya daripada tinggal dengan ayahnya. Perempuan berstatus cerai hidup jauh lebih banyak dibanding cerai mati. Data pengadilan agama dari tahun ke tahun menunjukkan angka perceraian yang meningkat dan kebanyakan alasan gugatan cerai oleh perempuan akibat kekerasan dalam rumah tangga dan ekonomi, bukan karena emansipasi. Rani menceritakan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga itu pernah terjadi di depan matanya di halaman rumah. Perempuan memang belum mendapatkan posisi yang cukup baik di dalam keluarga, terutama justru di perkotaan. Istri korban kekerasan ibarat kalau pagi sampai siang dipukuli, kalau malam dikeloni oleh suami. Dari sisi upah, perempuan pencari nafkah pun masih dibedakan dengan laki-laki. Dari sisi kesejahteraan kepala keluarga, perempuan juga tidak lebih punya akses daripada laki-laki. Nani Zulminarni melihat data kepala keluarga perempuan berjumlah banyak dan seperti gunung es. Ia menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Aceh pada tahun 2002, bertemu dengan ibu-ibu janda. Sekitar 35 orang dan di belakangnya tampak bapak-bapak yang duduk-duduk diantaranya kepala desa dan tokoh-tokoh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri karena mendengar Ibu Nani mengaku bahwa dirinya janda cerai. Laki-laki tersebut berdiri dan protes. Ia mengatakan pada Nani, bagaimana mau mengelola para janda kalau mengurus suami saja tidak becus? Tak hanya itu, Nani menceritakan pengalaman lain ketika berkunjung ke Jawa Barat untuk mengadakan pelatihan. Peserta menyatakan bahwa sebagian besar penduduk di Jawa Barat adalah janda, tetapi anehnya ungkapan itu dinyatakan sambil tertawa-tawa. “Kenapa tertawa?” Nani bertanya. Ternyata, komunitas janda yang ada di wilayah ini dianggap perempuan gampangan, perempuan simpanan. Nani lalu membantah tuduhan-tuduhan tersebut. Pengalaman ketiga, Nani mendapatkan surat yang sopan sekali dari seseorang yang tak dikenalnya, isinya meminta Nani untuk bertobat. Surat tersebut berisi dua lembar yang menuliskan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan bertentangan dengan Islam, dan dianggap budaya Barat, sesat. Nani menjawab surat itu dengan menulis,”apa yang harus saya lakukan ketika ada 10 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan, dan sebagian besar karena laki-laki tidak bertanggungjawab? Maria Ulfah Anshor menyambut perbincangan ini dengan mengingatkan kembali bahwa setiap orang yang menikah ingin hidup “se-iya se-kata”. Tapi tahukah bahwa ritual pernikahan hampir seluruhnya adalah kemauan orang tua, mulai dari lamaran sampai resepsi, dimana perempuan tidak ditanya keinginannya menikah? Artinya sejak awal pernikahan dalam ritual, perempuanlah obyeknya. Di luar ritual, masih banyak perempuan dinikahkan, sering karena kemauan orangtuanya dan diantara mereka banyak yang tidak diberi pilihan. Perempuan yang diam saja dianggap setuju dalam proses lamaran. Dalam prosesi pernikahan, semua yang menentukan dan punya peran adalah laki-laki, termasuk wali. Dalam fiqh (aturan Islam) jelas bahwa sebetulnya perempuan dewasa boleh menikah tanpa wali ketika banyak laki-laki yang tidak punya kemampuan menjadi wali. Hal lainnya, ketika masuk pernikahan, banyak ditemukan ketidakcocokan. Perempuan dianggap tidak punya hak menjatuhkan talak pada suaminya. Laki-laki dianggap yang punya kewenangan keputusan cerai. Lalu bagaimana bila lelaki menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga? Semua itu ada dalam UU Perkawinan yang sebetulnya perlu segera diperbaharui. Sudah lama perubahan tersebut diajukan, dalam konsep bernama Kompilasi Hukum Islam. Tetapi sudah ditolak duluan sebelum masuk pada substansi. Padahal, pernikahan seharusnya menjadi milik bersama dan tiada penindasan satu dengan lainnya. “Semua hal yang kita dengar tadi adalah hal-hal yang begitu dekat, tetapi sering diabaikan karena maslah keluarga dianggap sepele,” demikian Nur Iman Subono mengomentari perbincangan ini sebagai moderator. Syamsiah Ahmad sebagai salah satu peserta yang diminta untuk menjadi penanggap mengatakan bahwa keluarga menjamin keberlangsungan hidup manusia. Karena perkawinan adalah untuk kelangsungan hidup manusia, maka harus siap secara ekonomi, kultur dan tanggung jawab. PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) telah menetapkan tentang pentingnya equality, development and peace dalam keluarga. Artinya harus ada kesetaraan, perdamaian dan pembangunan dalam keluarga.“Bagaimana ada perdamaian bila perspektif keluarga diisi oleh konflik? Keluarga harus menjadi agen kesetaraan, perdamaian dan pembangunan.”Oleh karena itu menurutnya parental education penting dilakukan. Musdah Mulia turut hadir di acara ini dan ikut menanggapi bahwa banyak hal yang bisa kita pelajari di berbagai negara tentang UU Perkawinan, terutama di berbagai negara Islam seperti Turki, Maroko, dan Tunisia yang tidak menjadikan pria sebagai satu-satunya kepala keluarga dan perempuan satu-satunya ibu rumah tangga. “Tidak semua orang bisa jadi Ayah atau jadi Ibu. Karena itu betul bahwa pendidikan orangtua itu penting untuk bekal mereka.” Karena itu menurutnya perlu ada perubahan UU Perkawinan dan amandemen Kompilasi Hukum Islam, supaya kehidupan keluarga lebih baik. Perlu ada reintepretasi agama dimana masih ada pandangan patriarkal dalam perkawinan. Intepretasi ulang ini tentu saja tujuannya untuk keadilan. Alan Reza, salah satu peserta berbagi tentang pengalamannya sebagai anak laki-laki. “Menjadi anak laki-laki tidak mudah karena banyak tuntutan hidup yang dibebankan sebagai pemimpin keluarga.”Ia menanyakan apakah perempuan yang telah bercerai dapat dijamin nama baiknya dari tuduhan-tuduhan sosial? Atau bagaimana dengan perempuan yang menikah dengan pria asing, apakah kewarganegaraannya bisa hilang? Eni Sriwahyuni peserta lainnya berpendapat bahwa perempuan harus pintar maka butuh pendidikan sehingga kuat secara sosial dan ekonomi. Ajeng peserta berikutnya, seorang mahasiswa bertanya bagaimana perempuan yang tidak berada dalam posisi perkawinan (tidak menikah) yang selalu distigma negatif atas identias dia? Helga,juga bertanya bahwa saat ini ada trend baru yaitu korban KDRT dilaporkan balik oleh pelakunya dan korban menjadi kena tuduhan balik. Acara ini penuh dengan berbagi pengalaman hidup mereka dalam keluarga yang diungkapkan peserta. Nani Zulminarni kemudian melanjutkan, bahwa data PEKKA menunjukkan bahwa ada 10 juta perempuan sebagai kepala keluarga, BPS (Badan Pusat Statistik) mengatakan ada 14%. Data berikutnya, putusan pengadilan tentang perceraian banyak yang tidak dilakukan dan tidak ada penegakkan hukum. Banyak mantan suami dari perempuan yang bercerai tidak menjalankan putusan hakim yang sudah disepakati dalam pengadilan. Dan tidak adanya tanggung jawab laki-laki tersebut, didiamkan saja oleh negara dan aparat hukum. Menurutnya, perempuan kepala keluarga itu tidak hanya perempuan yang bercerai, tetapi juga perempuan yang tidak menikah (lajang). Nani menegaskan, perempuan tidak menikah bukanlah aib, dan perempuan baik-baik itu bukan berarti dia menikah, padahal dia dipukuli suami sampai babak belur. Sampai sekarang belum ada banding gugatan cerai bila hasil pengadilan merugikan perempuan. “Sudah disiksa dalam rumah, tidak bisa mengajukan banding pula.”Di komunitas PEKKA, lanjutnya lagi, banyak perempuan dinikahi sirri (nikah yang tidak disahkan negara), tetapi ditinggal pergi. Karena itulah perempuan harus kuat secara ekonomi. Rani Toersilaningsih, narasumber lainnya melanjutkan paparannya bahwa UU Perkawinan tidak menjamin posisi perempuan di keluarga yang banyak dirugikan. Perempuan mengajukan cerai sangat susah dan rumit, sementara laki-laki sangat mudah menceraikan istri. Perempuan dipukuli kemudian bercerai, tetapi hak anak, tunjungan sebagaimana putusan pengadilan, juga tidak dia dapat. Perempuan yang bercerai sering mendapatkan pelecehan. Maria Ulfah berpendapat hal yang sama bahwa pengadilan setelah memberi putusan seharusnya ada tindak lanjutnya, jangan sampai perempuan dirugikan. Seperti kasus TKW yang bekerja di negeri orang tetapi begitu pulang digugat cerai oleh suaminya karena dianggap nikah mereka batal, padahal yang membiayai, mengirimkan nafkah untuk keluarganya adalah istrinya. Yuri peserta dari Antara bercerita bahwa ia sering mendapatkan milis-milis dakwah yang isinya “pukullah istrimu”. Yuri terkejut dengan milis-milis tersebut yang menurutnya sangat mengerikan. Ia juga bercerita bagaimana akibat doktrin tersebut, seorang temannya yang diplomat sering menyiksa istrinya selama bertahun-tahun. Nurhasyim dari Rifka Annisa ikut memberikan pandangan bahwa seharusnya laki-laki juga diberi pilihan menjadi bapak rumah tangga. Banyak pria yang dipaksa menjadi tempat bergantung ekonomi, dan dipaksa untuk tidak memiliki pilihan lain. Tissa, peserta lainnya berbagi pengalaman bahwa ia lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mengalami KDRT. Tissa mengalami proses yang tidak mudah di lingkungan KDRT dan ketika membaca Jurnal Perempuan, ia belajar bahwa perempuan harus kuat. Tissa bercerita bahwa ibunya masih normatif dan menerima suaminya memukuli dia apapun keadaannya. Suatu hari Tissa ingin menikah dan dimintalah seorang wali. Menutur Tissa, bapaknya tidak pantas jadi wali, tetapi ibunyalah yang selama ini membesarkan dan mengasuhnya dengan kasih sayang, yang pantas menjadi wali. Tissa mengajukan pendapat bahwa seharusnya dalam program keluarga, dibuat pengembangan kapasitas untuk kalangan bapak. Acara ini dipenuhi dengan pengalaman, pertanyaan dan rekomendasi tentang bagaimana kebijakan hukum keluarga dapat memperbaiki dan adil bagi masa depan anggota keluarga di dalamnya, dan ketika selesai, perbincangan terus berlanjut diantara peserta. Terbukti bahwa masalah perkawinan dan keluarga bukan persoalan klasik melainkan persoalan konkrit masyarakat. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|